Seperti bulan tersangkut tiang listrik nggak sih?
Seusai subuh aku membalas pesan Pengelana tentang foto lampu jalan yang dikirim semalam.
Centang satu.
Aku meneruskan melakukan kegiatan pagiku. Membaca beberapa halaman, dan mengetik artikel mingguan sambil sarapan sepiring buah naga.
Hari ini, di sekolah ada kegiatan luar. Mungkin akan sibuk. Ini pengalaman pertama untukku. Jadi, aku tidak bisa membayangkan bagaimana mengendalikan anak-anak itu di tempat umum.
Di grup sekolah, mulai banyak notifikasi, orang tua wali murid menanyakan beberapa hal. Sebagian hanya bilang kalau anaknya sudah bangun sejak subuh karena tidak sabar menunggu hari ini. Ada juga yang mengirim foto anaknya sedang terkantuk-kantuk di kamar mandi.
Aku tertawa. Para ibu itu sama ributnya seperti anak-anak saat di kelas. Apa aku juga akan begitu kalau menjadi ibu? Mungkin.
Omong-omong pesanku untuk Pengelana masih centang satu. Aku memutuskan bersiap. Dari jendela aku melongok keluar. Langit biru. Semoga hari ini berjalan dengan mudah.
Untuk berhemat tenaga, aku memutuskan naik angkutan dua kali. Biasanya aku berjalan dari kos, melewati kampus Brawijaya, kemudian menyambung naik angkut. Kusempatkan mengintip ponsel.
Pengelana baru saja mengirimkan pesan lima menit yang lalu, tetapi dia menghapusnya. Aku menimbang untuk bertanya kenapa dihapus? Tetapi aku mengurungkan.
***
Seperti yang aku duga. Kegiatan luar cukup menguras energi. Kami harus ekstra perhatian kepada anak-anak. Belum lagi berbagai pesan dari ibu-ibu yang menanyakan anak-anak mereka.
Aku memotret suasana bus untuk memberi gambaran. Ternyata itu bukan membuat mereka tenang. Ada yang mengatakan anaknya belum terlihat. Ada yang bilang anaknya terhalang, dan ada juga yang berpesan agar aku mengecek perut anaknya karena agak kembung sewaktu berangkat.
Para guru sepakat aku bertugas menjawab pertanyaan grup, sekaligus memotret dan mengirim foto. Ini bagian yang aku sukai. Meskipun modal kuota.
“Usahakan terlihat wajah anak-anaknya ya,” pesan Bu Zahra. Aku mengacungkan jempol. Benar juga, sepertinya para mama-mama ini terus memantau ponsel mereka sejak anak-anak berangkat. Terbukti setiap satu pesan dan foto yang kukirim segera ditanggapi. Sebagian mereka langsung memindakan foto-foto itu ke status-status whatsapp.
***
Sepulang dari sekolah kepalaku terasa pusing. Karena takut tidak bisa bekerja di laundry aku memutuskan minum obat. Masih ada waktu setengah jam lagi sebelum berangkat. Aku tiduran sambil membuka media sosial.
Memberi beberapa jempol pada status teman yang kukenal. Memberi ucapan pada seorang penulis yang baru saja menelurkan novel terbarunya. Agak lama berhenti di status yang kolom komentarnya sedang obral buku, melihat barangkali ada yang cocok.
Aku menggeser layar, hingga sampai pada status Pengelana.
Lelaki itu menatap sekeliling. Berusaha nyaman dengan aroma dan suasana khas. Dia menangkap berbagai wajah dengan ekspresinya masing-masing.
Lelaki itu berdiri begitu namanya disebut. Seorang petugas membukakan pintu dan tersenyum padanya. Dia menyerahkan map kepada lelaki tua berjas putih, yang kemudian dengan seksama memeriksa kertas-kertas dalam map itu. “Sudah siap operasi besok?”
Aku menegakkan punggung membaca status itu. Jelas ini bukan fiksi. Aku ingin bertanya di komentar. Tetapi jempolku segera menuju whatsapp.
Siapa yang mau operasi?
Pengelana online. Aku berdebar menunggu balasannya. Selama tiga menit aku menatap layar. Kemudian dia mengirim gambar mawar dengan emoticon senyum.
Ini bunga asli. Bukan imitasi.
Tentu saja itu canda yang tidak lucu. Aku bertanya serius.
Siapa yang sakit? Aku butuh jawaban.
Tenang. Saya masih bisa bangun. Memegang bunga bahkan memotretnya.
Artinya Pengelana yang sakit ‘kan?