“Gani, ada sms nyari kamu.”
Aku baru sampai rumah ketika ayah menunjukkan satu pesan di ponselnya.
“Siapa, Yah?”
“Lha nggak tahu ini.”
Ponsel di tangan ayah berpindah kepadaku. Nomor asing.
Assalamualaikum wr wb
Maaf, apa benar ini nomor Mbak Gani. Saya Khalid.
Oh Tuhan. Aku tidak menyangka kalau orang itu benar-benar menghubungi nomor yang kuberikan. Aduh, harus aku balas apa ini?
“Siapa?” tanya Ayah.
Aku menceritakan pada ayah, kalau Khalid adalah anak dari pasien yang satu kamar dengan ibu. Kuceritakan pula padanya, kalau ibunya meminta nomor ponselku. Dan karena aku bingung akhirnya yang kuberikan adalah nomor ayah.
“Dibalas salah sambung saja ya, Yah?”
“Lha balas saja, ‘iya’ gitu.” kata ayah.
“Kok iya. Ini kan nomor ayah. Jadi bilang salah sambung nggak bohong.”
"Tapi kamu akan dianggap bohong dan mempermainkan orang karena ngasih nomor salah,” kata Ayah.
“Mungkin ibunya kangen sama kamu,” sahut ibu, disambut dengan tawaku dan tawa ayah.
“Ya wis balas saja apa adanya.”
Aku menimbang sejenak untuk membalas pesan Khalid. Memikirkan kata-kata yang pas.
Waalaikumsalam. Maaf ini bukan nomor Gani, tapi nomor ayahnya.
Aku membaca kalimat yang kutulis. Berpikir seandainya aku yang dapat jawaban seperti itu. Aku membaca sekali lagi sebelum kukirim.
Tiga menit kemudian balasan Khalid masuk.
Mohon maaf, Bapak. Terima kasih.
Aku tersenyum membaca balasan itu. Membayangkan bahwa yang menyuruh sms adalah ibunya. Mungkin kemudian dia bilang salah sambung. Dan barangkali ibunya akan menuduh aku memberi nomor palsu. Aku menaruh kembali ponsel ayah sambil tertawa sendiri membayangkan ibu itu mengomel.
“Gani.” Panggilan ayah mengurungkan langkahku menuju dapur
Aku duduk di depan ayah dan ibu. Beliau bertanya apa rencanaku selanjutnya. Tentu saja kujawab bahwa aku akan di rumah, merawat ayah dan ibu. Mengerjakan yang bisa kukerjakan. Ayah minta maaf untuk semua keadaan ini. Aku bilang, tidak ada yang salah.
“Tawaran Pak Lurah untuk ngajar Paud masih berlaku katanya.”
Aku memikirkan kalimat itu. Sementara ini, aku belum berminat untuk bekerja yang berhadapan langsung dengan orang banyak. Lagi pula, apa sih yang penting di dunia ini bagi seorang anak? Orang tuanya bukan?
Jadi, kusampaikan pada ayah, bahwa saat ini bagiku yang penting adalah kesehatan ayah dan ibu.
“Kalau begitu, ambillah barang-barangmu di Malang. Mumpung besok budhe mau ke sini nginap.”
Aku menyebutnya sebagai pucuk dicinta ulam pun tiba.
Sudah dari kemarin-kemarin, aku membayangkan barang-barangku. Memikirkan bagaimana cara membawanya pulang. Aku tidak berpikir secepat ini. Tetapi, ya inilah hidup kadang ada hal-hal yang tidak kita duga.