Saya boleh tanya sesuatu?
Jawab dengan jujur ya?
Sepulang dari laundry, aku membaca kembali pesan Pengelana yang belum kubalas sejak tadi siang. Kenapa sih dia tidak langsung bertanya saja apa yang ingin ditanyakan? Apakah aku akan sulit menjawabnya? Atau itu sesuatu yang bisa menyinggung?
Mau bertanya apa? Jangan bertanya sesuatu yang kira-kira tidak bisa saya jawab.
Aku mengirim kalimat itu dan menunggu balasannya sambil membaca buku. Hampir jam sepuluh malam, pesan Pengelana masuk.
Tidur sana. Hujan sudah reda.
Aku mengangkat alis. Kalimat macam apa itu? Maksudnya dia tidak jadi bertanya? Aku mengetuk-ngetuk tepi ponsel. Karena melihat Pengelana yang langsung off, jadi aku tidak membalas lagi. Kutaruh ponselku dan meneruskan membaca.
***
Salah satu yang aku lakukan di Minggu pagi, selain mengecek di grup Sastra Minggu perihal pemuatan karya, adalah membaca karya-karya yang ada di sana.
Yang pertama, tentu saja aku ingin belajar dari tulisan-tulisan yang dimuat. Yang kedua, untuk mengetahui selera media tersebut. Kalau kita ingin mengirimkan tulisan ke suatu media kita harus mengenalnya ‘kan? Harus melihat juga apakah naskah yang kita kirim kira-kira cocok atau tidak.
Sebab, bisa saja naskah ditolak bukan karena buruk, tetapi karena tidak cocok. Mungkin ini seperti kata Ayah, tembakau enak yang dijemur ayah tidak bisa dicampur dengan opor ayam lezat masakan ibu. Baiklah memang terdengar tidak nyambung.
Aku kembali mengecek kolom komentar grup. Seorang penulis memberi informasi dari satu surat kabar, tentang pemuatan cerpen dan puisi sekaligus foto halaman korannya. Di surat kabar Jawa Barat cerpen yang dimuat milik Vina Sri, nama yang tidak asing. Di surat kabar Sulawesi ada resensi milik Ansar Siri. (Dulu kukira Ansar Siri sama Vina Sri itu masih saudara. Aku pernah membaca novel mereka di beberapa platform menulis. Belakangan Ansar semakin melesat karyanya. Ternyata mereka tidak saling kenal.)
Aku kembali membaca komentar, tujuh puisi yang dimuat atas nama Zakiya.
Aku memperbesar foto puisi yang berjudul Sajak-Sajak Zakiya.
POHON
barangkali, aku harus berguru pada pohon peluruh,
bagaimana mereka selalu tangguh
meskipun di musim gugur, seluruh daunnya runtuh
bagaimana bisa, ia tak cemburu, pada pepohonan hijau
yang sepanjang tahun, warnanya senantiasa begitu
Aku tidak asing dengan puisi ini. Ini kan puisi Pengelana yang ditulis di tisu? Ya Tuhan. Ada yang plagiat tulisan dia rupanya.
Aku membaca puisi berikutnya.
RANTING JATI
Kemarau adalah jeda yang menumbuhkan rindu berulang pada hujan
bertahanlah meski lelah, sebagaimana ranting-ranting pohon jati
yang tak pernah cemburu pada batang akasia yang tahan api.
Oh? Ini juga puisi Pengelana. Aku membaca lima puisi yang lain, dan mencocoknya dengan tulisan Pengelana. Semua sama. Bahkan tidak ada satu kata pun yang diubah.
Zakiya? Apa dia Pengelana?
Aku mencari akunnya. Ada beberapa nama Zakiya, tetapi hanya ada satu yang berteman dengan Pengelana. Aku membungkam mulut. Dia pernah komentar di status Pengelana. Artinya dia memang berteman sehingga bisa mengakses album foto yang kusus teman.
Hei
Puisimu diplagiat tuh. Dimuat di koran atas nama Zakiya.
Aku mengetik pesan dengan agak emosi. Berani-beraninya orang itu mengakui tulisan yang bukan miliknya. Bisa-bisa kubuka di status. Pasti akan geger nih hari Minggu.