Pasca kutemukan akun dengan foto profil ransel yang kusangka milik Pengelana itu, aku sama sekali tidak punya kesempatan untuk memegang ponsel.
Waktuku benar-benar untuk bekerja. Pelanggan-pelanggan yang kebanyakan mahasiswa, berdatangan. Menyusul yang lain, dan yang lain lagi. Aku menyikat bagian-bagian noda sebelum memasukkan baju-baju ke dalam tabung. Aku menjemur dengan memisah-misahkan per mesin cuci. Kemudian mengangkut yang sudah kering dan tentu saja menyetrika.
Bekerja di laundry meskipun terlihat santai nyatanya berat juga. Apalagi kalau menumpuk. Tetapi bukan itu yang kumasalahkan. Kadang-kadang pewanginya seolah sampai ke tenggorokanku. Apalagi kalau pilihan aromanya kurang kusukai. Di laundry tempatku bekerja, pelanggan memang bisa memilih pewangi yang disediakan.
Kami menutup laundry dua puluh menit kemudian dari jam resmi. Aku berjalan pulang dengan kepala berat serta punggung dan tangan pegal-pegal. Melewati penjual angsle yang aromanya harum. Melewati kios tahu telur yang penjualnya sibuk menguleg bumbu. Dan melewati gerobak jagung bakar dengan beberapa orang bergerombol mengelilingi arang membara.
“Gani, kacangnya enak sekali.” Beberapa teman kosku masih duduk-duduk di lorong kamar sambil makan kacang goreng.
“Habisin saja.”
“Serius?”
“Jangan lupa dibersihin.” Aku menunjuk kulit yang berserakan di depan mereka, kemudian masuk kamar.
Kukeluarkan ponsel dari saku, batreinya tinggal lima persen. Segera kuhubungkan dengan charger. Aku ingin menyalakan laptop, tetapi mataku terasa berat sekali.
***
Dini hari aku bangun. Membuka jendela. Membiarkan aroma udara pagi yang berbaur dengan sisa gerimis semalam. Aku menyalakan laptop dan membaca kembali cerpen perihal Pengelana.
Kuhapus beberapa bagian yang terkesan pengulangan. Kuhapus bagian yang bertele-tele, dan kuamati satu paragraf yang menurutku terlalu panjang. Lalu aku ingat kata Stephen King di bukunya On Writing; dalam fiksi, paragrafnya tidak terlalu terstruktur –yang penting adalah iramanya, bukan melodinya.
On Writing-nya Stephen memang salah satu buku yang selalu ada di samping laptopku. Membacanya saat ide buntu rasanya seperti mendengarkan nasehat seorang guru. Aku sering menyarankan ke teman-teman untuk punya buku itu.
Jadi, kembali ke cerpenku, tidak seperti kenyataan bahwa Pengelana meninggalkan nomor ponselnya. Aku justru mengakhiri cerita bahwa tokoh dan Pengelana berpisah begitu saja tanpa tahu identitas masing-masing.
Bukankah dalam hidup ini, kebanyakan kita menemui hal-hal yang begitu? Bertukar senyum di halte. Saling mengangguk di loket. Bersisian di bus kota tanpa perlu saling kenal? Setiap orang memang adalah tokoh utama untuk dirinya sendiri, tetapi bagi orang lain bisa jadi hanya sekilas bayangan samar yang saling berpapasan tetapi tidak saling berpandangan.
Apakah sesungguhnya aku berharap antara tokoh dan Pengelana juga begitu? Bagaimana jika Pengelana menemukan cerpenku suatu hari dan membacanya? Apakah dia masih ingat pertemuan kami? Bagaimana perasaannya? Apakah merasa kumanfaatkan?
Itulah mengapa aku mencarinya. Setidaknya, Pengelana perlu tahu. Dan kalau dia tidak terima kujadikan cerpen, aku akan ganti segelas cokelatnya di hari hujan itu.
Sebelum mengirim ke email sebuah surat kabar, aku membubuhkan kalimat tambahan di akhir cerita, di bawah titimangsa. “Untuk Pengelana, terima kasih segelas cokelatnya”
Aku memejam mata, merapal doa, “Ya Allah, berikan yang terbaik bagi naskah ini,” selanjutnya menekan tombol send.
Berikutnya aku mengirim enam buah puisi dan satu resensi ke media lain. Aku juga mengirim satu artikel untuk konten berbayar. Meskipun aku membatasi hanya mengirim satu artikel perminggu, tetapi cukup untuk membeli paket internet selama satu bulan.
Aku meregangkan kedua tangan. Subuh masih lama. Jadi aku kembali membuka media sosial. Ada sesuatu yang belum kutuntaskan. Sebuah akun dengan foto profil ransel itu.
Yang pertama kubuka adalah Informasi diri: tidak ada yang dibagi ke publik. Persinggahan, ada beberapa pantai. Kesukaan: film Gie, ada buku puisi Aku Manusia Mustofa Bisri. Dia juga menyukai beberapa web-web berita dan surat kabar.
Aku beralih melihat pertemanan. Sayangnya tidak ada satu pun yang diperlihatkan. Ya Tuhan, orang ini benar-benar tertutup. Aku menuju beranda, satu postingan dengan pengaturan publik.
“Kenangan hanya tentang bagaimana seseorang memilih apa yang ingin diingatnya.”