"Dam ..., bangun, Dam ...."
Terdengar suara di telinga Damian, yang masih memejamkan mata. Suaranya tidak asing, tapi Damian tidak bisa mengingat itu siapa.
Ibu ...?
Damian berpikir, dia masih dalam dunia mimpi. Mungkin itu suara ibu Damian dalam mimpi, yang mencoba membangunkan dari tidur. Baru kali ini, Damian bermimpi tentang Ibu. Karena sebelum-sebelumnya, dia tidak pernah seperti ini. Padahal, dia sering berharap bisa bertemu Ibu dalam mimpi.
"Dam ..., ayo, Dam ..., bangun. Nanti kamu kesiangan, Dam ..."
Ini pasti Ibu ....
Damian makin yakin, kalau itu suara Ibu. Namun, yang dia dapat hanyalah kekecewaan, saat membuka mata. Yang ada hanya Mbak Al, yang duduk di pinggir tempat tidur dan membangunkannya.
"Eh, Mbak Al?" ucap Damian sambil mengucek mata. Dia berusaha sebisa mungkin, untuk tidak terlihat kecewa.
Damian masih berharap yang membangunkannya adalah Ibu, tapi hal itu juga, pasti tidak mungkin. Bisa jadi, Damian malah berteriak ketakutan karena hal itu. Mendengar cerita tentang sebuah tempat yang dianggap angker saja, bulu kuduk Damian langsung berdiri.
"Kok, ngelamun?" Mbak Al mengacak-acak rambut Damian. "Entar terlambat berangkat, loh."
Damian menguap lebar, lalu hanya mengangguk menjawab perkataan Mbak Al. Dia kemudian beranjak dari tempat tidur, mengambil handuk yang tergantung di pintu, lalu segera pergi ke kamar mandi.
Dalam perjalanan ke kamar mandi, Damian tersenyum-senyum sendiri. Yang ada dalam pikiran Damian sekarang adalah, tentang bagaimana cara Mbak Al membangunkan dia. Hal yang membuat Damian bertanya-tanya, "Apakah Ibu kalau mbangunin, bakalan kayak Mbak Al?"
Bukan tanpa sebab, Damian berpikir seperti itu. Karena Damian baru kali ini, merasakan dibangunkan dengan cara lembut seperti ini. Jika Mas Damar yang membangunkan Damian, pasti ujung-ujungnya dengan mencipratkan air ke wajah Damian, agar Damian segera bangun. Sedangkan kalau Bu Inar yang membangunkan, pasti dengan cara berteriak-teriak sambil memukul pantat panci dengan sudip kayu.
Dan apa yang dilakukan oleh Mas Damar atau Bu Inar, sebenarnya malah makin membuat Damian malas bangun tidur. Sangat tidak menyenangkan menurut Damian, dibangunkan dengan cara seperti itu.
Di luar kamar, terdengar suara Bu Inar yang sedang bersenandung di dalam dapur. Terdengar seperti konser di telinga Damian, cara Bu Inar bersenandung sambil menyiapkan sarapan. Suara percikan air, suara pisau bertemu talenan kayu, sutil besi beradu dengan wajan, minyak ditumis, mengawal suara merdu Bu Inar.
Damian lalu menghentikan langkahnya, saat mendengarkan sesuatu dari luar rumah. Suara tiap pagi, yang memekakkan telinga, dan mengganggu Damian menikmati suara Bu Inar. Bahkan Damian berpikir, mungkin suara ini juga mengganggu tetangga sebelah rumah. Namun, mereka pasti takut untuk protes karena suara berisik ini.
"Wah, bakul gudeg'e mulai masak." Damian sambil menghela napas, mengomentari suara paling dia benci di rumah ini. Suara dari motor Mas Damar.
Damian sebenarnya senang, kemarin tidak terdengar suara ini. Akan tetapi, kini Windy sudah meraung-raung dengan cemprengnya. Damian benar-benar berharap, mesin motor Mas Damar ini meledak atau bagaimana, sehingga agenda 'memanaskan sayur pagi hari' ini, tidak pernah terjadi lagi, selamanya.
Walaupun kasihan juga, membuat Mas Damar tidak punya motor. Ketambahan, itu motor, satu-satunya kendaraan bermotor yang ada di rumah, setelah Supra Fit milik Pak Bagyo dibeli Pak Marman—tetangga seberang rumah—6 bulan yang lalu, karena daripada nganggur tidak terpakai di rumah. Jika tidak menghitung sepeda BMX Damian, sepeda listrik Bu Inar, atau juga Corolla Sprinter peninggalan Pak Bagyo.
Sedangkan Corolla Sprinter .....
Mengingat mobil dengan cat merah ini, Damian merasa bahwa Win 100 Mas Damar memang payah. Hobi mogok, boros bensin, tiap bulan selalu minta jajan 100 hingga 500 ribu, dan lain-lain.
Beda sekali, dengan mobil yang Pak Marman sebut Mobil Baja Hitam RX ini. Usianya memang lebih tua daripada Windy, tapi keluhan paling sering, hanya satu: pintunya macet tidak bisa dibuka. Sampai-sampai, Damian berpikir, apa yang salah dengan Windy. Apakah karena Mas Damar yang kena tipu saat beli Windy—yang memang didapatkan dari toko motor bekas 12 tahun yang lalu—atau Mas Damar sendiri, yang payah soal motor?
Karena Mas Damar, malah lebih jago ngoprek mobil peninggalan Pak Bagyo, daripada Windy. Seharusnya, Windy dijadikan rongsokan saja, dan Mas Damar pakai Supra Fit Pak Bagyo. Toh, sama-sama motor tua, hanya beda jenis motor saja. Lagipula, jika dibandingkan dengan motor tersebut, usia Mas Damar, hanya selisih 2 tahun lebih tua.
Damian pun berpikir, mungkin karena Windy, membuat Mas Damar tetap jadi jomlo. Uangnya hanya habis buat 'jajan' Windy, sehingga tidak punya kesempatan untuk mencari pacar.
Dan pikiran Damian makin ke mana-mana, hingga teringat sesuatu. Seharusnya, kemarin Sabtu dia tidak perlu bingung, pergi ke sekolah bagaimana. Kalaupun kemarin itu, Mbak Al tidak ada, kan, ada si Mobil Baja Hitam RX. Sekali-sekali, bisalah Mas Damar mengantar Damian dengan mobil merah tersebut. Ingin rasanya, dia diantar naik mobil ini untuk ke sekolah. Tidak sekedar memakai mobil, jika bepergian cukup jauh, atau saat Bu Inar mengajak mereka untuk ke Pacitan, tempat di mana keluarga besar Pak Bagyo berada.
Ah, tapi ....
Mas Damar mana mau mengantar Damian dengan mobil itu. Sudah pasti, jika Damian memberikan ide soal ini, Mas Damar pasti akan mengatakan ....
"Rasah ngadi-adi!"
Damian terkekeh-kekeh, karena istilah 'ngadi-adi'.