Metamorfosa Dewa

A. Pradipta
Chapter #3

3. Metamorfosa

Pada malam sebelum keputusan untuk sungguh-sungguh menulis tercipta, aku bermimpi. Sebuah mimpi yang bagiku sekarang pun masih terasa menakutkan.

Pada suatu tempat gelap yang dipenuhi dahan-dahan pohon besar dan tinggi yang meliuk-liuk, aku berjalan sendiri. Awalnya aku tidak memahami mengapa aku tidak bisa melihat kakiku sendiri. Beberapa saat kemudian baru kusadar bahwa kabut menyelimut sejauh mata memandang. Kabut itu begitu tebal, dengan semburat warna ungu.

Ketika sedang melongok-longok agar semakin memahami sekitar, tiba-tiba sebuah cahaya terang muncul dari bawah kakiku. Cahaya itu tegak lurus menembus gumpalan kabut yang lama kelamaan semakin membuka lebar. Entah oleh karena kekuatan dari cahaya misterius itu atau karena sebab lain, aku memberanikan diri berjongkok untuk dapat melihat sumber cahaya terang itu. Semula kukira mataku bakal sakit karena kecemerlangan cahaya itu, tetapi semakin mendekat justru yang terjadi adalah sebaliknya, aku bisa melihat dengan jelas apa yang ada di bawah cahaya terang tersebut.

Pandangan jelas itu membawaku pada sebuah kesadaran baru. Melalui lubang yang dibentuk dari cahaya tadi, aku bisa melihat dahan-dahan pepohonan yang cukup rindang tepat berada di bawah kakiku. Otakku bergerak lambat. Sempat mengira apa yang kulihat adalah ilusi, perlahan kabut di sekitarku menghilang, hanya menyisakan diriku yang berdiri di atas hamparan dedaunan rindang yang... Terbalik.

Aku bisa melihat jelas percabangan dahan dan ranting dari pohon itu seperti ketika sedang memotong brokoli. Dari sela-sela ranting dan dahan, cahaya kecil-kecil masuk, menyinariku yang berada di atas.

Aku mulai memahami situasinya.

Batang-batang pohon besar yang semula kulihat tertutup kabut di bagian bawahnya rupanya bukanlah batang betulan. Ia hanya bagian pohon lain yaitu akar yang pada keadaan normal harusnya berada di bawah…

Setelah semakin memahami situasi, tiba-tiba aku jatuh. Bukan jatuh ke bawah, melainkan jatuh ke atas. Ya, ke tempat seharusnya kepalaku berada. Akulah yang terbalik, bukannya dunia dan seisinya.

Aku masih ingat sensasi terjatuh dengan kecepatan tinggi. Tekanan angin menerbangkan rambutku hingga menutupi wajah. Tidak ada waktu untuk berteriak sebab tahu-tahu aku sudah jatuh ke tempat terdalam, yaitu langit biru yang mahaluas. Semakin dalam, birunya semakin gelap sekaligus juga indah. Memancarkan imaji laut yang memang pada keadaan normal, manusia harusnya jatuh ke tempat itu, ke arah turun, bukannya ke arah naik. Namun yang mana saja, jatuh ke dua-duanya akan menimbulkan akibat yang sama, yaitu kehabisan nafas.

Dan ketika aku sudah merasakan tenggorokanku meronta minta udara, sebuah siluet bayangan mendekatiku dengan lembut. Waktu seakan diperlambat, seakan kedatangan siluet itu memang diperuntukkan untuk mencegahku mati. Siluet itu–masih kuingat dengan jelas–tampak berwarna merah darah. Bentuknya seperti selubung, yang semakin dekat justru semakin abstrak. Dari selubung merah itu, aku seakan melihat sebuah sosok yang menjadi inti dalam selubung itu, disertai banyak sosok lain di sekitarnya. Satu sosok terdepan itu tampak paling jelas di antara kumpulan sosok lain di tengah selubung. Semakin ia mendekat, aku bisa melihat tangannya terulur lurus mengarah kepadaku. Aku menggapai, berusaha meraih tangannya dengan harapan ia akan mampu mengentaskanku dari neraka mencekik itu.

Dan ketika telunjuk kami hanya tinggal berjarak beberapa mili saja, aku terbangun dengan keringat membanjir. Di musim penghujan yang harusnya dingin, aku melepaskan semua pakaian karena hawa panas yang menderu, entah oleh sebab apa. Kulemparkan semua pakaianku ke atas amben tempat tidurku lalu kuhempaskan diriku yang telah telanjang bulat di atasnya.

Mimpi itu datang tanpa pertanda, dengan bekas yang menancap erat dalam kepala. Sembari mengenangnya adegan demi adegan, perlahan aku mengangkat tangan, lalu meluruskan telunjuk naik ke arah atap plafon rumah, berusaha meniru adegan terakhirku dalam mimpi aneh sebelum akhirnya terbangun. Sensasi ketika telunjukku nyaris bersentuhan dengan sosok berselubung merah darah itu masih terasa jelas. Lalu sebuah ide untuk mengabadikan pengalaman mimpi itu pun merasuk ke dalam pikiranku.

Paginya, aku memantapkan diri untuk menuliskan kisah dalam mimpi itu sebagai sebuah cerita utuh.

Saat itu rasanya menulis sudah sama beringasnya dengan sebuah nafsu. Aku membawa laptopku ke sekolah. Untungnya saat itu laptopku belum bobrok sehingga aku tidak perlu mencari colokan listrik untuk menghidupkannya. Dalam setiap kesempatan, baik itu pelajaran kosong, jam istirahat, bahkan hanya jeda beberapa menit sebelum guru datang, aku selalu menyempatkan diri menulis. Jika tidak sedang menghadap laptop pun, aku selalu terbayang ide cerita. Pelajaran dan percakapan teman nyaris tidak masuk ke dalam otak. Yang ada hanya ide dan nafsu untuk menulis saja. Masa-masa itulah yang menjadi masa awalku ditinggalkan oleh teman satu per satu, dengan alasan sama: Dewa sekarang jadi aneh.

Awalnya aku sewot dengan tindakan mereka, tetapi semakin dewasa, aku jadi memahami mengapa mereka berpikir demikian.

Dan tepat sebulan sejak mimpi aneh itu datang, aku berhasil menandaskan penulisan satu draft novel utuh yang kemudian kuberi judul ‘The God Metamorphose’.

Saat kupandangi naskah yang sudah kucetak menjadi setumpuk kertas HVS dua ratus lebih sedikit halaman, intuisiku berkata bahwa naskah itu berbeda dari tulisan-tulisanku sebelumnya. Ilham yang datangnya dari mimpi yang membuatku telanjang seperti manusia baru itu kurasa tidak datang karena kebetulan. Sebagai seorang remaja, aku sudah bisa memahami itu. Perasaan yang bahkan sampai sekarang masih mampu kurasakan dengan sempurna.

Dengan dorongan intuisi itu, aku bertekad mengirimkan naskah itu ke penerbit terbaik pada saat itu. Namun karena gempuran perasaan tidak sabar yang datang beruntun (sebuah sifat khas anak remaja), aku juga mengirimkan naskah tersebut ke beberapa penerbit lain yang lebih kecil dan beberapa adalah penerbit indie, dengan harapan agar buku itu segera diterbitkan.

Bulan demi bulan berlalu, tidak ada satupun kabar naskah itu lolos seleksi di penerbit manapun. Yang datang justru surat penolakan demi penolakan terutama dari para penerbit besar. Kebanyakan dari mereka beralasan bahwa naskahku tidak relevan dengan kondisi yang dibutuhkan pembaca sekarang.

Pada mereka, aku yang masih remaja ingin protes. Kalau cerita mengenai dunia yang sudah terbalik atas dan bawahnya itu dianggap tidak relevan, berarti mereka memang memiliki kepekaan yang kurang. Mereka pasti jarang membaca atau melihat berita mengenai maraknya pencurian yang diputarbalik menjadi suatu tindakan mulia, vice versa. Bagaimana bisa orang dengan kepekaan sedangkal itu menjadi tim editorial di sebuah penerbit ternama? Saat itu, aku terus berpikiran demikian hingga hari-hariku semakin dijauhi kenyataan.

Namun pada suatu hari di mana aku sudah mulai melupakan nasib naskah itu, sebuah berita datang padaku. Asalnya dari sebuah penerbit indie yang berasal dari kotaku.

"Kami berminat menerbitkan naskah Kakak, asal..."

"Asal?" tanyaku ketika kata-kata yang diucapkan seorang tim editorial melalui telepon menggantung begitu saja.

"Asal Kakak bisa membayar deposit dulu untuk penerbitan buku awal," kata editorial dari seberang. Aku mengernyit.

"Deposit?"

"Ya... Singkatnya, kami penerbit kecil, ah itu sama sekali tidak akan singkat, intinya, uang deposit itu untuk menjamin bahwa kami tidak akan rugi jika nanti buku sama sekali tidak terjual. Maksud saya, itu sudah menjadi resiko, kan? Maksud saya, sebgai seorang penulis baru. Maksud saya, memang naskah ini potensial, maka sayang sekali jika--"

"Berapa?"

"Di awal kami akan menerbitkan maksimal 50 eksem--"

"Maksudnya, berapa uang deposit yang harus saya bayarkan?"

Sunyi sejenak.

"Tidak mahal. Lima juta rupiah saja."

Lihat selengkapnya