Sepeninggal orang tua yang mangkat karena sebab yang misterius (beberapa orang yakin hal itu disebabkan oleh guna-guna), rumah yang biasa kutinggali sejak kecil dikuasai oleh sanak saudara yang mengaku mempunyai sertifikat resmi. Atas alasan itu, aku tidak dianggap berhak tinggal di situ. Sebenarnya bukan masalah besar untuk angkat kaki dari sana sebab tinggal di sana pun aku sudah merasa bermetamorfosa menjadi kecoa. Tidak dianggap manusia, setiap hari disapu saja kerjanya. Yang memberatkanku dari meninggalkan rumah itu justru hal lain, dan dalam hal ini aku menyebutnya sebagai ‘memori’.
Aku yakin bahwa manusia adalah makhluk super-residu. Di mana ia pernah berada, ruang itu akan dipenuhi oleh bekas-bekas keberadaannya. Entah itu secara konkrit berupa residu nafasnya, atau virus bersinnya atau kotoran bekas beraknya. Entah itu secara abstrak berupa kenangan... Sebab bagiku, kenangan memiliki struktur yang sama dengan energi–tidak dapat musnah, hanya berubah bentuk. Dan di rumah itu, kenangan-kenanganku bersama kedua orangtuaku (meski tidak semuanya bagus), telah berubah bentuk. Menjelma menjadi aroma kunci gerendel gerbang masuk, menjadi warna kekuningan plafom rumah yang dihiasi bekas rembesan air hujan, atau tekstur kasar bergurat-gurat almari kayu jati di kamar Bapak bekas mengukir tinggi badanku setiap bulannya.
Namun setelah kedatangan mereka–gerombolan yang menyebut dirinya sanak saudara–bentuk kenangan itu perlahan berubah lagi. Bermetamorfosa menjadi sesuatu yang tak kukenal. Mengekangku dalam bentuk kecoa yang dikunci dalam ruang sempit lalu disapu kadang-kadang. Maka setelah mengambil beberapa barangku yang tersisa lalu mengepaknya ke dalam tas ransel gunung, aku pun mencari kebebasanku sendiri sebelum bermetamorfosa menjadi kecoa betulan.
Dan pada perhentian sementara dari pencarian kebebasanku itulah, aku terdampar di sudut terpencil kota ini. Seorang diri berusaha bertahan hidup dengan mengorbankan banyak hal, demi mendatangkan banyak hal lain. Meski sekarang aku merasa bahwa diri ini semakin mirip kecoa betulan–tersingkir dan tak diinginkan, aku jauh lebih lega karena kecoa ini kini memiliki sayap untuk dapat terbang sendiri ke manapun mau.
Oleh karena keuanganku yang sangat menipis, aku tidak mampu pergi sampai ke luar kota. Hanya mampu menyewa kamar kos di pinggiran kota yang agak sepi agar terhindar dari pertemuan dengan orang-orang yang kukenal.
Kos itu sudah tua. Bangunannya lantai tiga dengan tangga memutar untuk mencapai lantai tertingginya. Bangunan tua jelas menampakkan kesan bobrok, dan bahkan di kos ini, lebih bobrok dari yang bisa dibayangkan orang mengenai bangunan tua. Kualitas bangunan yang sedari baru memang tidak bagus membuahkan banyak tanda hati-hati atau larangan melintas berupa palang, meja kursi yang ditumpuk atau sekadar kain yang dibentangkan sembarangan di sejumlah titik. Sarang laba-laba ada di setiap sudut, cat mengelupas, serta makhluk-makhluk asing yang terlalu sering menelusup ke dalam kamar adalah sajian meriah di tempat ini. Entah apa pekerjaan si penjaga atau pemilik kos. Seakan mereka hanya akan menontoni kalau-kalau bangunan ini tiba-tiba ambruk seketika. Namun anehnya, selalu saja ada orang yang datang mengontrak setiap ada satu yang pergi. Seakan alur datang dan pergi mereka telah diatur sedemikian rupa supaya arus rezeki dari para pengelola terus teralirkan dengan lancar. Entah berkat dukun yang mana.
Dan bagian terburuk dari bangunan itu justru adalah kamarku. Kamar paling buruk dan paling ujung yang keberadaannya menjadi seperti mitos saja kalau aku tidak datang dan merengek minta disediakan tempat paling murah, beberapa bulan lalu. Aku memang minta kamar termurah mengingat kondisi keuanganku. Pemilik lalu memberikanku kunci kamar terkecil yang dulunya adalah kamar pembantu. Letaknya di lantai dua, paling ujung koridor. Untuk mencapainya, lebih mudah menggunakan tangga memutar yang langsung menyambung pada halaman luar karena untuk mencapai tangga utama, harus mengelilingi seluruh koridor bangunan.