Untuk waktu yang lama, aku dan Wira saling diam. Demi menghindari kekakuan, aku memperhatikan wajah ibu. Berharap ibu bangun. Minta minum, minta pindah posisi atau apa saja yang membuatku punya alasan untuk bergerak.
Seharusnya kami bisa berbincang lancar, seperti dulu-dulu. Saling berbagi cerita. Atau, harusnya aku langsung saja memintanya berkisah selama dia pergi. Aku dan Wira tidak pernah secanggung ini sejak kecil. Dan seketika aku ingat percakapan terakhir kami di telepon tidak begitu baik.
“Dokternya sudah visit?” Akhirnya, Wira memecah kebekuan.
“Sudah.”
“Aku sangat kaget waktu dapat kabar.”
Aku berpaling dari ibu, dan menemukan kesedihan dari tatapan Wira.
“Jadi benar, bibi yang menyuruhmu pulang?”
“Ya.”
“Jadi sebenarnya belum akan pulang?” tanyaku.
“Mungkin seperti kamu yang belum mau pulang.”
“Kamu menyindirku?”
“Syukurlah kalau merasa.”
Syukurlah kalau merasa? Dia pulang karena disuruh. Jadi…
“Jadi sebenarnya kamu ke Batam ngapain?” Aku masih ingin tahu alasan Wira pergi.
“Sudah kubilang, seperti kamu di Malang ngapain?”
“Terus kenapa nggak pernah kasih kabar?”
“Kamu ‘kan nggak tanya?
“Aku ‘kan sudah tanya panjang lebar waktu kamu berangkat. Hanya kamu jawab, aamiin, gitu aja.”
“Ya kan itu doa.”
“Terus pas sudah sampai sana kenapa nggak kasih kabar juga?”
“Nggak tahu kamu perlu kabar.”
Percakapan kami berhenti saat suara roda mendekati ruangan. Seorang perawat membuka pintu, melangkah masuk, mengucapkan permisi sambil mengangguk padaku. Disusul perawat lain yang mendorong ranjang pasien.
Kesibukan di sebelah untuk beberapa saat menghentikan perbincanganku dengan Wira. Tak lama berselang ibu bangun. Minta minum. Kemudian menyapa Wira, bertanya kapan datang dan lain sebagainya.
Aku punya alasan berdiri saat ponselku berbunyi. Notifikasi email. Dari panitia acara, mengucapkan ikut sedih atas alasan ketidakdatanganku. Kemudian aku diminta alamat untuk pengiriman buku.
Saat hendak duduk lagi di kursi, seorang perawat masuk, memberikan resep yang harus aku ambil di apotek. Aku pamit pada Wira, dan dia bilang akan menemani ibu.
Begitu sampai di lantai dua, aku baru ingat ponselku ketinggalan. Jadi aku berbalik lagi untuk mengambilnya. Ibu bertanya kenapa aku kembali, tetapi Wira tidak komentar apa-apa saat aku mencabut ponsel dari charger.
Antrean di apotek cukup panjang. Seluruh tempat duduk terisi penuh. Meski ber-AC tetapi ruangan terasa pengap, campuran aroma obat dan keringat. Aku berdiri beberapa menit, sebelum mendapat kursi kosong. Tiga puluh sembilan menit kemudian resepku baru dipanggil.
Aku kembali ke kamar dan minta maaf pada ibu Wira karena telah menunggu lama.
“Kalau mau nengok ayahmu, pulanglah. Biar bibi jaga ibumu,” kata Ibu Wira setelah aku menaruh obat di atas nakas.
“Beneran Bi?”
“Iya, sana.”
“Tapi jadi merepotkan?”
“Nggak ada repot. Sana biar diantar Wira.”
Kalimat itu membuat aku dan Wira spontan saling pandang.
“Mmm… tapi, Bi….” Tentu saja tidak mungkin aku berboncengan dengan Wira.
Wira menatapku sejenak, sebelum merogoh sakunya. Dia mengeluarkan kunci dan STNK, “Nih,” kemudian menaruh di depanku.
“Gimana tho?” tanya ibu Wira bergantian menatap kami.