Meskipun Hujan Masih Turun

Shabrina Ws
Chapter #9

Katanya Dia Pergi ke Barat

“Wira ke Batam.”

Aku baru selesai memberesi pekerjaan ketika ayah telepon. Aku pamit pada temanku, mengucap salam dan membuka pintu kaca.  Di luar gerimis.

“Halo, Ayah….” Aku memperbaiki earphone, mengembangkan payung dan mulai menyusuri jalan Gajayana yang padat.

“Dia bilang ke kamu?”

“Nggak….” Aku bahkan belum komunikasi sama sekali dengan Wira sejak teleponnya tempo hari.

“Kalian masih marahan?” tanya Ayah.

Aku menatap ujung sepatuku yang warnanya lebih gelap terkena tetesan hujan.

“Mungkin hanya salah paham. Ngapain dia ke Batam?”

 “Jadi kalian masih saling diam?”

“Dia pamit apa ke Ayah?”

“Mau coba merantau katanya.”

Merantau ke Batam?

Aku memikirkan kata itu sambil berbelok ke minimarket. Menutup payung dan menaruh di pojokan. Aku berjalan ke kios minuman di sisi yang lain.

“Cokelat, Mbak,” kataku, sambil melepas earphone. Menggulung kabelnya dan memasukkan ke dalam saku.

“Hangat saja, ya?” kataku lagi. Cokelat yang terlalu panas tidak bisa segera diminum ‘kan?

Aku membayar dan mengucapkan terima kasih, membawa gelas hangat ke bangku yang tersedia.  

Apa yang membuat Wira memutuskan untuk pergi? Aku menyesap cokelat, tetapi pikiranku bertanya-tanya untuk alasan apa Wira pergi? ke Batam pula.

Aku masih ingat, suatu hari pernah mengomel karena Wira memutuskan keluar dari kampus di tahun pertama kuliahnya. Dia bilang, “Belajar bisa di mana saja. Tidak harus di bangku-bangku dalam kelas. Lagi pula, sejauh apapun aku pergi, kembaliku tetap ke sini. Aku tidak akan kemana-mana karena masa depanku ada di sini.”

 “Tapi kepergian memberimu banyak hal.”

 “Tapi artinya aku membiarkan bapak mencangkul sendiri.”

“Ya karena itulah, kamu harus sungguh-sungguh belajar, bukan malah pulang begini padahal orangtuamu sudah banyak berkorban.”

Tapi perihal keputusan yang berhubungan dengan dirinya sendiri, Wira memang keras kepala. Tidak seperti kepadaku yang pada akhirnya mengiyakan. Dia tetap tidak mau kembali ke kampus.

Wira bekerja keras setelah itu. Pergi ke ladang pagi-pagi. Mencoba berbagai jenis tanaman. Mencari berbagai bibit unggul. Meracik pupuk. Kami semua takjub melihat semangat Wira.

“Jangan memandangku begitu. Aku memang ganteng.” Waktu itu aku mengomentari kulitnya yang  berubah tembaga karena lama terpanggang matahari.

Dia mengatakan padaku harus mengembalikan biaya awal masuk kuliahnya. Orangtuanya menggadaikan separuh kebun dan menjual sepetak tanah kala itu.

 Musim pertama, Wira berhasil menanam semangka yang suburnya membuat orang sekampung berdecak kagum. Aku ikut bangga ketika akhirnya semangka itu berbuah.

 “Aku akan menjadi petani semangka pertama di desa ini.”

Tetapi apapun bisa terjadi bukan. Cuaca tidak bisa ditebak. Curah hujan yang banyak membuat anak-anak semangka itu terendam air dan membusuk. Hampir semua orang menghiburnya.

“Aku ikut berduka….” Hanya itu yang bisa kuucapkan. Selebihnya, aku menemani Wira yang seharian termangu di pematang, menatap semangka-semangka yang gagal panen.

Keesokan harinya, Wira mencabuti semua semangka-semangkanya. Hatiku ikut perih.

“Setiap orang punya jatah gagal, Senggani. Aku sedang mencicil jatahku. Sedih nggak akan bikin semangka ini membaik.”

Lihat selengkapnya