Aku tidak ingin jadi dewa. Atau entitas sejenisnya. Namun, semua orang menganggapku demikian.
Setidaknya sepuluh tahun sebelum identitas itu melekat, aku masih lah seorang pemuda awal dua puluhan merana yang terjebak di antara ruang sempit rencana-rencana dalam kepala.
Berada pada umur di mana seorang lelaki muda seharusnya pergi berkencan bersama kekasihnya, atau main biliar bersama teman-temannya, atau berkelana ke penjuru dunia, aku justru sedang terjebak dalam ruang sempit berukuran tidak lebih dari tiga kali tiga. Sebenarnya "terjebak" bukanlah kata yang tepat, sebab bukannya tidak mau, tapi aku justru dengan sengaja dan sukarela menjebakkan diri ke dalam ruang sempit, bau dan terkutuk ini.
Meski kukatai demikian, sebenarnya aku merasa cukup nyaman ketika berada dalam ruangan ini. Setidaknya aku bisa menjadi diri sendiri. Bisa melakukan kegiatan apapun yang kusukai. Bisa dengan mudah menghindar dari kegiatan-kegiatan yang sebenarnya tidak perlu dilakukan manusia, seperti, misalnya, bicara basa-basi pada tetangga. Tidak perlu juga susah-susah ikut berdebat dan memikirkan krisis keuangan negara. Aku bahkan bisa dengan leluasa melepas pakaian lalu tidur telanjang begitu saja lalu berguling-guling sebebas-bebasnya. Tidak akan ada yang menegur atau bahkan memarahi. Secara ironis, bebas di dalam kurungan.
Namun, semua kebebasan itu bukannya tanpa konsekuensi.Menjebakkan diri salam situasi di mana diri ini pada suatu titik tidak akan dianggap manusia bukanlah cara hidup arus utama. Setidaknya selama aku hidup, orang-orang di sekitar selalu berkata bahwa menjadi manusia itu tidak dapat lepas dari ketergantungan dengan manusia lain. Meski manusia secara kasat mata adalah spesies individualistis, mereka tidak dapat hidup jika tidak ada manusia lain di sekitarnya. Jika mau berak saja, harus menemukan toilet yang dibangun oleh manusia lain (asumsinya adalah kau tidak mungkin membangun toilet sendiri tanpa pengalaman apapun). Jika manusia berak tanpa toilet, maka ia pun akan dicap sebagai jenis bar-bar dan tak tahu diri.
Mungkin aku sudah dicap sebagai manusia sejenis itu sejak meninggalkan rumah orang tua dan menetap di kota ini beberapa bulan lalu. Sejenis manusia asing yang tidak diketahui asal usul kedatangannya, menyewa sebuah kamar sempit di sudut kota, lalu mengurung diri untuk menulis sebanyak-banyaknya.
Ah, menulis. Seketika teringat bahwa deadline hari ini adalah pukul sembilan. Empat jam lagi saja…
"Susu!"
Sebuah teriakan membahana diiringi sebuah dering yang familier terdengar dari lantai satu kos-kosan. Lalu lamat-lamat terdengar suara rem sepeda, suara sepeda disandarkan, dan gemertak seseorang mengaduk sesuatu.
Aku mengenali suara tadi sebagai suara bel sepeda dari pengantar susu. Aku memang memiliki kebiasaan untuk minum susu sekali sehari, bahkan sejak kecil. Itulah alasan mengapa aku memutuskan untuk menyisihkan sedikit dari uangku yang jumlahnya tidak seberapa hanya demi berlangganan susu sapi botolan setiap harinya. Bagiku, lebih baik tidak makan sehari daripada tidak minum susu sehari. Sebab susu bisa memberiku energi yang tidak bisa didapat dari makanan biasa. Mungkin karena "susu" adalah salah satu jelmaan memori yang telah berubah bentuk–soal itu, suatu saat akan kuceritakan pada kalian.
Aku segera beranjak dari depan meja lipat di samping kasur kapuk yang berisi penuh pakaian-pakaian bekas dicuci. Berhati-hati agar tidak membuatnya kusut lagi (sebab kamar ini terlampau kecil bahkan untuk meletakkan almari), lalu membuka slot kunci pintu, menyusuri lorong yang gelap meski nanti di siang hari, lalu menuruni tangga memutar dengan langkah gontai.
Di tengah undakan, langkahku terhenti oleh kemunculan tiba-tiba gadis itu. Rambut sebahunya yang diikat ke atas dengan pita putih berayun-ayun seirama gerak kakinya menaiki tangga. Sebuah syal warna biru muda melingkari lehernya, seperti dipaksakan menutupi bagian bawah wajahnya.
"Yah, padahal mau kuantar ke kamar..." katanya sembari mengangkat botol susu yang ia bawa dengan dua tangan mungilnya ke depan mukaku. Kurasa ada raut kekecewaan di wajahnya.
"Tidak perlu repot. Naik ke sini sudah cukup melelahkan," tukasku.
"Tapi aku kan mau sekalian menengok kamarmu," gadis itu menjawab, masih dengan mengerucutkan bibirnya, lalu mendorong tubuhku dengan bahunya untuk merangsek menaiki tangga. Dengan langkah berdebum ia berjalan mendahuluiku menuju kamarku. Aku menyusulnya masih dengan langkah gontai.
Rok seragam abu-abu sebatas lutut yang ia kenakan bergoyang-goyang seiring dengan langkah kakinya yang mungil kurus. Seperti gadis seusianya, langkahnya lincah dan ringan. Beda sekali denganku. Meski umurku tidak jauh berbeda dengannya (mungkin paling jauh hanya terpaut lima tahun), cara jalanku jika dibandingkan dengannya sudah mirip kakek-kakek ambeien.
Sesampainya di depan kamarku, dengan santai gadis itu meraih gagang pintu lalu membukanya dengan gerakan yang alami, seakan sudah dilakukannya berulang kali–dan memang ia telah melakukannya berkali-kali. Namun ketika pada akhirnya pintu kamarku sudah terbuka sepenuhnya, ia menghentikan gerakan lincahnya itu. Diam tak bergerak.
"Kamar begini, apa yang mau ditengok?" tanyaku dari belakangnya setelah sebelumnya menyandarkan siku pada kusen pintu. Ia tidak menjawab. Dari tempatku berdiri, aku bisa melihat matanya sedang berfokus pada satu titik di dalam ruangan.
"Mas masih nulis?" tanyanya masih tanpa menengok.
"Masih."
"Nggak bosan?"
"Tidak bosan."
"Kenapa nggak bosan?"