Metamorfosa

Siska Amelia
Chapter #2

Bagian 2 | Ibu yang posesif

Kenapa nasibku kurang baik? Entahlah, sebenarnya aku tak merasa seperti itu. Orang lainlah yang sering mengatakan hal tersebut kepadaku. Mengingat bagaimana diriku ini, pintar namun tak mempunyai banyak teman, cantik? Ah tidak juga. Jika orang lain kerap memujiku seperti itu, tapi tidak dengan pendapatku sendiri. Aku pikir, pujian tersebut hanyalah sebagai olokan semata. Namun, tak seharusnya aku berpikir hal itu dengan sepenuhnya. Cantik itu realtif, dan setiap orang memiliki pandangan masing-masing tentang bagaimana kriteria kecantikan. Sedangkan aku berpendapat bahwa wajahku ini standar-standar saja. Yach, walaupun ku akui bahwa memang kulitku seputih susu, genetik dari ibuku yang kulitnya memang putih bak susu. Tapi ukuran gelap terang kulit itu tak bisa dijadikan standarisasi tentang kecantikan seseorang. Jikalau kata guru agamaku, cantik fisik itu bukan yang utama. Tapi kecantikan yang sesungguhnya adalah berasal dari dalam hati, bagaimana kita berperilaku itulah ukuran yang sesungguhnya tentang kecantikan. Selain itu, orang sering berpendapat bahwa nasibku kurang baik adalah karena dulu, satu tahun yang lalu. Tepatnya saat aku masih duduk dikelas 11 aku mengalami kecelakaan yang hebat.

Sebuah mobil dengan kecepatan tinggi menabrak diriku saat aku hendak menyeberang jalan. Aku terpental sangat jauh, kepalaku terbentur dengan jalanan aspal, darah mengucur dengan hebat dibagian kepalaku. Tidak heran, jikalau aku mengalami cidera yang serius dibagian otak. Tapi sayangnya, itu hanyalah karangan dari ibuku. Sejatinya, aku tidak pernah bisa mengingat apa yang sebenarnya terjadi pada waktu itu, bahkan sampai detik ini juga aku tidak pernah bisa mengingatnya. Akhir-akhir hanya potongan-potongan kecil yang mulai berkelebat dalam memoriku, yang sama sekali tak aku kenali.

Ya, cidera diotakku membuatku kehilangan beberapa memori. Kata ibu, aku mengalami amnesia. Beberapa kejadian yang lalu, tak bisa aku ingat. Bahkan ada beberapa mata pelajaran yang sudah aku pelajari kulupakan begitu saja, seolah-olah aku belum pernah mempelajarinya. Tapi syukurlah, aku masih mengenal jati diriku, keluargaku, ayahku dan juga ibuku. Hanya beberapa kepingan kejadian masa lalu yang aku lupakan. Hingga sampai pada sekarang ini, aku benar-benar membutuhkan waktu dan perjuangan untuk bisa sembuh total. Namun, sampai saat ini pun, kata dokter aku masih belum bisa sembuh total. Ada beberapa memori yang masih terlupakan olehku, tapi aku tidak tahu apa. Itulah sebabnya orang sering mengatakan hal tersebut kepadaku, namun aku memilih tak menghiraukannya. Aku lebih memilih diam, dan menganggap perkataan tersebut hanyalah sebagai guyonan semata.

“Kai, masih nunggu jemputan? Duluan ya byee,” celetuk teman sekelasku yang membonceng teman laki-lakinya. Aku pun hanya membalasnya dengan anggukan dan senyum tipis.

Ya, aku sedang menunggu ayah menjemputku namun lima belas menit waktu berlalu aku tak melihat kemunculan ayah, padahal biasanya ia tidak pernah telat sedikitpun untuk menjemputku

***

“Sudah berapa kali ibu bilangin Kaira, tunggu ayahmu jemput. Jangan pulang sendirian kayak gini!” Ibuku marah besar saat mengetahui bahwa aku berjalan kaki untuk pulang.

Entah mengapa ibuku terlalu khawatir berlebihan tanpa sebab, sepert saat ini. Ia begitu marah besar, saat aku memilih pulang dengan berjalan kaki padahal itu hanyalah masalah kecil yang tak perlu untuk dibesar-besarkan.

Lihat selengkapnya