Saya yakin kebanyakan penulis menulis dirinya sendiri. Pesan Pengelana masuk lagi.
Aku merenungkan kalimat itu. Menulis dirinya sendiri. Dari mana dia beranggapan seperti itu? Di cerpen itu aku memang memboncengkan kisahku. Beberapa tulisanku yang lain juga tidak nyata-nyata ada meskipun dari hal-hal di sekitarku. Aku telah meramunya. Tetapi…
Pikiran macam apa itu? Akhirnya kulontarkan tanya. Aku penasaran jawabannya.
Pengelana tertawa. Hebat sekali manusia bisa mengarang cerita secara utuh tanpa meniru dari kisah nyata sedikit pun.
Kali ini aku yang tertawa.
Hanya karena saya menulis kisah pertemuan kita, bukan berarti semua penulis begitu.
G. Baca lagi kalimat saya. Saya tidak bilang semua penulis. Saya bilang kebanyakan.
Iya, deh.
Pengelana tidak membalas lagi. Aku membaca ulang percakapan kami. Rasanya tidak percaya bisa semudah ini. Mengingat percakapan awal kami yang agak kaku dan tegang. Besoknya, besoknya dan besoknya lagi kami lebih sering berbincang.
Hal-hal kecil keseharian. Tentang cuaca, tentang macet jalanan, tentang pengamen yang mampir rumahnya, tentang sepiring mie, tentang film, tentang kucingnya yang manja, hingga suatu tempat yang ingin dia datangi saat cutinya diacc suatu hari.
Kami juga pernah membincangkan puisi Neruda, puisi Gus Mus, dan beberapa novel Nicholas Spark.
Kadang Pengelana mengirim foto secangkir kopi. Tentu saja dengan koreknya. Aku tidak berkomentar apa-apa perihal korek dan pasangannya itu. Ayah juga begitu kok. Pernah juga dia mengirim foto seekor burung yang hinggap di kabel listrik.
Lihat, G. Dia begitu kesepian.
Suatu hari kelak ada burung sama hinggap di samping jendelaku, dan saat itu aku memotretnya dan mengirim kepadanya.
Tetapi kali ini, aku membalas pesannya dengan mengirim kulit-kulit kwaci yang baru saja kumakan. Oh Tuhan, sampai hari ini entah sudah berapa kwaci yang aku beli. Dewi sampai curiga karena aku beralih selera dari kacang ke kwaci.
“Bukan karena dia ‘kan?”
“Dia siapa?”
“Siapa lagi kalau bukan si Kelana Kelana itu.”
Aku terbahak, “Pengelana,” jelasku.
Dewi hanya geleng-geleng. “Mau berkelana, bertualang, pengembara, atau siapalah. Aku nggak yakin itu nama sebenarnya.”
Aku masih tertawa, “Aku nggak peduli kok itu nama asli atau bukan.”
Omong-omong tentang Pengelana. Pasca kami berteman di facebook, ternyata banyak sekali postingan-postingan yang hanya disetting kusus. Salah satunya album yang berisi puisi-puisi.
Yang membuat aku bertanya-tanya adalah, puisi-puisi itu ditulis di atas tisu.
Kenapa suka menulis di tisu? tanyaku.
Sepenting apa pertanyaan itu, G?
Itulah Pengelana. Kalau ditanya sering balas bertanya. Melihatnya begitu kadang aku merasa melihat sisi diriku yang lain pada dirinya. Mungkin benar kata Pengelana, kami sedikit sama. Hanya sedikit. Bahkan dia juga bilang kalau gaya menulisku sedikit sama dengan gaya menulisnya. Tentu saja dia ulang lagi dengan menekankan pada kata ‘hanya sedikit’. Aku bisa merasakan itu memang, maksudku kesamaan gaya tulisan, diksi kami terutama.
Kalau tidak mau menjawab ya sudah. Aku membalas begitu karena tidak mau terkesan terlalu ingin tahu.
Nanti juga akan terjawab, ucapnya.
Kukira dia butuh waktu untuk menjawab pertanyaanku. Atau mungkin itu sesuatu yang rahasia. Tetapi, sorenya, ketika aku masih di laundry dia mengirimkan foto gumpalan tisu dengan tulisan yang sedikit panjang. Aku baru membacanya sepulang kerja.
Kamu tahu kenapa tisu? Agar dengan mudah saya bisa meremas lalu membuangnya. Lantas siapa yang mau memungut segumpal tisu bekas? Bahkan kau pun merasa jijik kan, G?
Di kepala saya penuh dengan kata-kata. Kadang saya sampai bingung bagaimana merangkainya menjadi kalimat. Saya mencoba menuliskan di media sosial. Mereka memberi saya berbagai emoticon, jempol, hati dan lain-lain.
Lalu apalah artinya itu? Omong kosong. Karena mereka takkan pernah tahu apa yang sebenarnya.