“Gani.”
Tanganku menahan gagang pintu.
“Apa?”
“Makasih.” Wira menyodorkan kembali botol lotion, dia tidak turun dari kursinya, jadi aku berbalik lagi.
“Apa rencanamu setelah ini?” tanyanya setelah botol lotion pindah ke tanganku.
Aku menatap Wira sejenak. Menyakinkan kalau dia bertanya padaku.
“Mmm….”
Wira menggeser selimut yang tadi kutaruh begitu saja, ke dekatnya, sehingga menyisakan kursi kosong. Aku duduk di sana.
“Setelah bibi pulang kamu akan balik ke Malang?”
Aku tertawa tanpa suara. “Pertanyaanmu aneh.”
“Aku serius.”
“Ya kamu kan tahu keadaan ibu dan ayah seperti itu. Ya nggak mungkinlah aku meninggalkan mereka. Anak macam apa aku ini?”
“Aku percaya kamu anak baik.” Wira menahan senyum.
Aku menekuk bibir.
“Kalau gitu tidurlah,” kata Wira lagi.
“Tadi manggil, sekarang nyuruh tidur.”
“Kalau kamu belum balik ke Malang artinya masih banyak waktu untuk bicara.”
“Memangnya kamu mau bicara apa?”
Wira diam sejenak. “Nggak keberatan kita bicara sekarang?”
“Dari kemarin bukannya kamu yang selalu menghindari pembicaraan?” aku balik bertanya.
“Karena aku sedang berpikir dari mana memulainya,” kata Wira.
Aku menelan ludah. “Apakah begitu rumit?”
“Tidak juga.”
Aku diam, menunggu Wira melanjutkan kalimatnya.
“Cowok di stasiun itu, apa kabar?”
Pengelana? Aku sama sekali tidak menyangka kalau Wira akan bertanya demikian.
“Sejauh apa hubungan kalian?”
Aku menghirup udara, mengembuskan pelan. “Dia teman bicara yang baik,” kataku. “Itu pertemuan pertama kami. Aku sedang memikirkan perdebatan kita, lalu tahu-tahu dia duduk di sampingku. Bicara tentang betapa deras hujan hari itu….”
Wira tidak menyahut. Aku ingat dia pernah membahas itu di telepon.
“Berapa lama kamu melihat kami?” tanyaku.
“Sejak dia datang dari arah lain dan mengangsurkan satu gelasnya padamu.”
Aku tersenyum. “Aku bahkan sempat curiga padanya.”
Lalu aku terbayang kembali bagaimana Pengelana sibuk dengan minumannya. Sementara aku mematung dengan gelas di tangan. Aku masih ingat caranya meyakinkanku bahwa itu hanya cokelat. Aku menceritakan itu pada Wira.
“Setelah itu?” tanya Wira.
Aku kembali tersenyum. “Dia pergi lebih dulu. Tapi kemudian balik lagi.”
Aku ingat bagaimana Pengelana mengejutkanku. ‘Harusnya kamu bilang kalau ada yang ketinggalan!’ “Rokoknya ketinggalan.”
“Kamu yakin rokoknya memang ketinggalan?”
Aku menatap Wira dengan alis sedikit bertaut. “Maksudmu apa?”
“Cowok punya banyak alasan.”
“Kamu pikir dia pura-pura ketinggalan biar balik lagi?”
“Nggak usah tinggi gitu nadanya. Apa yang dilakukan saat balik?”
“Mmm…menuliskan nomor hpnya di bukuku.”
Spontan Wira terbahak.
“Apanya yang lucu?”
“Kamu menghubunginya?” tanya Wira.