Meskipun Hujan Masih Turun

Shabrina Ws
Chapter #16

Dering Telepon

“Gani….”

Aku menegakkan punggung. Waspada. Suara di seberang sebelumnya tidak pernah terdengar di ponselku.

“Ini Paman.”

Dadaku tersirap.

"Ayah dan ibumu kecelakaan. Sekarang di rumah sakit….”

Kalimat berikutnya membuat sendi-sendiku lemas. Paman dengan suara bergetar menceritakan kalau ayah dan ibu mengalami kecelakaan tunggal. Dan kata-kata selanjutnya mendegam-degam di telingaku.

Aku menggengam ponsel kuat-kuat. Mencari pegangan dari ketakutan yang seketika mencengkeramku. Berkali-kali aku mengusap mata. Pandanganku buram menatap sekeliling kamar.

Kusambar ransel di gantungan, mengisinya dengan dua setel baju. Kuraih buku acak dari tumpukan, kemudian menyelipkan juga ke dalamnya.

Aku menekan-nekan dahi, mencoba berpikir jernih. Tetapi yang memenuhi kepalaku adalah wajah ayah dan ibu, dan cerita paman yang kemudian menjelma gelungan kecemasan.

Kuraih botol minum di meja. Kuteguk paksa. Apa ya? apa? Apa lagi? Lalu pandanganku jatuh pada laptop dan charger. Kujejalkan semua ke dalam ransel. Kutambahkan dompet, ponsel dan Quran terjemahan. Kemudian mencangklongnya setelah memakai jaket.

Kos sepi sekali. Aku memang pulang pagi karena ada fogging dan sekolah libur.

Aku menyusuri lorong mencari kamar yang ada penghuninya.

“Mila?” Aku mengetuk pintu kamar Mila, anak kampus Brawijaya yang sedang skripsi.

“Ya, Mbak?”

“Aku pulang. Orangtuaku kecelakaan.”

“Innalillahi. Dimana Mbak? Terus gimana sekarang?” Mila melompat dari kasur, membuka pintu lebih lebar, lalu memelukku. “Semoga nggak parah ya Mbak.”

“Tolong bilang ke Dewi juga ya.”

“Iya Mbak, iya. Yang sabar ya Mbak. Ya Allah…”

“Makasih.”

“Gimana kalau aku antar sampai terminal, Mbak?” Mila manatapku dengan raut cemas.

“Nggak usah, aku naik angkot aja.”

“Nggak apa-apa, Mbak, biar aku antar.”

“Gampang angkotnya Mila. Makasih ya.”

Aku mengucapkan salam setelah meyakinkan Mila bisa pergi sendiri. Setengah berlari aku menuju ke jalan raya, mencegat angkota ke arah terminal Landungsari. Mencari bus jurusan Jombang dan menyambung bus dari Surabaya menuju Ponorogo. Ibu dirawat di sana.

Sepanjang perjalanan tak henti-hentinya kulafalkan doa dan istigfar. Aku berharap semua baik-baik saja. Semua baik-baik saja. Allah kumohon.

Adzan isya terdengar ketika bus berhenti di terminal Seloaji Ponorogo. Aku mencari ojek. Kusabar-sabarkan duduk di boncengan motor yang dikemudikan dengan lambat. Meski rasanya ingin kugas saja sendiri. Tetapi kemudian, aroma balsam dari jaket bapak ojek menyentakku, mungkin saja dia sedang sakit tetapi harus terus bekerja.

Begitu sampai tujuan, aku langsung menghambur melewati gerbang rumah sakit. Setengah berlari menyeberangi halaman, sebelum akhirnya berhenti sejenak, memindai sekeliling. Aku melangkah lagi melewati beberapa orang, mencari jalan ke bagian informasi. 

Aku berusaha setenang mungkin, saat duduk dan mendengar perawat mengatakan kalau ibu baru saja masuk kamar. Katanya lama menunggu di UGD karena kamar penuh. Aku menanyakan ayahku, tetapi perawat tidak menemukan pasien atas nama ayah.

Aku mengucapkan terima kasih. Dengan mengikuti petunjuk perawat itu, segera kucari kamar tempat ibu dirawat.

Menyusuri lorong dengan aroma khas rumah sakit. Berpapasan dengan wajah-wajah murung, orang-orang yang duduk terkantuk-kantuk, seorang ibu yang berdiri gelisah memeluk tas gemuk, petugas yang berjalan tergesa dengan map di tangan.

Aku berbelok ke lorong yang lebih sepi. Mencari tangga, tak kutemukan. Aku terus berjalan lurus, dan seketika kaki terpaku di lantai saat membaca tulisan di depanku, ‘kamar jenazah’.

Sadar salah jalan, aku segera berbalik. Tidak membuang waktu, bertanya pada orang yang kutemui. Kamar ibu di lantai tiga. Menghadap ke timur. Aku menarik napas panjang, begitu mengenali gerombolan orang yang duduk di luar kamar.

“Gani…” Bibi, adiknya ayah, memelukku. Lalu bergantian para tetangga, menepuk-nepuk, mengucapkan kata-kata supaya aku sabar. Mereka memberi jalan agar aku masuk kamar.

Ibu terbaring lemah. Kutahan sekuat tenaga agar air mataku tidak jatuh. Kugenggam tangannya. “Ibu… ini Gani….”

Kelopak ibu bergerak, matanya terbuka, kemudian menutup kembali. “Gani…” ucapnya lirih, membuat pertahananku jebol juga. Aku menciumi punggung tangannya.

“Ayahmu di rumah. Sudah dibawa ke pijat.”

Aku menoleh pada bibi. Aku bertanya kenapa ayah tidak ikut dibawa ke rumah sakit. Lalu bibi menceritakan bagaimana proses kecelakaan itu. Ibu yang seketika tidak sadarkan diri langsung dibawa ke puskesmas terdekat, kemudian di rujuk ke sini. Sementara ayah yang mengeluhkan bagian bahu, dibawa ke tukang pijat oleh tetangga.

Aku agak menyesalkan itu. Khawatir terjadi sesuatu dengan ayah. Tetapi bagaimana bisa kita memprotes orang yang telah menolong kita? Aku berharap kekhawatiranku tidak terjadi. Kuucapkan terima kasih pada para tetangga yang sudah merelakan waktunya menunggi ibu hingga aku datang. Ketika mereka semua pulang aku hanya berdua dengan bibi.

Aku menelepon ayah. Beliau bilang baik-baik saja. Hanya tangannya masih sakit. Tetapi entah kenapa aku merasa ada yang disembunyikan ayah.

Hampir semalaman aku tidak tidur. Mata ibu terus terpejam. Berkali-kali aku mendekatkan jariku ke hidung ibu, juga memastikan dadanya tetap bergerak naik turun.

“Tidurlah.” Bibi menyuruhku menggantikannya tidur di ranjang sebelah, karena pasien yang sebelumnya di sana sudah pulang tepat saat ibu masuk. Tapi aku memilih bertahan di samping ibu hingga subuh.

Lihat selengkapnya