Metamorfosa

Siska Amelia
Chapter #5

Bagian 5 I Sang Sahabat lama

AKU menghembuskan nafas dengan kasar, jawaban yang kudengar kemarin tidak sepenuhnya membuat hatiku lega. Entah mengapa walaupun aku sudah mendengar semua jawaban dari beberapa pihak, tetap saja. Hatiku masih belum percaya sepenuhnya. Apalagi, saat tiba-tiba saja pertanyaan itu terlontar dari dibibirku. Raut wajah mereka berubah drastis, seolah-olah ada sesuatu yang mereka sembunyikan. Tapi apa? Aku benar-benar tidak paham.

Lagi, aku menghembuskan nafas dengan kasar. Kucoba untuk tidak terlalu memikirkan hal yang mungkin- tidak penting untukku. Apa yang dikatakan kak Mawar dan orangtuaku pasti benar. Tentang- Aisyah, dia hanya teman sekaligus tetanggaku yang sudah lama ini pindah rumah karena mengikuti ayahnya yang bekerja di Bandung. Sudah, hanya itu saja tidak lebih

“Kairaaaaa” jeritan seseorang membuatku terlonjak, seketika aku menoleh kebelakang dan mendapati Reyna dan Harsi berlari menuju arahku. Aku pikir, itu adalah suara Reyna. Siapa lagi kalau bukan, suara yang cempreng mirip suara panci saat terjatuh ke lantai. Kemudian, aku teringat sesuatu. Mereka berlari bersama menuju arahku. Itu berarti, hubungan mereka telah membaik. Tak ada lagi pertengkaran diantara mereka. Syukurlah.

“Ish, tunggu kali Kai. Udah dipanggil juga, jalan terus aja,” oceh Reyna tidak terima, terdengar nafasnya yang tidak beraturan.

“Okeyy, gakpapap deh. Lari-lari, sekalian olahraga. Kita kan jam pertama emang jadwalnya penjasorkes.” timpal Harsi

Seperti biasa, aku hanya diam, tersenyum tipis kemudian berjalan bersama menuju kelas. Berusaha untuk terlihat baik-baik saja, walau sebenarnya pikiranku sedang berada ditempat yang lain.

“Tahu nggak, hari ini. Pagi ini, kita olahraganya barengan sama kelas IPA 1, aaaaa. Yes yes yes” ujar seseorang terdengar sangat heboh.

Sesampainya dikelas, aku benar-benar menggeleng-gelengkan kepala heran. Saat mendapati teriakan demi teriakan kebahagiaan para siswi yang histeris karena bisa bertemu secara langsung dengan kelas XII IPA 1. Karena jadwal penjaskes yang digabung. Bahkan, kelas yang biasa paginya tenang, tenteram, damai. Kini terisi oleh teriakan-teriakan histeris, tidak sabar menantikan pelajaran olahraga yang sedang ditunggu-tunggunya. Apalagi kalau bukan hanya untuk bisa menatap wajah-wajah tampan yang sangat langka, itu kata mereka.

Karena, konon katanya. Siswa-siswi IPA 1 lebih keren dibandingkan dengan IPA 2. Dan kami-  ah tentu saja bukan aku. Tepatnya mereka yang berasal dari kelas IPA 2 merasa sangat beruntung saat bisa mengikuti kegiatan secara bersamaan. Itu berarti, interaksi dengan kelas IPA 1 akan lebih dekat.

“Gila mereka ya, Cuma gara-gara ini. Sebegitu histerisnya?” Harsi menggeleng-gelengkan kepalanya benar-benar heran.

Bahkan, tidak hanya itu saja. Para siswi yang menyimpan kekaguman kepada siswa yang berasal dari kelas IPA 1, sibuk memoles wajahnya. Sampai-sampai aku merasa jijik, saat mendapati bibir salah satu dari mereka yang berwarna merah pekat. Seolah-olah darah yang mengucur dibibirnya. Padahal sudah jelas make up dilarang, namun mereka tetap saja melanggarnya. Dan tak lama kemudian, bel pertanda masuk pun berbunyi. Ritual berdoa pun dimulai, dan setelah selesai kami beranjak menuju lapangan, dimana Pak Didik telah memberikan info sebelumnya untuk langsung menuju lapangan bola voli.

Sesampainya kami dilapangan, ternyata kelas IPA 1 telah berada disana terlebih dahulu. Gumaman-gumaman kecil pun bersuara. Mereka yang notabenya sebagai seorang fans, begitu menanti-nantikan momentum ini, dimana pertemuan idola mereka secara langsung. Walau tidak sehisteris tadi pagi, tentu saja mereka tidak akan mungkin berteriak-teriak tidak jelas dihadapan idola mereka.

***

“Kayaknya, dia masih suka sama kamu deh Kai,” celetuk Reyna

Aku yang sedang ingin melahap bakso terhenti sejenak dan kembali melanjutkan kegiatanku tanpa pikir panjang. Aku tahu, dimana arah pembicaraan mereka.

“Iya deh, dia selalu curi-curi pandang kamu Kai,” timpal Harsi sambil sesekali menyeruput es tehnya.

Mendengar hal itu, aku hanya acuh tak acuh. Fokus dengan santapan didepanku, melahapnya dengan santai. Sampai kemudian, Reyna kesal karena aku tak menanggapinya. Ia mengoceh tidak jelas, sampai mangkok baksoku habis tak bersisa.

“Jadi, kalian maunya aku gimana?” ujarku tiba-tiba, seketika Reyna yang sejak dari tadi meracau pun hanya diam. Tiba-tiba suasananya malah menjadi hening.

“Hehehe, gak tahu juga sih.” jawab Harsi nyengir

Aku menarik napas dalam-dalam, sungguh aku sama sekali tidak bisa mengerti akan alur yang sesungguhnya aku jalani. Orang dimasa lalu yang katanya dekat denganku mulai mendekatiku kembali. Apa benar begitu? Ah, sebenarnya aku tidak ingin menebak-nebak hal yang tidak akan pernah bisa orang lain ketahui kecuali dirinya sendiri. Lagipula ujian sekolah tak lama lagi, aku perlu mempersiapkan diri agar nilaiku baik.

Lihat selengkapnya