"Ibu ...!" pekik Al.
Dia bergegas mendekati Bu Inar yang berada di depan pintu rumah, menyalami sambil mencium tangan, kemudian memeluk erat Bu Inar. Damian bisa melihat Al seperti rindu sekali dengan Bu Inar. Bahkan dia bisa melihat Al sampai menangis saat memeluk Bu Inar.
"M-maaf Bu ...," ucap Al sambil mengusap air matanya, "Al baru berani ..., dateng ke sini sekarang."
"Ra papa, Nduk ...," balas Bu Inar, "Ibu udah seneng banget, akhirnya mau ke sini lagi."
"Tapi Al ngerasa bersalah banget, Bu ...," kata Al dengan nada penuh penyesalan. "Sarah ..., Bapak ...."
"Uwis, toh ...," potong Bu Inar, "Ibu gak pernah nyalahin kamu, soal ini. Udah cukup masalah yang dulu-dulu itu. Sarah sama Bapak ..., mesti di sana seneng juga, kalau tau kamu mau ke sini lagi. Itu yang penting."
Al menangis lagi, sambil memeluk Bu Inar. Bu Inar sendiri, sambil mengusap-usap punggung Al, mencoba menenangkannya. Bu Inar terus-terusan bilang, kalau ini bukan salah Al, dan ini sudah takdir dari Tuhan.
Damian langsung mengernyitkan dahi, saat melihat adegan di depan matanya ini. Terlihat seperti sinetron di televisi, yang menjadi tontonan favorit Bu Inar di malam hari.
Benar-benar Damian merasa aneh, kenapa pagi hari seperti ini, sudah ada drama tangisan segala. Drama yang terjadi di saat, seharusnya dia sudah berangkat ke sekolah. Damian pun berpikir, kenapa harus sekarang, drama hari biru ini terjadi. Karena hal ini, membuat dia yang sudah terlambat, jad makin terlambat ke sekolah.
Tunggu dulu ....
Terlambat ...?
"Eh ..., Mas Damar!" pekik Damian, "Iki ..., njuk aku mangkat sekolahe piye?"
Damian segera mengalihkan pandangan ke arah Mas Damar yang sedang jongkok di samping motor, dan mencoba menyalakannya. Beberapa kunci pas tergeletak di lantai, jelas baru saja dipakai Mas Damar memperbaiki Windy. Damian pun hanya bisa menghela napas, melihat motor tersebut, masih tidak mau hidup juga.
"Gara-gara mung arep mbribik Bu Kinan ...," ucap Damian sambil menghela napas panjang, "Marai aku telat. Encen Mas Damar ki ..., orang egois. Mbok wis, diloak wae kuwi Windy. Mung marai emosi thok ndeloke."
"Baleni ...!" timpal Mas Damar yang bergegas mendekati Damian. "Mau ngomong apa? Egois? Ngeloak Windy?"
Tangan Mas Damar yang kotor karena mencoba memperbaiki motor, mengambil sebuah kunci pas ukuran 12, lalu mengacungkannya ke arah Damian.
"Mrene ...!" hardik Mas Damar yang berdiri, dan langsung mengejar Damian.
Damian tahu, kalau Mas Damar tidak benar-benar akan memukul dia dengan kunci pas tersebut. Namun, Damian tetap berlari menghindar kejaran Mas Damar, sambil tertawa-tawa. Bu Inar yang melihat ini, hanya bisa menghela napasnya. Karena ini kejadian, yang hampir setiap hari Bu Inar lihat.
Biasanya, Damian jika tertangkap oleh Mas Damar, Mas Damar akan memiting lalu menjitak kepala Damian. Namun, untuk hari ini Damian tidak akan memberikan kesempatan Mas Damar, dan punya ide untuk berlari ke arah belakang Al. Entah kenapa, Damian merasa jika melakukan itu, dia akan aman dari kejaran Mas Damar.
Yang Damian tidak sangka adalah, Al seperti tahu maksud dirinya.
Al tersenyum ke arah Damian, kemudian melangkah maju, menjadi benteng Damian dari kejaran Mas Damar. Al melebarkan tangan, memastikan Mas Damar tidak bisa menangkap Damian. Mas Damar terlihat langsung berhenti mengejar Damian karena Al seperti itu. Tentu saja hal ini membuat Damian merasa di atas angin, dan di wajahnya kini tergambar ekspresi mengejek Mas Damar.
Agak aneh kalau dipikir-pikir lagi oleh Damian, kenapa tiba-tiba Al seperti melindungi dirinya. Kenal saja tidak, bahkan dia sendiri belum mengenalkan diri ke Al. Tadi Mas Damar, langsung meminta dia untuk buru-buru memanggil Bu Inar, karena Al datang. Setelah itu, terjadilah 'drama sinetron' antara Al dengan Bu Inar.
Saat masih memikirkan hal ini, tiba-tiba saja, Damian merasakan sakit di telinganya.
"Aaa ...!" teriak Damian kesakitan.
"Wis dikandani bola-bali ...," ucap Bu Inar yang terus menjewer telinga kanan Damian. "Ora ngeceni Mas Damar. Niru sapa, toh ..., ngeyel banget kaya ngene iki? Ngomong iya-iya ..., tetep wae dibaleni!"
Damian yang meringis kesakitan, langsung menunjuk ke arah Mas Damar. Karena bagi dia, satu-satunya orang di rumah ini, yang jadi contoh semua perilaku yang Damian lakukan. Dan di saat yang bersamaan, pandangan Damian tertuju ke Al.
Entah kenapa, Al seperti hendak menolong dirinya, lepas dari jeweran Bu Inar. Bukan karena kasihan, tapi seperti Al ingin melindungi Damian. Atau, kalau boleh dibilang, ekspresi Al mengingatkan Damian dengan kejadian saat dia masih SD.
Ekspresi di wajah Al, seperti ekspresi ibu dari Bayu—teman sekelas Damian saat SD—yang melihat anaknya tidak bisa turun dari atas pohon jambu depan rumah. Ekspresi yang tidak pernah dilihat oleh Damian, di wajah orang-orang di rumah.
Namun, Damian tidak mau berpikiran lebih jauh. Fokus dia saat ini adalah, lepas dari jeweran Bu Inar, kemudian dia bisa berangkat sekolah.
"Ampun Bu ...," mohon Damian.
Bu Inar pun, setelah melepaskan jewerannya, langsung menasihati Damian, agar tidak mengulangi apa yang dia perbuat. Damian hanya bisa bilang 'nggih', agar Bu Inar segera berhenti mengomel.
Setelah Bu Inar berhenti bicara, Damian kemudian berkata, "Mas Damar ..., iki njuk aku mangkat sekolahe piye?"
Mas Damar langsung menepuk jidatnya sendiri, karena tersadar kalau dia belum mendapatkan ide, bagaimana cara Damian berangkat. Sempat dia melirik ke arah Windy, dan Mas Damar menghela napas panjang.
"G-gimana ...," sela Al. "Kamu ..., M-mbak anter aja ke sekolah?"