Meskipun Hujan Masih Turun

Shabrina Ws
Chapter #7

Harus Pilih yang Mana

“Menurutmu aku harus pilih yang mana?”

     Aku mengetik pesan untuk Wira, kemudian buru-buru kuhapus. Seharusnya aku ingat bahwa kami tak lagi saling bicara.

   Dulu, kalau ada apa-apa aku sering sekali minta pendapatnya. Biasanya, dia akan memberi beberapa alasan, jika pilih ini begini, jika pilih itu begitu. Meskipun pada akhirnya dia akan mengiyakan saja apa pun yang aku pilih.

Sekarang, mengetahui bahwa Wira berkata begitu pada ayah, seketika membuatku yakin kalau yang dikatakan di telepon tempo hari bukan hanya basa-basi.

Aku tidak tahu, apakah ini membuatku lega atau sebaliknya. Tetapi mungkin semacam penjernihan bahwa kami memang bukan sepasang kekasih. Setidaknya, aku dan Wira tidak pernah sepakat untuk itu. Maksudku, dia tidak pernah mengatakan, “Gani, jadilah kekasihku,” tidak pernah.

Kami bersama sejak kecil. Saling menjaga agar tidak melebihi batas satu sama lain. Saling menjaga agar tidak menyinggung satu sama lain. Dan mungkin saking menjaganya, Wiralah yang selama ini selalu mengalah. Sebelum perdebatan kemarin, dia tidak pernah berkata “tidak” untuk sesuatu yang aku iyakan.

Memang harus kuakui kalau selama ini belum pernah bertemu dengan seorang yang seperti Wira. Di mataku, dia sosok sempurna setelah ayah. Dan orang-orang menganggap kami adalah dua tetangga yang punya masa depan. Masa depan?

Barangkali anggapan-anggapan itu yang secara langsung maupun tidak langsung juga membentuk menjadi semacam keadaan bahwa kami saling ada. Hingga setelah dewasa aku baru menyadari bahwa diantara kami bukan lagi dua anak kecil yang biasa bersama. Bukan lagi dua remaja yang berbagi cerita. Ada sesuatu diantara aku dan dia, yang tidak perlu dikatakan. Entah bagaimana, kami saling memahami.

Mungkin hal itulah yang membuat hatiku terluka oleh kata-katanya. Setelah tahun-tahun bersama, kemudian mendapati kenyataan bahwa aku dan Wira seolah menjadi sangat berjarak. Aku yang tak memahaminya? Dia yang tak memahamiku? Atau kami yang tidak mau lagi berusaha saling memahami?

 Seharusnya kami tetap baik-baik saja terlepas dari jalan apa pun yang aku pilih. Jalan apapun yang dia pilih. Seharusnya kami tetap memiliki hari-hari kami. Tetapi ternyata tidak semudah itu. Kami justru saling melukai.

Entahlah…

Jadi begini, kenapa aku meminta pendapat Wira. Aku diterima sebagai pengajar di Taman Kanak-Kanak kemarin. Meskipun tidak menyangka pengumuman secepat ini. Tentu saja aku gembira, dari lima yang dipanggil wawancara hanya aku yang diterima.

Masalahnya adalah, ini pertengahan bulan. Aku tidak mungkin keluar begitu saja dari laundry, karena dulu peraturan awal masuk, gaji tidak akan cair jika mundur mendadak sebelum memenuhi satu bulan. Sementara gaji sebagai guru TK tidak lebih tinggi dari gajiku di laundry.

Baiklah, aku paham tidak semua hal bisa diukur dengan materi. Tetapi aku di sini sebagai perantau. Aku butuh makan, butuh tempat tinggal, butuh biaya transport juga untuk menuju tempat kerja. Kalau pun aku harus pindah kos ke dekat sekolah, belum tentu mendapat harga yang semurah di sini.

Aku merenung lama perihal itu. Dan satu-satunya pilihan yang masuk akal adalah, aku tidak melepas pekerjaanku di laundry. Aku hanya harus mendapatkan teman yang bisa kuajak tukar jam pagiku dengan shift sore. Tidak masalah jika pun nantinya aku akan mengurangi sedikit dari gajiku sebagai bentuk terima kasih karena sudah mau bekerja sama.

Pulang dari TK jam dua dan masuk laundry jam tiga memang sangat mepet. Tetapi setidaknya bisa kujangkau. Sayangnya beberapa temanku mengatakan tidak bisa tukar jadwal. Bahkan meskipun aku iming-iming kutambah sekian sebagai bentuk kompensasi.

“Sampai kapan?” tanya temanku yang lain saat aku meneleponnya. Ini satu-satunya harapanku yang tersisa.

“Bagaimana kalau kita coba dua minggu ini dan satu bulan ke depan?”

 Aku berdebar menunggu jawaban.

Lihat selengkapnya