“Makasih untuk semuanya,” kataku.
Aku menyusul Wira yang duduk di selasar. Hari ini begitu padat. Aku tegang menunggui ibu menjalani CT-Scan. Khawatir ibu tambah parah ketika harus menempuh perjalan dari kamar hingga lab. Ya meskipun dengan ranjang dorong.
Aku membaca apa saja yang bisa kubaca. Dari al Fatihah, al Ikhlas, al Falaq, an Nas. Benar-benar kuhayati artinya. Sambung menyambung kulafalkan salawat dan istigfar. Aku berharap hasilnya baik-baik saja. Baik-baik saja.
Aku membenamkan wajah pada kedua talapak tangan. Kadang membungkam mulut. Sesekali menautkan sepuluh jari dan menyangga dagu. Sementara Wira hanya diam. Duduk tak jauh dariku. Entah diamnya karena tidak mau mengganguku, atau sengaja tidak mau bicara denganku.
Jadi, begitu semuanya selesai, dan hasilnya menunjukkan ibu baik-baik saja, namun perlu istirahat panjang untuk pulih, aku merasa lega. Seketika merasa lapar. Aku ingat bahwa sejak pagi belum makan apa-apa.
Dan sewaktu ibu tidur, aku turun ke bagian depan rumah sakit. Ke jajaran warung makan di seberang jalan. Membeli makan untukku, untuk Wira dan untuk Khalid.
Khalid awalnya menolak dengan alasan sudah kenyang dan bisa mencari makan sendiri kalau lapar lagi. Tetapi aku tahu, seharian dia pasti tidak bisa keluar karena tidak ada yang menggantikan jaga ibunya. Jadi kutaruh saja di nakas.
“Maaf jadi merepotkanmu,” kataku sambil menaruh sebungkus nasi dan sendok di depan Wira. “Menyita waktumu juga.” Aku duduk, membuka makananku.
Wira tidak menjawab. Tetapi dia ikut membuka makanannya.
“Sebenarnya kalau kamu—“
“Makan dulu.”
Aku menatap Wira yang memotong kalimatku. Dia mulai menyuap. Kemudian kami sibuk dengan makanan masing-masing. Entah karena aku sedang lapar, atau karena hasil lab ibu atau karena ini nasi yang baru matang, perasaanku jadi lebih baik.
Wira menghabiskan makanannya lebih dulu. Dia masuk ke kamar. Tetapi tak lama kemudian keluar membawa botol minumnya, dan botol minumku.
“Makasih.” Aku tersenyum, berusaha mencairkan suasana.
“Aku punya ide,” kata Wira.
“Maksudmu?”
“Bibi.”
“Kenapa?”
“Kupikir tidak mungkin terus di ranjang datar.”
“Tapi, bahkan dokter saja menyarankan tidur tanpa bantal?”
“Dimiringkan secara bertahap.”
Aku diam. Selama ini, sejak kami kecil, dia selalu mengalah oleh pendapatku, mengiyakan apa yang aku iyakan, meski pada awalnya dia bilang tidak. Tetapi, perihal itu, rupanya memang sudah berubah sejak komunikasi tak lagi semudah dulu.
Jadi, kali ini aku yang mencoba mendengarnya.
Setelah ibu bangun, Wira bicara pada ibu, kalau dia akan memiringkan ranjang secara bertahap. Ibu setuju.
Ranjang ibu agak berkarat. Jadi Wira dibantu Khalid. Sementara aku memastikan ibu tetap pada posisi yang nyaman.
“Apakah tambah berputar-putar, Bu?”
Aku bertanya pada ibu bagaimana rasanya. Memintanya mencoba memiringkan kepala ke kiri dan kanan, pelan-pelan, bergantian. Kami menunggu satu jam reaksinya. Dua jam. Tiga jam. Dan Wira menambah ketinggian hingga 45 derajat.
Ranjang kembali ke posisi datar begitu tidur malam.
Pagi harinya, ranjang kembali dimiringkan pelan-pelan. Siangnya, kemiringan mencapai empat puluh lima derajat dan sore hari ibu bersandar di delapan puluh derajat. Aku melaporkan semuanya pada ayah. Sementara perawat tidak komentar apapun. Proses seperti itu berlangsung hingga ke hari berikutnya, dan berikutnya lagi.
Wira masih tak banyak bicara. Sering kali dia duduk di balkon dengan headset terpasang di kedua telinganya. Aku paham, itu cara seseorang tidak ingin diajak bicara. Sementara Khalid lebih sering duduk di samping ibunya. Dia meminjam buku yang kubawa.