Aku minta izin kepada kepala sekolah kalau besok tidak masuk karena temanku operasi. Entah karena ekspresiku benar-benar penuh kekhawatiran atau bagaimana. Kepala sekolah memberiku izin.
Para guru bertanya, temanku operasi apa. Aku menjelaskan sekilas. Saat mereka bertanya di mana temanku berada, aku hanya menjawab, “Di rumah sakit.”
Aku tidak bohong bukan? Temanku memang di rumah sakit. Aku tidak perlu menjawab kalau dia ada di Jakarta ‘kan? Kemudian mereka mendoakan agar temanku segera sembuh. Aku mengucapkan terima kasih untuk itu.
Sepanjang sisa hari itu aku hanya menggumankan zikir. Aku tidak berani menyapa Pengelana. Aku ingin izin di laundry tetapi itu juga tidak mungkin. Jadi saat kerja, Tina kembali menatapku heran.
“Kamu masih sakit?”
Aku menelan ludah. tercekat. “Enggak.”
“Kau kusut sekali, lelah banget ya?”
“Enggak kok.”
Aku menutup mata. Lama. Kutangkup wajah dengan kedua telapak tangan. Apakah ada orang dibius total kemudian terjadi sesuatu? Tidak. Tidak. Tidak. Aku tidak berani mencari informasi di internet tentang itu.
“Gani! Gosong!”
Aku membuka mata. Spontan aku menyambar setrika yang mengepul. Sialnya tanganku tersangkut di kabel dan alasnya tertarik hingga strika jatuh ke lantai.
Rok seragam pramuka di depanku tercap strika warna hitam dan berlobang sebesar telapak tangan.
“Astagfirullah….”
“Maaf….” aku gemetaran.
“Minum,” Tina menyodorkan air minum. Aku menatap sekitar yang berantakan.
“Yakin kau tidak apa-apa?”
Aku mengangguk. Berkali kuhirup udara dan mengembuskan. Aku mengambil strika dan memeriksa. Sepertinya benda itu baik-baik saja. Entahlah kalau ada kerusakan di dalamnya karena jatuh. Aku beralih memeriksa rok yang gosong. Yang ada dalam pikiranku segera pergi ke toko sebelum pemiliknya datang. Setidaknya, aku akan mengganti barang dan uang mungkin. Ini kelalaianku, jadi aku harus tanggungjawab.
“Temanku mau operasi jadi aku khawatir sekali dia kenapa-kenapa.”
“Ya Allah… pantasan kau berantakan begini.”
Aku kemudian pamit ke Tina untuk mencari rok. Kuminta pula kepadanya agar merahasiakan kejadian ini pada bos kami.
Kubawa rok yang bolong itu. Aku menghentikan angkutan dan pergi ke mall. Aku tetap bersyukur yang kuhanguskan rok pramuka. Lebih mudah mencari gantinya. Bagaimana kalau baju yang lain?
Butuh waktu satu jam untuk pergi dan pulang. Aku tidak henti bersyukur ketika pemilik bajunya tidak marah. Dia menerima begitu saja rok ganti yang kubelikan. Memang merknya tidak sama. Tetapi bahan mirip, dan ukurannya sama persis. Aku menawari ganti uang juga tetapi dia menolak.
Sungguh hari yang terasa lebih panjang dan lama. Sampai di kos aku seketika menjatuhkan diri di tempat tidur dan tidak ingat apa-apa lagi seusai membaca doa.
***
Aku bangun jam dua, dan langsung ingat bahwa aku harus berdoa untuk Pengelana. Omong-omong bukannya Pengelana merantau ya? Siapa yang menunggui dia? apakah keluarganya datang?
Di surat hasil lab yang dikirim kemarin tertera nama salah satu perusahaan besar di Indonesia sebagai penanggungjawab biaya rumah sakit. Aku ikut lega. Jadi dia bekerja di sana. Artinya bisa saja saat kami bertemu itu, bukan benar-benar hari pertama Pengelana melarikan diri. Entahlah. Aku tidak permasalahkan itu. Yang penting prosesnya operasi nanti lancar.
***
“Jadi karena Pengelana operasi kamu sampai nggak masuk kerja?”
Dewi masuk kamar dan melotot ke arahku, seolah ibu yang siap mengomeli anaknya.
“Daripada aku nggak konsentrasi….”
Dewi duduk di depanku. Meneliti wajahku. Aku tidak suka dilihat seperti itu.
“Kamu menyukainya?”
“Kenapa bertanya begitu?’
“Kamu jatuh cinta padanya?”
“Kamu pikir semudah apa jatuh cinta?”
“Caramu mengkhawatirkannya ini sudah berlebihan. Dia itu siapa sih sampai-sampai kamu nggak masuk kerja? Lagi pula kamu mau apa di rumah? Mau ke sana nunggui dia?”