Hay Gerimiskecil
OMG! Pengelana menyapa dengan nama akun smuleku.
Gerimiskecil siapa?
Ya kamu itu.
Aku membungkam mulut. Berarti dia sudah mendengarkan puisiku?
Dari mana bisa tahu?
Siapa lagi yang punya puisi seperti itu kalau bukan kamu?
Dia benar-benar tahu. Syukurlah dia tidak komentar apa-apa, misalnya suaraku cempreng atau seperti daun kering terinjak gitu.
Kenapa nggak nyanyi? tanyanya.
Nggak bisa lagunya
Kamu suka lagu apa nanti saya buatin undangannya
Nggak berani… Astaga jawabanku tidak cerdas.
Nggak berani kenapa?
Takut baper, aku menambah emoticon menutup wajah.
Kamu tuh. Nyanyi ya nyanyi saja. Nggak usah bawa perasaan.
Aku membaca ulang pesan yang dikirim Pengelana. Ingat bagaimana kemarin sempat mengkhawatirkan dia saat mengirim lagu-lagu itu.
Untitled kemarin, kukira kau kenapa-kenapa…
Pengelana tertawa. Hanya sedang tidak baik.
Sekarang sudah baik?
Insya Allah
Kalau Hello? Biarlah sekalian aku tanyakan saja. Siapa tahu dia cerita sesuatu tentang Zakiya, misalnya.
Itu lagu memories
Sedang mengenang? tanyaku.
Sedang mendengarkan lagu. Lihatlah, bagaimana cara dia menjawab pertanyaan?
Tiba-tiba aku ingat sesuatu. Seorang teman memberi pengumuman seleksi festival literasi Tangsel.
Kamu mau ikut ini? Puisi-puisimu bisa diikutkan. Aku mengirim gambar pengumuman, sekaligus tautan Instagram.
Kamu ikut? tanyanya.
Pengennya sih ikut. Tapi deadlinenya mepet, dan saya belum nulis. Kalau kamu mau kirim puisi kan tinggal pindahin saja dari puisimu yang sudah ada itu.
Kamu saja yang ikut, kata Pengelana.
Kamu nggak mau? Atau Zakiya lagi yang kirim?
Pengelana tidak menjawab. Dia langsung off begitu saja. Apa dia setuju Zakiya akan kirim? Kebiasaan dia menghilang begitu. Tetapi, ya memang tidak ada aturan di antara kami harus pamit atau izin hanya untuk berhenti dari obrolan. Kami ‘kan bukan sepasang kekasih yang apa-apa mesti izin.
***
Omong-omong, akhir-akhir ini banyak sekali acara literasi yang bisa diikuti. Biasanya peserta yang lolos akan mendapat undangan acaranya. Aku pernah kirim naskah untuk Banjarbaru’s Rainy Day Literary Festival, Festival Literasi Indonesia Timur, Temu Penyair Nusantara, dan semuanya masih gagal. Tiga kali ikut Ubud Writers and Readers festival tapi belum belum berhasil juga.
Karena untuk festival literasi Tangsel ini temanya bebas, aku memikirkan ide yang kira-kira bisa menarik perhatian juri. Aku memutuskan mengirim puisi lama yang kurombak dan kupadukan dengan perihal Sungai Cisadane. Tetapi menurutku masih biasa saja, tidak ada yang ‘wah’.
Sementara untuk cerpen…
Aku berpikir perihal seseorang bermantel basah yang mencabuti kenangan dari kepalanya. Cerpen itu berhasil mengambil perhatian redaktur koran ternama. Bagaimana kalau kali ini aku juga menulis perihal dia lagi?
Tapi kali ini tentang dia dan lagu-lagunya.
'Untuk Semua Lagu yang Kau Nyanyikan Aku Cukup Menulis Puisi’. Bukankah judul-judul panjang begini sedang naik daun? Setidaknya tertarik dibaca dulu hingga selesai. Perkara nanti terpilih atau tidak itu soal rezeki.
Kami bukan sepasang kekasih.