Mika tampak sedang membereskan peralatan sekolahnya. Ia tidak akan membawa buku pelajaran hari ini. Sang papa telah memberitahunya bahwa kelas XII akan bebas pelajaran, karna harus menyiapkan acara bazar yang akan diadakan besok disekolah.
Saat sedang membereskan meja belajarnya, pigura yang ada diatas meja terjatuh. Mika meringis sebentar lalu meraih pigura berwarna cokelat tua itu. Disana terlihat tujuh remaja dengan seragam sekolahnya. Mata mereka menyiratkan kebahagiaan dengan posisi Mika paling depan dengan kue tart ditangannya.
Itu adalah pigura saat ia berulang tahun yang ke-16 tahun. Dan tujuh remaja itu adalah dirinya, Marry, Vano dan ketiga sahabatnya, serta Danu. Ya dua tahun yang lalu, Mika mendapatkan kejutan begitu manis dari mereka. Entah tahun ini akan seperti apa hari ulang tahunnya. Mika hanya ingin tidak akan terjadi hal buruk dihari dia berulang tahun.
" Hufttt seharusnya loe nggak ninggalin gue demi ego loe sendiri. Dengan begitu gue yakin semuanya akan jauh lebih baik-baik aja daripada sekarang." ucap Mika lirih sambil menghela nafasnya.
Ceklek! pintu kamar itu dibuka oleh seorang laki-laki parubaya. Itu adalah Aryo, papa Mika. Beliau adalah anak tunggal kakeknya Mika, pemilik gedung SMA Taruna. Karena kakeknya telah meninggal, maka SMA Taruna menjadi tanggung jawab Aryo.
Aryo memasuki kamar putrinya, " Mika, papa boleh tanya sesuatu?," ucap Aryo serius.
Mika mengerutkan keningnya tampak bingung. Tumben sekali papanya mengajukan pertanyaan seperti itu. Biasanya papanya akan langsung bertanya tanpa meminta persetujuan terlebih dahulu.
Mika tersenyum, " Tanya aja pa, ada apa? soal mama?," tanya Mika.
Aryo menggeleng, " Ini bukan soal mama mu. Tapi soal Marry. Kamu sudah baik-baik saja dan mulai terbiasa kan dengan kehadirannya kembali?," lanjut Aryo.
Mika adalah putri semata wayangnya. Sejak ia bercerai dengan Luna, mama Mika, Aryo sangat memperhatikan anak gadisnya. Tak jarang saat ia ada urusan mendadak diluar kota, Aryo akan meminta staf kantornya menginap dirumah untuk menemani Mika sekaligus memastikan putrinya aman dan baik-baik saja.
Mika adalah sosok gadis yang penyayang dan mudah akrab dengan siapapun. Namun gadis berzodiak cancer itu akan sangat mudah mengingat apapun yang telah menyakitinya. Aryo sangat tau bagaimana perasaan putrinya saat Marry meninggalkannya dengan setumpuk masalah.
Dan untuk sekarang sangat wajar bila Aryo khawatir akan bagaimana perasaan putrinya. Bagaimana pun juga kembalinya Marry kesekolah adalah karna persetujuan darinya.
Mika meletakkan kembali pigura pada tempatnya, " I'm fine pa, cuma emang masih butuh waktu lumayan lama untuk terbiasa. But, i don't care. Buat Mika dia adalah orang asing. Dan kalau emang harus temenan lagi, akan butuh perkenalan dari awal. Karna Mika udah nggak kenal lagi sama dia. Papa nggak usah khawatir ya," jawab Mika menenangkan papanya.
Mika sangat terbuka pada sang papa. Papanya adalah ayah sekaligus sahabat untuknya. Ia tidak bisa mempercayai siapapun melebihi ia percaya pada sang papa.
Aryo tersenyum, " Syukurlah, papa yakin Maura akan membantu kamu pulih dari keterpurukan perasaanmu nak, papa percaya itu," tambah Aryo.
" Papa tau Maura?," tanya Mika.
Aryo mengangguk mantap, " Siapa yang tidak kenal dengan gadis yang sangat dekat dengan ketua osis terbaik SMA Taruna. Dia gadis yang baik," tambah Aryo.
Mika mengangguk lalu memeluk papanya. Pelukan hangat yang tidak akan Mika dapatkan dari siapapun, " Yasudah, ayo berangkat. Nanti kamu terlambat," ajak Aryo.
" Papa ikut kesekolah hari ini?," tanya Mika sambil melepaskan pelukannya.
Aryo menghela nafasnya pelan, " Papa harus pastikan bazar kali ini lancar dari segala persiapan." jawab Aryo. Mika hanya mengangguk lalu mengikuti langkah papanya untuk berangkat sekolah hari ini.
Damar tengah duduk tenang diteras rumah Vano. Ia telah sampai dirumah Vano sekitar 15 menit yang lalu. Setelah mengantarkan seseorang ke sekolahnya, Damar langsung kerumah Vano guna berangkat sekolah bersama.
" Dam, tumben loe mau bareng sama gue?," tanya Vano yang telah siap dengan tas punggungnya.
Damar mendongakkan kepalanya lalu berdiri dari duduknya, " Semenjak loe anter jemput Maura, loe udah jarang berangkat bareng gue. Makanya sekarang gue mau bareng, gak boleh?," jawab Damar.
Vano mengerutkan keningnya, "Eh, kenapa loe? tumben permasalahin hal itu. Biasanya biasa-biasa aja," tanya Vano.
" Akan jadi masalah kalau loe perhatian sama Maura tapi nggak ada status!," telak Damar.
Vano langsung terdiam ditempatnya. Satu tahun telah berlalu. Dan Vano merasa itu sudah cukup untuk mengenal segala hal tentang gadis itu. Tapi, Vano belum punya keberanian untuk memperjelas hubungannya dengan Maura.
" Jadi gimana? kapan loe bakalan nembak Maura?," tanya Damar terus mendesak sahabatnya.
Vano menatap Damar datar, " Dam, Maura itu manusia. Gue gak bisa nembak dia gitu aja. Gue masih butuh waktu," jawab Vano.