Metamorfosa Dewa

A. Pradipta
Chapter #5

5. Gunungan Ember

Aku memasuki kamar dengan langkah gontai. Sebabnya karena perutku yang melilit akibat memaksa menelan makanan yang belum sepenuhnya tergerus halus oleh gigi, serta kekalutan akibat belum adanya permintaan menulis lagi yang masuk selama beberapa hari ini. Untuk menyingkirkan pikiran tidak enak, aku pun membuka jendela kamar yang terletak di sisi belakang, menghadap langsung pada hutan pohon jati.

Seketika, udara segar masuk ke dalam kamar. Sirkulasi udara memang sangat dibutuhkan meski itu berasal dari udara yang dihembuskan oleh pohon-pohon jati angker. Dan lautan hijau bersemu cokelat itu bagiku secara kasat mata cukup menenteramkan. Rasanya hampir tidak mungkin cerita-cerita kelam dari warteg tadi benar-benar terjadi di hutan yang damai ini.

Jika melongokkan kepala agak jauh dari jendela belakang, maka dapat terlihat bangunan tua bekas rumah dinas kontrolir perkebunan Belanda yang berdiri kokoh, dengan lapangan berpaving luas di depannya, tepat di tengah-tengah lautan hijau kecokelatan itu. Warna catnya putih bersih, dengan enam pilar besar menyangga bagian depannya. Atapnya berbentuk limas dengan dekorasi Jawa-Kolonial yang menghiasi setiap sudut dan garisnya. Pintunya tinggi besar, dicat berwarna putih juga. Jendelanya pun demikian. Kesan putih-putih pada bangunan kuno itu membuat bangunan itu memiliki karisma dan estetika unik. Seakan bangunan itu dilemparkan begitu saja dari masa lalu. Seakan-akan terlihat wajar saja jika tiba-tiba aku melihat para meneer tampan dan mevrouw atau juffrow cantik berpakaian serba putih tengah mengendarai mobil Buick mengelilingi bangunan itu.

Sebetulnya beberapa bulan lalu ketika awal aku menempati kos ini, bangunan itu hanya berupa gedung kuno terbengkalai yang ditutupi ilalang. Keangkeran hutan jati semakin menjadi-jadi akibat keberadaan bangunan terbengkalai itu. Karena rupa angkernya, bangunan itu kerap kali dijadikan lokasi uji nyali oleh para pembuat konten video dari penjuru negeri.

Kontras dengan saat itu, saat ini kondisinya sudah jauh lebih baik setelah ada seseorang yang merenovasinya untuk dibuat sebuah kafe megah. Seseorang itu pasti kaya raya jika melihat proses renovasi yang begitu teliti dan anehnya hanya dikerjakan dalam waktu singkat, tetapi mampu menghasilkan bangunan megah tak bercacat yang menarik siapapun untuk mendekat. Lampu terang memendar di mana-mana, membuat aura angker hutan jati semakin memudar. Siang sampai malam tempat itu ramai oleh pengunjung yang datang dan pergi. Suara tawa ceria selalu menelusup masuk ke dalam bilikku di kala-kala tertentu. Kadang menggangguku, tapi lebih banyak menenteramkan hatiku.

Meski mampu melihat keseluruhan bangunannya setiap hari, tetapi kafe itu memang berada di situ hanya untuk kupandangi. Sebab untuk membeli segelas minuman di sana saja, sudah menghabiskan jatah langganan susu sapi sebulan. Namun, tetap saja kafe itu selalu terlihat ramai. Seakan beroperasi dua puluh empat jam kali tujuh hari, dengan pelanggan datang silih berganti. Aku jadi terpikir, mungkin aku jadi satu-satunya orang di dunia dengan kondisi keuangan paling parah saat di mana orang lain semakin hari semakin membaik, dibuktikan dengan semakin mahalnya harga segelas kopi di kafe-kafe.

Klap!

Sebuah suara menarik perhatianku. Aku berbalik karena kukira suara itu datang dari arah pintu kamar. Rupanya tidak ada perubahan apapun di dalam kamar.

Klap!

Suara yang sama kembali datang, kali ini semakin dekat. Mataku menyelidik memutari ruangan. Dari pintu masuk kamarku, ke sudut kanan tempat kasur dan almari pakaian, ke tengah tempat meletakkan meja lipat dan laptop sekaligus juga tempatku berdiri saat ini, lalu ke sudut kiri tempat menyusun tas, kotak perkakas dan buku-buku... Tidak ada yang berubah. Dan pada titik di mana jam tanganku berdecit singkat menandakan jarum jam pendek dan panjang bertumbukkan, sebuah suara tawa terdengar.

Lalu aku pun teringat, bahwa suara-suara itu bukan kali ini saja kudengar.

Suara kepak sayap dan tawa itu sudah kudengar sejak awalku menghuni kamar kos ini. Saat itu, aku tidak tahu dari mana suara itu berasal. Kadang terdengar seperti datang dari kejauhan, dan lebih sering seakan datang dari dalam kepalaku sendiri.

Namun pada suatu hari di musim kemarau, pada senja kemerahan yang membikin siluet diriku tampak memantul pada tembok kamar, aku melihat sumber dari suara itu. Setelah hari itu, aku semakin sering mendengar suara gemersik serta tawa misterius itu, tetapi tidak sekalipun aku menjumpai lagi sosok pemilik suara-suara itu.

Kini suara-suara itu kembali kudengar. Asalnya masih sama, dari rerimbunan pohon jati di belakang sana. Aku yakin, saat itu pasti mereka–para malaikat kecil berwujud bayi-bayi berambut ikal dan bersayap dengan senyum yang jika diperhatikan maka akan semakin menyeramkan, sudah mulai berkumpul di dahan-dahan pepohonan jati. Dengan sayap-sayap mungilnya, saat itu mereka pasti sedang tertawa riang sembari saling menyapa, lalu tawa itu akan berubah menjadi gunjingan setengah bercanda untukku di sini. Hanya terpisahkan beberapa meter jendela dan beberapa senti tembok rapuh, mereka pasti semakin asyik menertawakanku. Aku meringkuk ketika membayangkan kenyataan itu. Seberapa keras pun aku berusaha menutup telingaku, suara-suara kepakan sayap serta tawa-tawa dari para malaikat sialan itu terus terdengar, mengisi seluruh rongga kepala.

Sesaat kemudian, suasana mendadak sunyi. Tidak terdengar apa-apa lagi selain gesekan dedaunan jati. Aku memberanikan diri untuk bangkit, lalu menatap pada jendela yang terbuka. Dan pada saat aku benar-benar tidak siap, mereka datang lagi.

Suara-suara mereka betulan menelusup masuk ke sela-sela pintu antara jendela dan kamarku. Tidak hanya suara, aku juga melihat kelebatan bayang-bayang yang berhamburan di luar jendela. Beberapa kali tangan-tangan mungil mereka tampak berusaha masuk melalui lubang dalam jendela, tetapi entah mengapa tidak pernah bisa.

Kakiku seperti terpaku ke atas lantai. Suara tawa yang memuakkan terus berdengung, begitu pula dengan kelebatan-kelebatan sosok bersayap yang terbang ke sana kemari membuat perutku mual. Keringat dingin membanjir, lalu kegelapan perlahan menyelimuti.

Lihat selengkapnya