Metamorfosa Dewa

A. Pradipta
Chapter #7

7. Sealed With A Kiss

Ketika aku baru datang untuk bekerja pada suatu siang yang cerah sekali sampai-sampai harus terus menyipitkan mata untuk menghalangi sinar matahari, aku melihat sebuah mobil asing terparkir di garasi belakang kafe.

Merk Inggris terkenal. Warna merah dan tampak mahal. Selain itu juga tampak bersih mengkilap. Pemiliknya pasti seorang yang sadar kebersihan. Mungkin itu mobil Si Barista jika cerita mengenainya bahwa ia sebenarnya kaya raya adalah benar. Mungkin hari ini ada event khusus yang membuatnya terpaksa membawa mobilnya itu.

Namun sebelum aku sempat menanyakan itu padanya, ia terlebih dulu telah menghampiriku yang tengah berganti pakaian kerja. Ia menyodorkan sebuah benda berwarna putih kepadaku. Wajahnya masam.

"Pak Pemilik menemukan tulisanmu ini. Lalu dia minta kamu untuk bertemu di kantornya," ujar Si Barista sembari menyodorkan sebuah tisu yang terlipat menjadi segitiga. Itu tisu dengan tulisan tanganku yang kapan hari sempat hilang.

Aku mengambil tisu itu darinya. "Pemilik datang hari ini?"

"Iya. Sudah ada di sini sebelum aku datang. Naik mobil sendiri," jawabnya pendek-pendek lalu segera pergi. Pertanyaanku mengenai mobil merah asing yang terparkir di garasi agaknya telah terjawab.

Aku melirik tulisan yang kububuhkan cepat-cepat di atas tisu makan itu, menerka-nerka apa yang salah dengan tulisan ini. Pada kebanyakan kasus, alasan seorang pegawai dipanggil ke ruang kerja bosnya tepat setelah ia didatangi oleh rekannya yang bermuka masam hanyalah satu: ada masalah. Mungkin tisu itu tidak sengaja terkirim ke meja pelanggan yang memang sedang memiliki sentimen khusus terhadap beberapa kata dalam tulisanku itu meski sebenarnya itu hanyalah sebuah fiksi. Akhir-akhir ini memang banyak orang yang mudah tersulut hanya gara-gara salah memahami kalimat-kalimat. Mungkin kali ini kejadian semacam itu memang sedang terjadi padaku.

Maka dengan langkah gontai, aku pergi menuju kantor sang pemilik. Ruangan itu terletak di bagian belakang gedung. Sebuah ruangan terpisah yang tidak terlalu luas tetapi tampak nyaman karena memiliki jendela yang menghadap langsung ke kebun belakang. Untuk menuju ke sana, aku harus keluar dari dapur lalu menuruni tangga pendek yang membawaku pada selasar beratap yang langsung menyambung ke kantornya.

Menurut buku yang pernah aku baca, ruangan itu sebenarnya bukan bagian dari gedung utama. Di masa lampau, biasanya digunakan sebagai sepen atau kamar pembantu. Oleh karena ada satu lagi gudang nganggur yang dapat dijadikan lokasi sepen, maka gedung terpisah dan kecil itu praktis kosong. Di sanalah sang pemilik membangun kantor sekaligus ruang pribadinya.

Setahuku, tidak ada yang boleh masuk ke sana selain dirinya atau orang dengan undangan. Di antara para karyawan, hanya Si Barista yang pernah memasukinya. Mungkin itu alasan Si Barista berwajah masam karena beberapa saat lagi keistimewaannya itu akan terbagi dua oleh pegawai baru dan ceroboh sepertiku.

Sesampainya di depan kantor pemilik, aku berhenti sejenak. Memang benar ada jejak keberadaan manusia hidup di balik pintu ini. Entah mengapa, aku mampu merasakan hal-hal semacam itu. Bisa jadi karena tertular kemampuan melihat aura milik Si Barista, atau bisa jadi memang semua manusia sebenarnya memiliki kemampuan itu hanya saja mereka tidak pernah mau merasakannya betul-betul.

Tiba-tiba rasa penasaranku mengenai sosok Sang Pemilik dengan segudang cerita dan karakteristik uniknya kembali mengusikku. Ini adalah momenku bertemu dengannya untuk pertama kali sejak bekerja di sini. Dibarengi dengan dorongan untuk segera menemuinya itulah, aku mengetuk pintu.

"Masuk saja," sebuah suara kecil dan tidak jelas karena teredam daun pintu membuatku segera memutar kenop pintu dan membukanya.

Di depanku terhampar ruang yang bercat putih bersih. Tidak ada bagian yang istimewa dibandingkan keseluruhan bangunan kafe ini. Di ruang itu pun hanya ada sebuah meja, dua kursi, sebuah sofa, dan beberapa lemari. Tidak ada hiasan atau lukisan.

Aku menunduk agar terlihat sopan sembari melangkah masuk lalu menutup pintu. Aku bergumam sebagai tanda kesopanan meski aku tidak tahu apakah ini hal yang sopan atau tidak untuk diucapkan.

"Saya pegawai yang diminta Barista untuk datang ke kantor menemui Anda." Namun, tidak ada jawaban dari pihak seberang. Maka aku pun mengangkat kepala. Dan kutemui sosok pemilik di sana.

Seorang pria–awal pandang aku sempat mengiranya wanita karena ia menghadap belakang menunjukkan rambutnya yang panjang sebahu dan tubuhnya yang ramping–telah menungguku.

Sebuah lagu lama mengalun dari kaset tape tua yang dipasang di pojok ruang.

"’Sealed With A Kiss’. Versinya Jason Donovan. Sebenarnya saya lebih suka versi Brian Hyland. Karena lebih awal ada," kata pria itu padaku–karena tidak ada siapapun lagi di sana selain aku dan dia, masih tanpa menoleh.

Rupanya suaranya berbeda dari yang kubayangkan mengenai sosoknya yang tinggi, ramping dan halus itu. Suara itu berat dan bernada rendah dengan warna maskulin yang kental. Seperti suara milik para aktor pemeran utama film pahlawan super. Sama sekali tidak cocok dengan penampilannya.

Aku diam saja. Aku tahu sedikit soal lagu yang tengah diputar itu, tapi tidak tahu musti menjawab apa.

"Anda pernah dengar mitos soal hutan itu?" tanyanya tiba-tiba. Sebuah pertanyaan yang cukup ganjil ditanyakan untuk orang yang pertama kali bertemu. Tapi aku langsung memahami yang ia maksud.

"Mitos yang mana, Pak? Ada banyak," jawabku tergagap beberapa saat kemudian.

"Soal hantu kaki panjang yang berasal dari kota gaib."

"..."

"Saya benaran pernah melihat mereka," katanya kemudian berbalik badan menghadapku. Karena berdiri membelakangi jendela, cahaya cerah yang masuk ke dalam ruang membuat sosoknya tampak hanya sebagai siluet hitam saja. Aku pun jadi tidak jelas menangkap raut wajahnya.

Aku mengangguk-angguk semata supaya terlihat sopan sebab kalau boleh jujur, aku tipe skeptis terhadap hal semacam itu. Namun sebelum genap aku menghempaskan pikiran untuk menertawakannya, ia telah berjalan mengelilingi ruang kerja, sembari tangannya menyusuri setiap perabot yang ia lewati. Dalam gerakannya yang tampak seperti telah dipertimbangkan matang-matang itu, ia menghadapku. Cahaya matahari yang kini telah membuka tanpa ditutupi awan pun menerangi wajahnya dengan sempurna.

Sosoknya jika dilihat sekilas tidak memiliki ciri khas ras mayoritas negeri ini–tulang hidungnya tinggi, kulitnya terang dan tubuhnya jangkung. Namun begitu berhadapan langsung, darinya akan muncul sebentuk perasaan familier seperti ketika berhadapan langsung dengan orang-orang mayoritas sini terutama dari mata bulat dan rambut panjangnya yang hitam kelam.

Aku tidak tahu secara pasti berapa umur pria itu. Sebab kulitnya terlihat masih kencang, tetapi saat tersenyum (di kemudian hari, dia hampir selalu kulihat tersenyum sepanjang hari dengan mimik tenang) ada semburat garis-garis wajah tanda usia di sekitar mata dan pipinya. Yang dapat kupastikan hanyalah usianya yang jelas lebih tua dariku.

Lihat selengkapnya