“Ini sampah dari kemarin nggak dibuang-buang?”
Aku sedang membaca ketika Dewi masuk kamar, mencari sesuatu di mejaku. “Ya ampun, busuk lho.”
“Itu bukan sampah.”
“Gelas plastik kosong bekas cokelat nggak dicuci, bukan sampah?”
“Itu barang bukti.”
“Barang bukti apa kenang-kenangan?”
Aku diam. Menatap halaman buku tetapi tidak membacanya. Tidak semua pertanyaan harus dijawab ‘kan?
Pada mulanya aku memang sengaja menyisakan sedikit cokelat di dasar gelas. Agar kalau ada apa-apa denganku, misalnya mendadak pingsan atau keracunan, barang itu bisa dijadikan bukti. Sekali lagi, bagaimana pun juga, bukan hal mudah menerima pemberian orang asing di tempat umum.
Namun, hingga seminggu setelah minum cokelat hangat di hari hujan itu, aku tetap baik-baik saja. Justru aku berpikir kalau telah berprasangka buruk pada lelaki bermantel basah itu.
“Dewi.”
“Hemm?” Dewi telah menemukan barang yang tadi dicarinya. Dia meminjam jarum dan benang, dan ini sedang duduk di depan kamarku, menjahit kancing bajunya.
“Apa aku terlihat seperti orang yang baru patah hati?”
“Hah? patah hati dari India?” Dewi tergelak. “Kau bahkan terlihat seperti orang yang baru jatuh cinta?”
“Sembarangan!” Aku melotot. Meraih boneka kucing di sampingku dan melemparkan ke arahnya. “Aku tanya beneran.”
“Seperti apa orangnya?”