Meskipun Hujan Masih Turun

Shabrina Ws
Chapter #18

Pelajaran dari Pengelana

Aku tersenyum melihat balasan Pengelana. Tentu saja aku tidak perlu menerka-nerka apa maksudnya. Lagi pula di Smule dia sering kok memberikan emoticon-emoticon hati pada orang-orang yang bergabung dengan lagunya.

Sejak mengenalnya, secara tidak langsung, dia telah mengajarkan banyak hal padaku. Misalnya, ketika kami membahas buku dan dia bertanya:

“Coba katakan apa yang kau ingat dari novel itu.”

“Saya lupa.” Saat itu aku memang lupa. “Saya hanya mengingat hal-hal yang berkesan saja. Maksudnya, buku-buku yang berkesan.”

“Kalau saya berkesan tidak?”

Pertanyaan macam apa itu? Aku tidak mungkin ‘kan mengatakan kepadanya kalau gelas bekas itu saja masih aku simpan? Bisa-bisa dia menertawakan aku.

“Apakah suatu hari, kamu akan melupakan saya?” Pengelana kembali bertanya.

“Pertanyaan macam apa itu?” Aku cemberut.

“Jawab saja.”

Aku diam.

“Jawab.”

Aku masih diam.

“Jawab.”

Aku bahkan tidak pernah menghapus obrolan kami sejak awal. Ratusan foto kirimannya kubuat album sendiri. Lagu-lagunya, maksudku lagu-lagu kirimannya dan lagu-lagu yang dia nyanyikan, kubuat daftar putar kusus.

“Mungkin… mungkin saya akan ingat kau memanggil saya jaim dan berantakan.”

Pengelana tertawa, lalu dia mengatakan, “Kalau saya, mungkin suatu saat akan berusaha mencari cara untuk melupakanmu.”

“Maksudmu apa?”

“Bercanda.”

“Apa salah saya?”

“Bercanda, G.”

“Nggak lucu!”

Maaf.”

Saat itu, entah kenapa aku jadi sedih. Itu pertama kalinya Pengelana membuat aku sedih. Kemudian aku selalu berpikir, apa salahku? Jadi sesekali di sela percakapan kami, aku sering bertanya, “Sebenarnya apa sih salah saya?”

“Kamu itu, apa-apa jangan dianggap serius. Jangan mudah baper. Saya bilang minta maaf, eh kamu malah baper. Saya nyanyi kamu baper.”

“Bukan baper sih…”

“Sudah, mulai sekarang nggak usah tanya-tanya apa salahmu lagi. Jangan dihubung-hubungkan lagi.”

Waktu itu aku hanya menjawab “Oke.” Tetapi diam-diam aku mencerna kata-katanya. Mungkin benar aku begitu. Namun tahukah dia bahwa aku tidak bersikap seperti itu ke semua orang?

Tetapi ya, kemudian, aku mulai memahami diriku sendiri. Bahwa perasaan semacam itu karena…, karena aku takut kehilangan dia. Bagiku Pengelana teman bicara yang dikirim Tuhan. Berbincang dengannya membuat hal-hal sederhana menjadi sesuatu yang berharga.

Hanya Pengelana yang tahu bagaimana membaca daun berserakan. Bagaimana memahami burung sendirian. Bagaimana menangkap lampu berpendaran, bagaimana mendengar raungan hujan, dan bagaimana caranya memotong senja. Bicara begitu dengan orang lain, kadang aku dianggap tidak masuk akal dan berlebihan.

Jadi, baru membayangkan dia menghilang saja, rasanya sudah menyakitkan. Meski aku tahu ada Zakiya. Aku tahu mereka sepasang kekasih. Aku sadar benar itu. Tetapi perasaan tak ingin kehilangan tidak selalu perasaan ingin memilik bukan? Apa aku salah?

Aku pernah memanggilnya, “Hei teman baik.”

Tetapi dia justru bertanya, “Sejak kapan kau memanggil saya teman baik?”

“Sejak saya menganggapmu teman baik.”

Waktu itu Pengelana tertawa dan balik bertanya. “Kalau saya sudah pernah belum memanggilmu teman baik?”

“Belum. Tetapi saya nggak peduli.”

“Suatu saat pasti saya lakukan.”

“Nggak perlu memaksakan deh. Saya nggak masalah dipanggil apa pun kok. Lagi pula, meski saya menganggapmu teman baik 'kan belum tentu kamu menganggap saya baik juga.”

“Kamu memang si jaim sih.”

Tetapi suatu hari dia benar-benar mengatakan, kamu teman yang baik, hanya karena dalam satu hal kami punya pendapat dan selera yang sama.

Jadi begitulah, kembali ke emoticon yang dikirim Pengelana tadi, aku tidak membalas apapun. Dan juga tidak berpikir apapun. Apakah itu artinya hal-hal yang diajarkan Pengelana padaku berhasil?

“Mbak?”

Lamunanku buyar. Aku menoleh pada penunggu pasien sebelah yang memanggilku.

“Ya, Mas?”

“Maaf sebelumnya. Mau merepotkan. Saya harus nebus obat nih. Bisa minta tolong nanti sampaikan pada emak saya kalau bangun dan nyari saya?”

“Oh, iya, bisa.”

“Terima kasih ya, Mbak.”

Lihat selengkapnya