Meskipun Hujan Masih Turun

Shabrina Ws
Chapter #21

Siapa Tara

Kepulangan ibu disambut oleh para tetangga. Mereka datang berduyun-duyun. Membawa bungkusan-bungkusan. Mulai dari kue-kue, hingga bahan makanan. Ada juga yang membawa rumput untuk kambing-kambing di kandang.

Tetapi, adegan yang membuat pertahananku runtuh adalah saat ayah dan ibu berpelukan.

“Yang sabar ya, iki ujian dari Allah,” kata Ayah. Belum ada perubahan pada tangannya. Masih digendong, bengkak dan susah digerakkan.

Aku ingin sekali memeluk keduanya. Tetapi kalau aku lakukan itu, aku yang tidak akan berhenti menangis. Jadi, aku diam-diam menyelinap ke dapur.

Hari berikutnya, dan hari berikut, dan hari berikutnya lagi, masih ada saja tetangga yang datang ke rumah. Mendoakan, memberi semangat. Membawakan rumput. Kadang mereka sekadar mengabarkan kondisi ayah dan ibu, sebagian menemani ayah berbincang. Sementara ibu masih merasa berputar-putar dan mencari posisi kepala yang nyaman.

***

Aku mulai mengatur kegiatanku. Bangun pagi, tetap. Jadwal menulis dini hari tidak berubah. Bersih-bersih, memasak, mencuci dan bergantian melayani kebutuhan ayah ibu. Kadang aku juga mencari rumput untuk kambing-kambing.

***

   Satu bulan berlalu.

Ibu mulai merayap pelan ke kamar mandi dengan pegangan dinding. Sementara tangan ayah belum ada perubahan berarti. Bahkan sama sekali tidak bisa diangkat ke samping. Sepertinya bagian sendi putarnya tidak berfungsi. Ada tonjolan di bahu bagian belakang. Tiap kali melihat itu, aku akan menyingkir diam-diam dan menangis.

***

“Lagu siapa itu?”

Aku sedang memasak, dan memutar lagu-lagu rekaman Pengelana ketika Wira melongok dari jendela dapur.

“Kayak bukan penyanyi aslinya.”

“Memang bukan,” jawabku. Sambil masukkan potongan-potongan singkong ke dalam panci. Ibu ingin makan kolak singkong. Jadi, ayah menunjukkan padaku singkong yang enak di kebun.

“Dia penyanyi juga?”

“Siapa yang kamu maksud?” tanyaku. Kali ini sambil memeras santan.

Wira tertawa. “Harus kuperjelas ya?”

Aku tertawa.

“Nggak hanya sekali ini lho, aku lewat kamu mutar lagu-lagu itu. Dulu-dulu kamu biasanya mutar radio,” kata Wira.

“Halah, gitu aja dibahas. Musim aja berganti, perkara mutar lagu atau radio bisa berubah kan?” Aku memasukkan sehelai daun pandan yang sudah kuikat ke dalam panci, kemudian menutupnya lagi.

“Apa namanya coba, ada lagu penyanyi-penyanyi asli, tapi kamu milih dinyayiin satu orang saja dan menjadi daftar putar?”

“Terserahlah kamu menamai apa.”

Wira tertawa.

“Gimana si Khalid, sudah menghubungi belum?”

Tanganku yang terulur hendak mengambil toples berhenti di udara. “Kok jadi ngomongin Khalid?”

Wira tertawa lagi, “Kan dia minta nomor hpmu. Siapa tahu ibunya kangen kamu.”

Aku mengambil bungkil kelapa dan kulempar Wira. “Kamu tuh yang masih hutang cerita. Ayo ceritakan!”

Wira tidak menjawab apapun. Dia justru pergi. Dan tak lama kemudian kudengar suaranya sudah di ruang tamu, bercakap dengan ayah. Mereka membicarakan rencana penanaman benih-benih cabe yang seharusnya sudah lama ditanam.

   Sejak pulang dari rumah sakit, Wira kembali sibuk di kebunnya. Beberapa hari sekali ke kota mengantar hasil panen ke tengkulak.

Jadi, yang kudengar dari dapur, selama ayah masih sakit, Wira yang akan menggarap ladang. Dengan sistem bagi hasil. Setelah cabe habis masanya, selanjutnya diserahkan ke Wira akan ditanami apa.

Aku membawa tiga mangkuk kolak singkong ke ruang tamu. Tetapi ternyata Wira sudah pulang. Aku membantu ibu mencari posisi yang tepat sebelum makan. Ibu bersandar di bantal tinggi. Kalau lelah, baru tiduran di kasur yang datar. Masih berputar-putar kalau melakukan gerakan cepat. Jadi semua serba perlahan.

Setelah ayah dan ibu selesai makan, aku mengambil rantang, mengisi dengan kolak singkong dan mengantar ke rumah Wira. Ini kebiasaan ibuku dan ibu Wira. Saling antar makanan sejak kami kecil. Jadi aku meneruskan saja kebiasaan ini.

Rumah kami saling membelakangi. Dipisahkan oleh ladang dan sawah. Aku lewat jalan setapak yang menyambung ke pematang lebar. Melintasi tumpukan jerami dan gerobak sorong, kemudian sampai di halaman belakang rumah Wira.

“Kamu itu gimana tho, Wira!” itu suara ibu Wira.

“Apa kamu nggak kasihan sama Gani?”

Langkahku berhenti seketika saat mendengar namaku disebut.

Lihat selengkapnya