Bermenit-menit aku memandangi pesan dari Pengelana. Berkali-kali aku membaca untuk menebak bagaimana ekpresinya ketika menuliskan pesan tersebut. Tidak ada emoticon sama sekali.
Apa yang harus kukatakan padanya? Apa aku harus minta maaf?
Aku mengetuk-ngetuk ujung ponsel sambil memikirkan kalimat yang tepat. Oh Tuhan. Kemarin aku bersusah-susah mencari akunnya. Sekarang sudah bertemu, aku juga kesulitan membalas sapaannya. Dia manusia apa bukan sih sampai membuat serba salah begini?
Hei, Pengelana…
Aku mengetik dua kata. Membaca ulang. Kemudian menghapusnya.
Apa kabar?
Terima kasih cokelatnya tempo hari. Maaf kalau saya membuat cerpen ini tidak izin terlebih dahulu…
Aku mengetik pesan lebih panjang. Tetapi rasanya masih kurang pas, jadi aku menghapusnya lagi. Kenapa susah sekali? Aku terdiam sejenak.
Maaf…
Akhirnya hanya itu yang kutulis. Aku menyentuh enter sambil memejamkan mata.
Hahaha… jadi kamu ngetik dari tadi hanya untuk menulis empat huruf itu?
Pengelana membalas di menit yang sama. Aku menegakkan posisi duduk, bersandar pada dinding kamar. Jadi dari tadi dia menunggu balasanku? Karena bingung harus membalas apa, aku hanya memberikan emoticon tertawa.
Bagaimana kalau saya merasa dimanfaatkan? balasnya kemudian.
Merasa dimanfaatkan? Dia bercanda ‘kan?
Aku tersenyum. Saya tidak pernah memintamu bercerita, jawabku. Kali ini aku berdebar menunggu balasannya.
Tetapi kamu mendengarkan. Bahkan menyimpan dalam ingatanmu dengan begitu detail. Parahnya lagi, kamu juga berprasangka kepada saya. Malah menduga ransel saya isi bom pula.
Tenggorokanku mendadak kering. Ya Tuhan, aku memang menuliskan dengan detail kerbersamaan kami di ruang tunggu itu. Suaranya memenuhi kepalaku dan seolah aku menyalinnya begitu saja ke keyboard.
Maaf… sekali lagi kubalas dengan kata itu.
Kau penulis, bisa nggak mencari kata selain ‘maaf’?
Aku tertawa lagi. Bagaimana pun juga, meski pernah merasa mustahil, tetapi aku pernah menyiapkan beberapa kalimat jika suatu hari bertemu Pengelana.
Baiklah. Aku mengetik sambil menahan napas. Saya memang harus mentraktirmu kopi untuk semua ini. Saya juga mengucapkan terima kasih untuk segelas cokelatnya. Aku mengirim pesan itu dan sedetik kemudian menatap gelas kosong di sudut meja.
Saya terima ya. Saya tagih kapan-kapan, katanya.
Aku membalas dengan emoticon tertawa lagi.
Jadi, selain menjual kenangan kau juga mencari peluang ya? tanya Pengelana.
Mataku melebar.
Eh? Peluang apa? Aku tidak mengerti yang dia ucapkan.
Memanfaatkan kisah orang-orang yang bercerita kepadamu.
Aku tersenyum. Tidak. Tidak selalu. Aku berkata jujur. Bisa dibilang, ini memang pertama kalinya aku menulis tentang orang asing, maksudku orang yang baru aku kenal.
Berarti saya spesial dong?