Ramainya kota metropolitan tak mempengaruhi fokus Agas yang sedang duduk di ruang kantornya yang luas. Berada di sebuah Gedung pencakar langit yang megah, ruangan tersebut dipenuhi dengan perabotan modern, dan jedela besar di dindingnya menampilkan pemandangan luar biasa kota di bawahnya. Agas dengan setelan jas hitam yang rapi dan rambut yang ditata sempurna, memandang ke luar jendela sambil memegang secangkir kopi.
Sejak lulus dari perguruan tinggi, Agas melanjutkan bisnis keluarganya. Perusahaan tempatnya bekerja saat ini berkembang pesat berkat kecerdasannya mengelola. Itulah yang membuatnya menjadi salah satu pemimpin muda yang sukses. Namun, meski hidupnya tampak luar biasa, nyatanya Agas menyimpan banyak kegelisahan dalam hidupnya.
Dia selalu saja merasa tertekan dengan harapan besar keluarganya dan ditambah rutinitas yang membosankan membuatnya merasa muak.
Hari itu, Agas sedang mempersiapkan rapat penting dengan para investor. Dia harus memastikan proyeknya berhasil, karena itu dia sudah menyiapkan presentasi selama beberapa hari agar perusahaannya dapat investasi yang besar demi kesuksesan proyek yang dipegangnya. Agas cukup gugup meski terlihat tenang.
Tiba-tiba pintu kantor terbuka, Danisa, pacarnya masuk dengan senyuman cerah di wajah. Danisa mengenakan gaun merah elegan dan tampak segar, kontras dengan suasana kantor Agas yang kaku dengan dominasi warna abu dan hitam.
“Sayang, kamu sudah siap untuk rapat?” tanya Danisa dengan nada lembutnya. “Aku membawa makan siang untukmu. Kamu pasti tidak sempat makan.”
Agas berbalik, tersenyum saat melihat Danisa.
“Makasih ya sayang. Aku memang belum sempat makan,” katanya sambil menerima bungkusan makanan yang dibawa Danisa.
Danisa duduk di sofa yang ada di ruangan itu, menunggu Agas membuka makanan yang diberikannya. “Kamu sibuk banget, ya?” ucap Danisa iba melihat kekasihnya itu. “Tapi, kamu bisa, kan makan malam denganku malam ini. Kita jarang ada waktu bersama lho.”
Agas mengangguk sambil membuka bungkusan makanan. “Iya. Aku usahakan untuk makan malam sama kamu. By the way, gimana hari-hari kamu, lancar?” tanya Agas.
Danisa mulai bercerita tentang kegiatannya, mulai dari acara sosial, kumpul bareng teman-teman sosialitanya. Danisa adalah seorang pelukis terkenal, darah seninya berasal dari sang ayah yang seniman. Tak heran jika Danisa juga memiliki kesibukan yang membuat waktu berkencan dengan Agas berkurang.
Agas juga merasakan hal yang sama. Meski mereka berusaha untuk bertemu dan tetap bersama, hanya saja Agas merasa hambar dengan hubungan mereka yang berjalan mulus begitu saja. Agas tidak merasakan cinta yang menggebu pada Danisa, begitupun Danisa. Hanya saja mereka sedang berakting hubungan mereka baik-baik saja.
“Jadi, bagaimana persiapan untuk rapat?” tanya Danisa, mengamati ekspresi wajah Agas yang berubah serius.