Balik ke Malang?
Balasan Pengelana kuterima setelah di kereta. Aku mengatakan padanya kalau hanya ingin mengambil barang-barang.
Sampai kapan?
Mungkin lusa pulang.
Dia tidak membalas lagi. Aku kembali ingat mimpiku. Jadi, aku menuju akun Pengelana. Kupandangai foto pantai yang sama dengan yang pernah dikirimkan kepadaku. Hanya saja, dia mengambil dari sudut yang berbeda. Aku memberi tanda suka tanpa komentar apapun.
Aku masih takjub dengan mimpiku. Aku memimpikan dia di pantai, lalu saat bangun, dia mengunggah foto pantai. Apakah ada yang kebetulan di dunia ini?
***
Kedatanganku disambut heboh oleh teman-teman. Terutama Dewi.
“Lama amaat. Nggak kangen gelas bekas?”
Aku menoleh ke meja. Gelas itu masih di sana.
Kuceritakan pada Dewi perihal kedatanganku yang ingin berkemas.
“Kamu serius?” Mata Dewi berkaca-kaca.
Aku mengangguk. Kujelaskan padanya bahwa saat ini, begitulah pilihan terbaik. Dewi memelukku erat. Kemudian dia membantu menyiapkan beberapa perlengkapan packing yang kubutuhkan.
Aku tidak punya banyak barang. Di lemari kecil, pakaianku hanya menempati satu kotak. Selebihnya buku-buku. Namun tetap saja perlu waktu untuk membereskan semuanya. Sebagian barang-barang itu aku kemas di kardus dan mengirimnya lewat jasa paket.
Keesokan harinya aku pergi ke sekolah. Pamit pada semuanya. Pada murid-muridku. Aku mencium satu persatu. Masih jernih di ingatan bagaimana mereka menyambut saat aku mendongeng dengan gelas Pengelana.
Ibu kepala sekolah memberi aku surat keterangan tentang kebaikanku selama mengajar di sini. Katanya bisa dilampirkan kalau melamar mengajar lagi. Guru-guru memberiku pelukan erat secara bergantian. Semua yang di sini adalah guru-guruku. Aku belajar banyak meskipun tidak lama.
Sepulang dari sekolah, aku langsung menuju laundry. Pamit ke teman-teman. Setelah sebelumnya ke rumah pemiliknya. Sekali lagi, aku menerima pelukan perpisahan. Mataku berkaca-kaca, tak bisa kucegah pipiku basah. Mereka semua orang-orang yang baik.
Aku kemudian pergi ke kampus UIN. Duduk di taman. Mengenang kembali pertama kali menapakkan kaki di tempat ini.
Hai G
Pesan Pengelana
Hei
Sudah beres?
Sudah. Besok pagi pulang.
Sekarang di mana?
Di kampus. Duduk-duduk mengenang :D kataku diikuti emoticon tertawa.
G…
Apaa?
Apa yang kau tahu tentang saya?
Aku diam. Kenapa Pengelana tiba-tiba bertanya begitu?
Apa yang aku tahu tentangnya? Hmmm… Aku tahu masa lalunya, tentu saja hanya yang diceritakan kepadaku. Dia pernah cerita gadis pertama yang berjalan dengannya, yang katanya mirip Kimberly Ryder.
Kemudian gadis lain yang membuatnya patah hati dan melarikan diri itu. Dia berkisah bagaimana proses pergi dari rumah. Pernah mengatakan arti seorang ibu baginya, cerita bagaimana dia mendapati keajaiban doa.
Aku tahu rokok kesukaannya. Katanya kepada apapun dia mencoba, ya ke merek itu dia akan kembali. Dia tidak betah tanpa kopi. Tidak cukup hanya minum secangkir sehari. Dia suka kwaci. Sering makan mie malam-malam. Aku tahu dia suka hujan. Sebenar-benar suka karena dia bahkan suka berjalan di bawah hujan. Dia suka senja, tak peduli kelabu atau jingga. Suka pantai. Apa saja tentang alam. Dia suka tempat-tempat baru. Aku tahu cita-citanya.
Kami pernah ngobrol sepanjang sore di telepon dan aku bertanya perihal Zakiya. Dia bercerita bagaimana pertama bertemu gadis dari pulau seberang itu. Bagaimana perjuangan Zakiya di Jakarta. Dan dari cara Pengelana berkisah tentang Zakiya, aku tahu Pengelana mencintainya. Bahkan Pengelana sudah pernah bertemu keluarga Zakiya.
Itulah kenapa sering kutegaskan pada diriku, Pengelana sudah punya kekasih. Dia temanku. Aku memanggilnya teman baik. Tentu saja hal itu pula yang kuucapkan saat Wira membahas Pengelana. Begitulah. Kadang, apa yang kau ucapkan pada orang lain adalah penegasan untuk hatimu sendiri.
Aku juga tahu adik Pengelana. Kaakraban keduanya. Kami pernah membahas itu suatu malam.
Di saat lain, Pengelana pernah cerita perihal ketampanan masa muda ayahnya. Tentang foto-foto lama. Waktu itu aku bercerita perihal perjuangan ayahku.