Jam satu dini hari saat terjaga, aku mendapati satu pesan suara dari Pengelana. Bukan. Bukan pesan suara. Tetapi sebuah lagu. Lagu apa ini? Aku mengambil headset…memasang di telinga.
Intro mulai terdengar.
Pelan.
Seolah memecah sunyi dini hari. Aku pernah mendengar lagu ini… entah di mana. Rasanya sudah lama sekali…
Oh. Ini… Hello-nya Evanescence.
Suara Amy Lee mengalun pelan, terasa sampai di hati.
Hello
I’m the lie, living for you so you can hide
Don’t cry…
Interlude.
Lalu sekonyong-konyong ada yang terasa menyumbat di tenggorokanku.
Suddenly I know I’m not sleeping
Hello, I’m still here
All that’s left of yesterday…
Lagu selesai dengan sedikit instrument lembut… Aku membenamkan wajah pada kedua telapak tangan. Tidak mengerti kenapa Pengelana mengirim lagu begitu.
Belum tidur? Bangun tidur? Atau tidak bisa tidur?
Aku mengetik kalimat, tetapi buru-buru menghapus sebelum mengirimnya. Di waktu yang berdekatan dengan lagu itu dikirim kepadaku, Pengelana memasang bait terakhir di statusnya.
Suddenly I know I’m not sleeping
Hello, I’m still here
All that’s left of yesterday.
Mungkin dia memang sedang tidak bisa tidur.
Aku kembali memutar Hello. Entah kenapa aura lagu ini terasa sedih.
Tidak mau terbawa suasana, aku melepas headset. Menaruh ponsel. Kulirik jarum jam, dan aku menuju pancuran.
Tiga puluh menit berikutnya aku menyalakan laptop. Ada naskah yang harus kurevisi sebelum dikirim. Aku mencoba tidak berpikir perihal lagu itu, dan baru berpaling dari layar ketika terdengar azan subuh. Suasana kos mulai ramai. Terdengar langkah-langkah tetangga sebelah menuju masjid.
***
Dua puluh jam pasca mengirim Hello, Pengelana tidak menyapa sama sekali. Aku ingin mengomentari statusnya tentang petikan lagu itu tetapi ternyata sudah dihapus.
***
Pagi, sambil bersiap berangkat kerja, aku menyeduh kopi. Kupotret secangkir kopiku dan mengirim pada Pengelana.
Mana kopimu? tanyaku.
Centang satu.
***
Sampai di sekolah sebelum masuk kelas kulihat lagi ponselku, dan pesan untuk Pengelana tetap centang satu.
Hmm… tidak biasanya.
***
Saat istirahat aku kembali mengecek WhatsApp. Astaga. Pesanku tetap centang satu. Ada apa dengannya? Apa terjadi sesuatu? Paket datanya habis? Ponselnya hilang? Dia sakit? atau dia memblokir nomorku? Tapi untuk alasan apa?
Dan centang satu itu berlanjut hingga malam aku pulang kerja. Perasaanku mulai tidak enak. Tetapi, ini Senin yang melelahkan. Aku akan tidur lebih cepat.
Belum sempat menaruh ponsel, sebuah panggilan masuk.
Ibu
“Sudah pulang?” tanya ibu setelah kami bertukar salam.
“Baru saja, Bu.”
“Dirasani ayahmu, lama nggak nelpon.”
“Iya, maaf….”
“Masih bertengkar dengan Wira?”