“Gani, apa kamu bertengkar dengan Wira?”
Lama kupandangi pesan dari ayah. Kubaca berulang, tetapi tidak juga menemukan jawaban yang pas. Beliau jarang sekali menanyakan hal-hal begini. Yang sering ia pesankan justru bagaimana aku dan …, ya (baiklah namanya Wira) harus saling menjaga jarak. Bahkan meskipun kami telah dewasa, ayah tak pernah mengizinkan kami pergi berboncengan berdua.
“Bukan ayah tidak percaya pada Wira. Tetapi kamu anak kami satu-satunya. Semua hal yang ayah lakukan padamu, baik izin atau larangan akan dimintai pertanggungjawaban sama Allah.”
Dan kami menurut. Tentu saja kalau ingin berbincang, Wiralah yang datang ke rumah. Kami mengobrol di meja makan. Ada ayah. Ada ibu. Kadang kami berkumpul di dapur sambil memberesi hasil kebun.
Wira bukan hanya datang saat aku di rumah. Dia juga sering mampir bahkan hanya untuk sekadar bercakap dengan ayah. Lalu, jika sekarang ayah bertanya begitu padaku, apa itu artinya Wira mengatakan semua perbincangan kami kemarin?
Ya Tuhan, sekanak-kanak itukah? Selama ini aku menganggapnya begitu dewasa.
Memikirkan semua itu, rasanya tidak ada pilihan lain kecuali bertanya langsung padanya. Jadi, aku meraih ponsel, mencari nama Wira.
Aku mengigit bibir, menunggu nada panggil yang tidak diangkat. Kutatap layar. Aku mengembuskan napas pendek. Kuketik pesan untuknya.
“Bisakah kita bicara?”
Pesan terkirim. Kemudian sekali lagi kucoba meneleponnya. Aku mengakhiri nada panggil berulang seolah sambungan yang begitu jauh tak sampai-sampai.
Dua jam kemudian ponselku berbunyi. Nama Wira tertera di layar. Aku memejam sambil menganjur napas panjang. Kusambar ponsel dan mendekatkan ke telinga.
“Ayah tanya, apakah kita bertengkar…” kataku tanpa basa-basi setelah mengucap salam.
“Aku nggak punya pilihan lain kecuali cerita.”
“Sejak kapan sih kamu jadi kekanak-kanakan begini?” Ada letupan hangat di dadaku.
“Kebetulan aku mau keluar. Jadi Paman nyuruh mampir ke stasiun. Ngantar kacang gorengmu yang tertinggal. Tapi aku nggak mungkin menyela perbincangan dua orang yang sedang menikmati minuman bersama.”