Wajah penuh birahinya berubah menjadi terpukul. Dia tercengang mendengarku mengajukan permintaan talak.
“Memang benar setiap malam aku bercerita untukmu karena agar mengurungmu meminta hal yang tak kuinginkan. Karena aku tidak mencitaimu. Terlebih setelah menikahimu ternyata Dira bisa hamil. Aku ingin pergi darimu. Tapi aku tidak tega terhadap Dira. Aku sungkan padanya. Sehingga aku pura-pura bertahan bersamamu.”
Dia diam dan merunduk. Menampakkan dirinya semakin terpukul dengan ucapanku. Bahkan aku tidak mengerti kenapa raut mukanya sekacau itu. Ataukah dia mencintaiku? Tapi aku bersyukur, bisa berani mengungkapkan penat dan lelah yang bersarang di jiwaku.
Sejujurnya aku sangat takut dengan sikabnya tadi. Aku fikir dia tidak akan melepaskanku malam ini. Dengan kekekaran tubuhnya. Aku hanya dengan tubuh kecilku. Berlaripun tangannya mudah meraihku. Memukulpun tangkisannya mudah menghalau tanganku. Terlebih dia yang ikut pencak silat apalah kekuatanku di hadapannya yang hanya kerap menghabiskan waktu dengan menulis, menbaca dan berbicara.
Yang kuandalkan untuk malam ini tinggal amuk dan kata-kata. Pula doa dalam sanubariku, agar suamiku tak semena-mena terhadap istrinya. Dengan dalih dia suamiku atau dalih agama sekalipun.
“Kalau kamu tidak tahan dengan sikabku yang seperti ini. Kamu boleh menceraikanku Satria.” Aku memintanya. Benar-benar minta lepas dari ikatannya.
Satria. Seperti itu aku memanggilnya. Tidak dengan gelar gusnya. Atau mas sebagai rasa takhim istri. Aku menganggapnya teman. Sebatas teman. Tiada perasaan. Hanya kawan berbicara.