Metamorfosa Dewa

A. Pradipta
Chapter #2

2. Perpustakaan Muram

Karena tidak mampu membeli buku yang semakin hari semakin tidak masuk akal harganya, aku hanya bisa mengandalkan perpustakaan ini. Sebuah perpustakaan daerah milik pemerintah yang membosankan. Pegawainya berwajah menekuk. Bekerja hanya sekadar menunaikan kewajiban agar dapat gaji, bukannya sungguh-sungguh karena menyukai buku atau literasi.

Namun dibandingkan dengan bangunannya yang kecil atau muka pegawainya yang muram, koleksi buku di tempat ini terhitung lumayan komplit. Bukan perpustakaan terbaik yang pernah kukunjungi, tapi setidaknya sampai saat ini aku tidak pernah kesulitan ketika mencari bahan bacaan atau bahan referensi.

Mungkin itu semua berkat Si Pegawai Tua yang sudah bekerja di tempat itu sejak dulu. Meski sekarang pekerjaannya hanya tampak duduk-duduk saja sembari membaca koran lampu merah atau memainkan game Zuma di komputernya, kurasa dia (setidaknya dahulu) adalah seseorang yang mengerti buku. Dialah yang mungkin dahulu susah payah memilih buku-buku terbaik, terbaru, atau terlangka, untuk diperpinjamkan di perpustakaan ini. Bahkan di masa pensiunnya ini pun, ia masih setia ‘bekerja’ di tempat ini.

"Dagunya kenapa?" tanya Pak Pegawai Tua kepadaku setelah sekonyong-konyong masuk dan meminta kunci loker padanya. Dia memang senang memanggil orang lain dengan kata ganti "nya".

"Kena pisau cukur," jawabku sambil menyambar kunci loker dari tangannya. Makin lama gerakan motorik pira tua itu tampak makin lambat.

Ia mengangguk-angguk kecil, berkata dengan suara rendah, "hati-hati. Luka kecil bisa menghasilkan banyak darah kalau tidak segera diobati."

Aku tidak tertarik menimpalinya yang juga mulai kembali berkutat pada game komputernya.

Setelah memasukkan tasku ke loker, menguncinya lalu mengembalikan kunci itu ke meja Si Pegawai Tua, aku menyambar sendiri nomor laci yang ternyata sudah tergeletak di meja. Meski terlihat cuek, rupanya ia masih serius dalam mengerjakan pekerjaannya yang kini sebenarnya sudah bukan pekerjaannya lagi itu.

Aku beringsut menuju kursi favoritku. Paling pojok dekat bagian buku-buku besar yang tidak dapat dibawa pulang. Perpustakaan sudah menjadi zona aman keduaku setelah kamar kos, sebab di zaman sekarang nyaris tidak ada orang yang mau pergi ke perpustakaan sehingga kesempatanku untuk bertemu manusia lain di sini sangatlah kecil. Paling banter bertemu seorang mahasiswa yang sedang mengejar tenggat waktu skripsi (kadang aku iri padanya), satu-dua siswa sekolah yang sekadar menunaikan tugas dari gurunya (kebanyakan dari mereka hanya mondar-mandir lalu bermain ponsel memanfaatkan jaringan wifi gratis sebelum betulan menyambar sembarang buku untuk dibawa pulang), dan kadang seorang kutu buku pengangguran (yang selalu membaca buku-buku berat seperti Das Kapital atau Il Principe dengan wajah tidak mengenakkan) yang merupakan tetangga satu lantaiku sendiri.

Lihat selengkapnya