Aku terbangun dari tidur. Berbaring di sofa kamar. Membiarkan Satria tidur di ranjang, kamar!, dan rumahnya. Apalah aku yang hanya bagian terkecil di rumah ini. Permintaan malam itu diamini sudah aku tinggal berjalan pergi dengan tasku.
Tapi hangat tubuhku dibalut selimut. Yang tadi malam tak ada di tubuhku. Tidak mungkin tidak kalau ini ulah Satria. Kukira dia akan marah dan tidak peduli padaku. Tetapi selimut ini seperti ketulusan kata-katanya tadi malam.
Dan kulihat ranjangnya sudah rapi. Mungkin dia ke kamar mandi mengambil air wudhu untuk melaksanakan salat malam di mushola bawah. Atau justru telah tenggelam dalam sujudnya. Berdoa pada Tuhan tentang istrinya yang tidak taat.
Aku terkeh dengan fikiranku sendiri. Sudah tadi malam menolak secara tegas bukan membawa sesal. Justru bangga pada dirinya!
Ya Tuhan. Ampuni hamba ini. Bukan maksud hamba yang hina dina ini begitu.
Melawan kehendak suami. Tetapi memang tidak sanggup aku Tuhan untuk seperti itu. Kecuali bila engkau tautkan rasa cintaku padanya. Maka sudah, aku rela tergeletak bersamanya. Nyatanya engkau memberiku rasa justru pada istri pertamanya. Dan aku diam dalam cintaku. Sebab Engkau tak restui itu. Jujur, itu melelahkan sekali untukku. Terjerembab dalam perasaan seperti ini, sungguh menyiksa. Dan entah harus dibawa kemana selain hanya diam dan berharap dia selalu dilimpahi kebahagian.
Aku bahagia atas bahagianya. Mengabulkan pintanya yang justru membuat penjara bagi diriku sendiri.
“Ampuni hambamu ini Tuhan,” doaku dalam batinku.