Di kafe itu aku memang hanya mampu dan pantas berlaku sebagai seorang pekerja, bukannya sebagai pelanggan. Aku yang tengah dalam pelatihan sebagai helper (aku berhasil diterima hanya dengan satu kali wawancara tatap muka sehingga dalam hati aku agak meragukan kredibilitas HRD kafe ini), tercengang ketika membaca harga-harga makanan dan minuman yang tersedia. Tak terbayangkan bagiku berapa pendapatan para pelanggan kafe ini kalau kebutuhan yang bukan primer ini saja bisa mereka beli sembari lewat. Meski bekerja di kafe dengan harga menu semahal ini, sisa gajiku setelah dikurangi biaya hidup sehari-hari pun tetap akan membuatku berpikir panjang untuk bisa membeli makan dan minum di sini.
Namun, meski kepalaku terus berdenyut setiap membaca daftar harga, aku tetap harus menghafalnya.
"Meski bukan pelayan atau barista, seorang helper juga wajib memahami menu dan harga. Sebab kau juga menjadi salah satu first look untuk kafe ini, terutama ketika kita invasi ke luar lingkungan," kata Si Barista pada suatu saat. Dia adalah kepala koki sekaligus kepala pelayan sekaligus juga kepala segalanya. Semacam manajer serbabisa. Awal bertemu, kukira dia pemilik kafe ini sebab ia tampak begitu bersemangat–kalau tidak mau dibilang ‘terlampau berdedikasi’–dalam setiap pekerjaan menyangkut kafe ini. Aku bahkan yakin jika kafe ini kelak disatroni teroris, ia yang akan dengan senang hati memberikan tubuhnya untuk dijual organ-organnya demi membayar tebusan agar kafe ini bisa terlindungi. Rupanya ia hanya seorang karyawan biasa yang kebetulan memang memiliki kemampuan manajemen dan kepemimpinan yang agak lebih baik dibanding karyawan lain.
Setelah bekerja di kafe ini beberapa hari, aku pun menyadari bahwa ternyata dedikasi serupa juga dimiliki oleh semua karyawan. Seakan hidup dan mati mereka bergantung pada berdirinya kafe itu. Well, sebenarnya memang demikian. Sebab di zaman yang serba rumit ini, bisa mendapat sebuah pekerjaan di kafe dengan gaji kecil saja sudah cukup daripada tidak ada pekerjaan sama sekali. Seketika aku merasa seperti refleksi diri.
Meski ukuran kafe ini cukup besar, aku tidak pernah merasa terlalu lelah ketika pulang ke rumah untuk kemudian melanjutkan pekerjaan menulis. Sebabnya tidak lain karena para karyawan yang bekerja dengan sistem yang baik dan teratur, hingga aku sebagai seorang helper baru, cukup melakukan pekerjaan remeh-temeh macam menyiram kebun atau membersihkan papan penunjuk lokasi kafe. Papan itu semacam signature dari kafe yang letaknya memang agak tersembunyi ini.
Di depan jalan raya besar, ada sebuah papan penunjuk lokasi yang terbuat dari kayu jati yang dicat putih. Di permukaannya tercetak besar-besar dengan huruf balok berwarna merah pastel nama kafe ini: ‘INSULINDE: Culinary and Time Travel’. Kombinasi tiga kalimat yang menarik dan tergolong tidak biasa untuk disematkan pada papan nama sebuah kafe.
Time Travel.
Jelas istilah itu dipakai untuk menggambarkan mengenai nuansa yang didapat setiap kali menginjakkan kaki di sini. Beberapa meter sebelum memasuki area kafe, orang pasti tidak akan menyangka ada bangunan Belanda sebagus ini di sebelah jalan raya antar provinsi yang membosankan. Memang tidak ada yang menarik dari jalan raya antar provinsi. Begitu pula dengan warung-warung kecil yang berjajar di sepanjang jalan. Sebuah pemandangan biasa yang tidak ada bedanya dengan pemandangan di kota lain. Apalagi hutan jati yang terhampar di sepanjang area. Ketika melihatnya, orang pasti hanya akan mengasosiasikan tempat semacam itu dengan setan dan demit. Ditambah lagi dengan asap-asap kendaraan dan hasil buangan apapun, rasa modern-distopik justru semakin terasa.
Namun jika sudah menemukan papan penanda dan berbelok memasuki gang sempit yang berujung pada jalanan yang semakin melebar jika semakin memasukinya, orang-orang akan merasakan aroma nostalgia. Bangunan peninggalan Kolonial Belanda yang tiba-tiba muncul menyambut akan memberikan sensasi semacam berpetualang menaiki mesin waktu.
Apalagi jika sudah menginjakkan kaki di dalam bangunan yang direnovasi secara hati-hati mengikuti standar pelestarian cagar budaya ini, maka pilar-pilar, interior, warna lampu, aneka tanaman, dan aroma yang menguar semakin akan menenggelamkan jauh-jauh para pelanggan ke dalam nostalgia masa lampau. Sebuah kenangan palsu mengenai zaman yang tak lagi pernah dialami oleh semua orang di bumi Pertiwi sebab zaman itu, zaman Indis, sudah berlalu ratusan tahun lamanya. Dan kafe ini hanyalah sedikit dari serpihan memori yang masih dapat dirasa.
Culinary.
Karena menu-menu yang disajikan oleh kafe ini terbilang lezat dan autentik (aku sempat mencicip beberapa dan semuanya lezat). Kata Si Barista, Sang Pemilik tidak suka makanan ala-ala.
"Kalau memang sederhana, ya harus sederhana. Kalau harus mewah, ya harus mewah. Tidak boleh setengah-setengah. Misalnya menu nomor dua ini," Si Barista menunjukkan padaku sebuah bagian di buku menu. "Nasi Oerap Swar Swir Ajam dan Sambel Trasi dan Kroepoek. Meski namanya terkesan mewah karena menggunakan nama indis, tetapi karena makanan ini pada dasarnya adalah makanan rakyat, maka ia minta untuk dibuatkan bumbu dan pelengkap yang autentik. Katanya, kalau perlu, bikin sambal urapnya mulai dari kelapa utuh yang diparut tangan atau kalau tidak ada ya harus beli dari ibu-ibu tua penjaja sambal di pasar. Awalnya hal itu bikin kita semua kelimpungan, tapi semakin lama bekerja dengannya dan memahami kebiasaannya, kita semua jadi belajar banyak hal, secara gratis dan bahkan melalui pengalaman langsung. Lalu, pekerjaan pun semakin terasa mudah dan menyenangkan."
"Ho..." kataku di tengah menyimak.
"Meski begitu, Pemilik suka dengan makanan akulturasi. Tapi harus makanan akulturasi beneran, bukan yang dibikin akhir-akhir ini–pakai keju mozarella di segala makanan, misalnya, adalah hal yang paling ia tidak suka. Makanan peranakan atau Indis, misalnya, adalah manifestasi dari obsesinya akan itu."
Si barista berhenti sejenak sembari menyesap Americano dingin yang selalu ia minum di pagi hari.
Lalu lanjutnya, "baginya, yang di tengah-tengah itu indah. Dia ingin selera dan ideologinya itu tersampaikan melalui kafe ini. Makanya ia memilih tempat bernuansa Indis ini untuk membangun usaha kulinernya. Pelan-pelan terbukti, usahanya untuk menanamkan ideologinya itu berhasil dengan banyaknya pelanggan yang menjadi tertarik mendalami soal makanan dan budaya Indis setelah beberapa kali berkunjung kemari."
"Makanya kemudian kalian coba bikin seminar yang beritanya harus kusebarkan melalui pamflet-pamflet ini?" aku menyahut sembari mengamati lembar demi lembar kertas glossy A5 yang di atasnya tercetak gambar dan tulisan untuk mengundang orang-orang datang ke seminar makanan Indis yang akan diadakan di kafe ini besok Minggu.
"Exactly. Please show me your great job. Kalau bisa, jangan pulang sebelum pamflet itu habis dibagikan. Tidak keberatan?"
Aku menghitung cepat dalam kepala deadline menulis yang rupanya tidak ada hari ini, lalu menggeleng, "no problem."
Lalu aku pun mengemasi beberapa barang yang penting terutama tumpukan pamflet-pamflet ke dalam tas selempang, kemudian menuju garasi untuk mengambil motor kantor dan mengendarainya sendiri ke luar kafe. Aku bergegas, karena aku tidak suka berlama-lama dalam pekerjaan. Lagipula, aku harus mengejar waktu makan siang di mana orang-orang sedang ramai berkumpul atau berjalan keluar sepanjang tujuanku, alun-alun kota.
Dan sesampainya di jalan masuk yang memisahkan kafe dan jalan utama, aku melirik sedikit pada papan nama kafe yang secara aneh, tampak lebih kecil daripada biasanya. Namun, blok-blok huruf yang tercetak di atasnya masih bertahtakan megah, mencuri pandangan setiap pengguna jalan yang lewat.
Insulinde.
Setahuku itu istilah untuk menyebut kepulauan Hindia Belanda beserta keindahannya yang dicetuskan oleh Eduard Douwes Dekker di zaman kolonial dahulu. Dan kata itu memang sangat cocok diberikan untuk tempat ini. Setahuku istilah itu tidak banyak yang mengetahuinya–apalagi memahami maknanya. Itu artinya, Sang Pemilik–atau siapapun yang memiliki ide memberikan nama ini–mungkin adalah seorang yang memiliki wawasan cukup luas.
Dan meski sudah bekerja di kafe ini selama hampir sebulan, sekalipun aku belum pernah bertemu Sang Pemilik. Semua urusan seakan dipercayakan begitu saja kepada Si Barista. Menurut para karyawan, Sang Pemilik sering datang untuk mengecek ketersediaan bahan setelah kafe tutup dan sebagian besar karyawan pulang. Namun, kadang ia juga tidak datang sama sekali dalam beberapa waktu. Mungkin sekarang ia ada dalam periode itu. Yang manapun, tampak sekali kalau Sang Pemilik adalah orang yang sangat sibuk dengan profesinya yang entah apa.
Aku tidak berniat menanyakan identitasnya lebih jauh karena meski lingkungan kerjaku cukup nyaman, aku tidak mau terlibat urusan terlalu dalam dengan orang lain. Aku tetap harus mengosongkan separuh lebih diriku untuk menulis. Maka setiap selesai shift, aku tidak pernah banyak berbasa-basi dengan karyawan lain dan segera pulang jalan kaki ke kos untuk menulis pesanan lagi. Namun akhir-akhir ini pesanan menulis yang masuk semakin sedikit sehingga aku bisa menghabiskan waktu agak lebih lama di kafe sebelum pulang.
"Kamu kerja nulis konten juga?" tanya seorang karyawan perempuan padaku, suatu hari. Aku tersentak, nyaris menjatuhkan gagang sapu.
"Tahu dari mana?" tanyaku kikuk.
"Kami semua tahu beberapa hal mengenai karyawan lain. Sebab kita ini saudara!" jawabnya riang. Namun nada suaranya terdengar agak tidak enak di telingaku.
"Tapi kenapa aku tidak pernah tahu satu hal pun mengenai kalian?"
Pertanyaan sinisku itu seketika menyumpal mulutnya. Ia menjauhkan dirinya dariku. Kukira ia akan segera enyah, tetapi rupanya sembari melangkah pergi, ia bicara dengan nada yang tak kalah sinis denganku sebelumnya.
"Karena kau tidak pernah mau tahu soal kami."
Perkataan gadis itu terngiang sepanjang hari. Aku memang tidak pernah berminat dekat dengan orang lain, apalagi sampai tahu seluk-beluk mengenainya. Itu semacam protokol pertahanan diri. Alamiah. Sebab sepanjang dua puluh tiga tahun hidup, rasa sayang dan peduliku pada orang lain selalu berujung pada satu hal yang sama: rasa sakit di pihakku karena dikhianati oleh mereka.
Dan sejak percakapan singkat dengan pegawai perempuan itu, tingkat kenyamanan bekerja di kafe ini perlahan menurun. Semua pekerjaan yang semula ringan terasa begitu berat. Apalagi pekerjaan yang semula berat. Kini terasa seperti pekerjaan dari panitia penyiksa pendosa di neraka.
Dan panasnya siang hari itu apalagi di tengah alun-alun membuat nerakaku semakin menjelma nyata.
Pamflet di tanganku masih tersisa setumpuk. Hampir tidak ada orang yang mau bahkan untuk sekadar mengambil selembar. Mereka seakan tidak menyadari keberadaanku yang menyorongkan pamflet itu ke depan muka mereka. Entah memang tidak sadar atau pura-pura tidak sadar, aku tidak tahu yang mana alasannya. Mungkin juga mereka sebenarnya sadar tapi menolak karena penampilanku yang sama sekali tidak menyenangkan.
Meski begitu, kupikir pekerjaan membagi-bagikan pamflet ini jauh lebih menyenangkan daripada mengamen dengan mengenakan kostum badut.
Dengan kostum tebal dan kepala besar yang bergoyang-goyang, aku membayangkan betapa menderitanya mereka. Kuperhatikan sedari aku datang, ia, si pengamen badut itu, sama sekali tidak pernah berhenti berjoget dan bergoyang-goyang. Meski penampilannya mencolok, hanya beberapa orang lewat saja yang memperhatikan keberadaannya. Tiba-tiba aku merasa tidak merana sendirian.
Hingga akhirnya, pengamen badut itu ikut duduk istirahat di sebelahku. Duduk di depan pos polisi yang terbengkalai di tengah terik kota.
"Kamu nggak minum?" tanyanya padaku sembari menyerahkan segelas Aqua kepadaku. Aku menolak dengan mengangkat tangan.
"Sudah minum. Terima kasih."
Namun, ia justru menarik tanganku lalu meletakkan gelas Aqua itu ke genggamanku begitu saja. Bulu-bulu kostum badut kelincinya menggelitik kulit tanganku.
"Buat bekal," katanya sembari menunjuk gelas Aqua yang sudah berpindah tangan ke tanganku.
Aku tersentak. "Buat Masnya saja."