"Wis rampung, Mas ...," ucap Damian dengan nada mengejek, "Le ngetke jangan gorine?"
"Wo ..., bocah kurang ajar," balas Mas Damar jengkel, sambil melempar sebuah kerikil ke arah Damian.
Damian tentu saja berhasil mengelak dari lemparan Mas Damar tersebut, sambil tertawa terbahak-bahak. Damian mengejek Mas Damar, bukan tanpa sebab.
'Ngetke jangan gori', yang berarti menghangatkan sayur nangka muda, adalah ejekan Damian karena Mas Damar sudah lebih dari 10 menit, memanaskan mesin Windy, dan belum selesai-selesai juga. Motor Honda Win 100 milik Mas Damar ini, sebenarnya cukup tangguh, melihat usia motor ini yang sudah cukup tua. Namun, karena masalah usia juga, membuat motor Mas Damar, harus dipanaskan dalam jangka waktu lebih lama, agar tidak tiba-tiba mogok di tengah jalan.
"Ngerti ngene ...," ucap Damian, yang nada mengejeknya makin menjadi-jadi, "Aku mangkat ngepit dewe, apa numpak bis. Ket mau nyusu-nyusu ben aku ra telat. Jebul ..., le marai telat si Windy." Damian terkekeh-kekeh, karena wajah Mas Damar terlihat jengkel sekarang. Dan hal ini, tidak membuat Damian berhenti mengejek Mas Damar.
Mas Damar menghela napas, kemudian melihat ke arah arloji di tangan kanan. Hal selanjutnya yang dilakukan oleh Mas Damar adalah, menyalakan rokok kretek, yang dia simpan di kantong jaket. 1-2 isapan rokok, dilakukan oleh Mas Damar, sembari memperhatikan apakah Windy siap untuk ditunggangi.
Damian meregangkan tangan sambil menguap. Dia berpikir, akan mengajak Mas Damar dengan ejekan apa lagi. Cukup menyenangkan, mengejek Mas Damar seperti ini. Terutama, jika sudah mengejek motor kesayangannya tersebut.
Saat Damian hendak membuka mulut untuk melontarkan ejekan yang lain, terdengar suara Bu Inar yang memanggil nama Damian. Mau tidak mau, Damian buru-buru kembali masuk ke dalam rumah. Dia cukup kecewa, kenapa Bu Inar malah memanggil dirinya. Padahal, ini kesempatan emas Damian, untuk membalas Mas Damar yang suka mengejek Damian.
Namun, mau bagaimana lagi. Bu Inar memanggil Damian, itu lebih penting daripada membalas Mas Damar.
Hubungan Damian dengan Mas Damar, terbilang cukup unik. Bu Inar bahkan sering menyebut cara mereka berdua berinteraksi, mirip seperti kartun Tom & Jerry. Apa saja—yang selalu membuat Bu Inar menghela napas—selalu bisa menjadi bahan Damian dan Mas Damar ribut. Sama seperti pagi ini, Bu Inar jelas memanggil Damian, untuk mencegah mereka berdua ribut dengan hal yang tidak jelas.
Walaupun mereka selalu ribut, lucunya, jika mereka berdua tidak sedang berada di tempat yang sama, baik Damian maupun Mas Damar, pasti saling mencari satu sama lain.
Damian bagi Mas Damar, memang sudah seperti anak sendiri. Mas Damar selalu melaksanakan wasiat dari mendiang ibu Damian, untuk selalu menyayangi dan menjaga Damian. Hal yang cukup berat kalau dipikir-pikir, karena saat ibu Damian meninggal, Mas Damian saat itu masih berusia 14 tahun.
Damian tahu, di suatu tempat—entah di mana itu—ada seorang pria tidak bertanggung jawab, yang sebenarnya memegang status sebagai ayah kandung Damian. Akan tetapi, Damian kini tidak pernah lagi peduli siapa dia. Karena sudah ada Mas Damar, satu-satunya orang di dunia ini, yang berhak menyandang status sebagai ayah Damian.
Lagipula, buat apa mencari tahu siapa ayah kandungnya. Hidup bersama Mas Damar, Bu Inar, dan Pak Bagyo, itu sudah cukup, untuk disebut sebagai keluarga. Bahkan sebenarnya, Damian sudah lama tidak pernah bertanya siapa ayah kandung dia berada. Sebuah kejadian saat Damian berusia 5 tahun, membuat dia berhenti untuk menanyakan satu pertanyaan.
Bapak Damian, ada di mana?
***
10 tahun yang lalu ...
Mas Damar yang sedang menonton tv di ruang tamu, terkejut melihat Damian pulang dari bermain sambil menangis kencang. Tidak biasanya, Damian pulang menangis seperti ini. Bu Inar yang sedang memasak di dapur, sampai buru-buru datang mendekat, kemudian memeluk Damian. Mencoba menenangkan Damian,
"Jare Mas Anim ...," ucap Damian di sela-sela tangisnya, "Bapakku kuwi genderuwo."
Suara raungan Damian makin kencang, setelah dia berkata seperti itu. Dan apa yang diucapkan oleh Damian, jelas membuat Mas Damar dan Bu Inar, terkejut.
Tadi Damian bilang, Mas Anim ...?
Baik Mas Damar maupun Bu Inar, tahu siapa itu Mas Anim. Seorang pengangguran kelas berat, kini berusia 30-an tahun, dan hobi sekali nongkrong di pos ronda kampung. Orang yang oleh penduduk kampung, sudah dicap sebagai sampah masyarakat. Karena sampai usia dia sekarang, lebih banyak merepotkan warga kampung, daripada berguna atau memberikan kontribusi di kampung.
Pria yang julukannya berasal dari istilah cagak anim—cara beberapa orang di Jogja, untuk menyebut tiang listrik—ini, adalah orang yang sangat layak untuk diusir dari kampung. Namun, karena orang tua Mas Anim adalah salah satu orang yang dihormati di kampung—jika tidak mau disebut sebagai salah satu orang terkaya di kampung—membuat para warga kampung segan mengusir dia.
Banyak anak-anak kecil, yang tahu kata-kata kasar, karena Mas Anim. Hal ini jelas, membuat resah banyak orang tua. Namun, mereka tidak bisa berbuat apa-apa, kecuali menegur anak-anaknya sendiri, jika mulai berkata kasar.
"Ngomong apa kuwi Mas Anim?" tanya Mas Damar dengan geram. Mas Damar memang tidak suka dengan kelakuan Mas Anim yang sering mengganggu anak-anak gadis di kampung. Beberapa kali, Mas Damar hampir berkelahi dengan Mas Anim, kalau saja tidak ada orang yang melerai mereka.
"Isa-isane ngomong, nek kowe anak genderuwo," lanjut Mas Damar.
"J-jare Mas Anim ...," jawab Damian sambil sesenggukan, "A-aku ra nduwe bapak ..., gara-gara biyen Ibuk diwetengi karo genderuwo. Jarene ..., aku ki lair ..., gara-gara genderuwo ning kamare Ibuk. Mas Anim ngomong ..., genderuwo tukang metengi prawan."