Di tengah hiruk-pikuk kota metropolitan, di sebuah apartemen kecil di pinggiran kota, Hana merapikan meja belajarnya. Cahaya matahari sore samar menembus tirai tipis, menyorot debu yang berterbangan di udara. Hania dengan rambut hitam panjangnya terikat rapi, dengan kacamata tebal menghiasi hidungnya, membereskan beberapa buku dan kertas yang berserakan.
Suara dari luar jendela mengisi ruang hampa ruangan apartemen, suara klakson mobil, teriakan pedagang kaki lima, dan keributan orang-orang dari jalan tertangkap oleh telinganya.
Hania baru saja selesai dengan tugas kuliahnya. Dia mengerjakan di ruang tamu apartemennya yang sempit. Hanya ada sebuah meja belajar lengkap dengan kursinya, lalu sebuah sofa mini dengan dua tempat duduk, lalu ada sebuah rak buku yang penuh dengan buku-buku kuliah dan novel lama.
Dia duduk di kursi, menghela nafas panjang dengan matanya yang menerawang jauh ke arah luar jendela. Hania tahu bahwa tugasnya tidak hanya belajar tapi dia harus memikirkan cara untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya.
Sejak pindah ke kota besar ini, setelah orang tuanya meninggal, hidupnya serba sulit. Beruntungnya Sang Bibi mau merawat Hania. Bu Rini, wanita paruh baya dengan wajah yang ramah dan sabar, beliau adalah adik dari Ibu Hania sudah lama tinggal sendiri setelah anak dan suaminya meninggal karena kecelakaan.
Bu Rini memiliki usaha catering rumahan, dia bekerja keras untuk mencukupi kebutuhan hidupnya dan juga Hania. Karena itulah Hania merasa tidak ingin merepotkan lebih jauh, sehingga dia berusaha keras untuk mandiri.
“Han, sudah selesai tugasnya?” suara lembut dari pintu dapur menarik perhatian Hania. Bibinya, Bu Rini berdiri di ambang pintu dengan apron yang penuh noda.
“Sudah Bi, Bibi lagi masak makan malam ya?” tanya Hania sambil menoleh ke arah bibinya. Wajah Bu Rini menunjukkan senyum hangat yang selalu bisa membuat Hania merasa lebih baik.
“Iya Han. Ayo bantu Bibi menyiapkan makanan,” kata Bu Rini sambil mengajak Hania masuk ke dapur. Hania segera bangkit dan mengikuti bibinya, merasa bersyukur atas dukungan dan kasih sayang yang diberikan wanita itu.
Dapur mereka kecil, hanya diisi dengan meja makan yang cukup untuk dua orang saja. dapur ini juga digunakan sebagai ruang serba guna, kadang untuk Hania belajar, dan terkadang untuk menyiapkan pesanan catering dari usaha Bu Rini. Mereka sedang sibuk dengan tugas masing-masing, Bu Rini memotong sayuran, sementara Hania mengambil panci dari lemari.
“Aku penasaran deh, kok bisa Bibi buat makanan enak di dapur sekecil ini,” Kata Hania, melihat bibinya yang sedang memotong sayuran dengan penuh rasa kagum.
“Kamu tahu Han, setiap makanan yang kita buat dengan sepenuh hati yang Ikhlas, rasanya pasti enak. Meskipun dengan banyak keterbatasan, kita harus tetap bersyukur dengan apa yang kita punya,” jawab Bu Rini, tersenyum lembut.
Hania merasa hangat mendengar nasehat dari bibinya. Setelah masakan matang, mereka berdua duduk di meja makan, menikmati makanan sederhana yang mereka buat bersama. Hania menceritakan tentang kuliahnya dan beberapa rencananya untuk masa depan. Bu Rini mendengarkan dengan penuh perhatian, sesekali wanita paruh baya itu memberikan saran dan semangat untuk Hania.
Setelah makan malam, Hania kembali melanjutkan kegiatannya di meja belajar untuk memeriksa jadwal kuliah dan tugas-tugas yang harus diselesaikannya. Belajar adalah satu-satunya cara yang dia tahu sebagai gerbang awal menuju kesuksesannya. Dia tak ingin mengecewakan bibinya yang sudah bekerja keras membiayai kuliahnya. Hania bertekad untuk menyelesaikan kuliahnya lebih cepat dan juga mendapat pekerjaan.
Tak lama kemudian, suara ponselnya berdering, Hania mengambil ponsel dan melihat pesan dari sahabatnya, Satria.
Han, besok ada acara reuni SMA kita di Aula Kampus. Kamu datang ya, aku sudah janji sama teman-teman untuk mengajakmu datang.