Ia memukul-mukul bagian bawah botol kaca yang berisi saos sambal oplosan karena tak kunjung bisa tertuang isinya. Ia makin kesal karena baksonya semakin dingin karenanya.
"Sini," kataku kemudian menyambar botol saos itu dari tangan Eva. Dalam sekali pukul, saos itu sudah tertuang sedikit ke atas baksonya. Bibirnya mengerucut. Ia pun mengaduk-aduk baksonya dengan lincah, sampai pita di kucir ekor kudanya ikut bergoyang-goyang.
Kami makan dalam diam. Suasana warung bakso tenda siang itu cukup sepi. Hanya ada aku dan Eva serta seorang pelanggan lain di pojok.
Siang ini, Eva tiba-tiba mengetuk pintu kamarku. Aku yang masih setengah tidur karena habis pulang dari shift malam, mau tidak mau mengikuti keinginannya (dengan setengah memaksa) untuk pergi makan ke warung bakso di warung sebelah kos.
"Hari ini aku ulang tahun. Aku traktir bakso," katanya di ambang pintu kamarku. Wajahnya tampak berseri.
"Oh, selamat ulang tahun," kataku singkat lalu aku pun berganti celana jins lalu mengunci pintu dan menjajari langkahnya. Mungkin tampak begitu, tapi aku mengiyakan ajakannya untuk makan bukan karena tergiur kata "traktiran", melainkan untuk betulan merayakan hari jadinya. Aku tidak punya benda apapun untuk diberikan padanya, maka setidaknya hari ini aku bisa memberinya waktu luangku. Gadis sebaik Eva sudah seharusnya mendapat hadiah di hari ulang tahunnya.
Selain itu, kejadian dengan pemilik tempo hari membuat pikiranku tidak tenang. Mungkin semangkuk bakso traktiran Eva bisa melenyapkan ketidaktenanganku itu. Mungkin.
Eva baru menyelesaikan makan setengah mangkuknya ketika ia tiba-tiba membuka resleting tas bahunya kemudian mengaduk isinya. Dari dalam tasnya, ia mengambil botol kosong bekas susu tadi pagi yang sudah kucuci sebersih mungkin. Ketika ia datang tadi, aku sedang mengeringkan botol itu sehabis dicuci dengan menaruhnya terbalik di sisi jendela. Tanpa bertanya, ia langsung menyerobot botol itu dan memasukkannya ke dalam tas ketika aku akan mengunci pintu.
"Kubawa sekarang supaya besok kau tidak perlu repot-repot meletakkannya di bawah pintu kalau mau kerja shift malam. Biar nggak tertendang hantu juga. Kosmu ini kan banyak hantunya! Hahaha, kos manusia apa kos hantu!" katanya dengan keceriaan penuh. Mungkin energi itu berasal dari keistimewaan hari ini baginya.
Dan di warung bakso, ia masih memutar-mutar botol susu itu dengan tangannya. Entah memandangi apa karena botol itu jelas hanya tetap akan jadi botol meski dipandangi berapa lama pun.
"Selesaikan makannya. Keburu dingin," hardikku.
"Mas pernah jatuh cinta?" ia justru bertanya demikian, masih dengan mengarahkan pandangan ke botol susu kosong di tangannya. Aku mengunyah makanan cepat-cepat lalu menelannya sebelum menjawab.
"Kalau pernah memang kenapa, kalau tidak pernah memang kenapa?"
"Jawab saja, ah!" katanya dengan memandangku galak. Bibirnya mengerucut lagi. Entah menguap ke mana ketenangan yang ia miliki ketika menatap botol susu itu beberapa saat yang lalu.
Aku mengaduk kuah bakso urat sembari mengaduk ingatan masa lalu mengenai apa yang biasa orang sebut sebagai ‘cinta’. Namun mau mengaduk sedalam apapun, aku tetap tidak menemukan barang satu pun yang mendekati deskripsinya.
"Memangnya jatuh cinta itu yang seperti apa?" tanyaku balik padanya. Eva menggeliat, lalu mengembalikan botol susu itu ke dalam tasnya lagi. Ia lalu mengambil sendoknya lagi dan mengaduk-aduk kuah tanpa melihat ke dalam mangkuk. Pandangannya justru menerawang jauh.
"Bagiku, mungkin perasaan ingin selalu dekat dengan seseorang hingga tidak mau pergi darinya. Semacam ingin terus berhubungan dengannya, dengan cara apapun, bahkan sampai terus terpikir mengenainya..." jawabnya kalem.
"Begitu?"
"Iya, begitu. Ada pengalaman seperti itu?" tanya Eva dengan memiringkan kepalanya ke arahku. Matanya penuh selidik. Penuh rasa ingin tahu.
Aku mendengus, memutar mata untuk menghindari pandangannya itu.
"Aku tidak mau berhubungan dengan orang apalagi sampai jadi sangat menyayanginya, sebab rasa sakit jika kelak kehilangan dia mungkin akan terasa sangat menyiksa."
Eva terdiam. Senyum di bibirnya perlahan hilang. Ia pun meneruskan makan. Mungkin perkataanku barusan justru membuat mood-nya jelek. Maka aku pun menambahkan.
"Tapi akhir-akhir ini aku sedang terus terpikirkan mengenai seseorang."
Suara kelontang sendok yang beradu permukaan mangkuk cukup mengagetkanku. Eva membelalak kepadaku.
"Siapa? Siapa orang itu? Cewek mana? Cantik? Namanya siapa?" berondongnya dengan antusias.
Aku menjawab lemah, "bukan cewek."
Eva menurunkan bahunya. Katanya dengan wajah semacam prihatin, "nggak apa. Begitu juga nggak apa-apa. Memang ada orang yang lebih menyukai–"
"Bukan, ini tidak seperti yang kamu pikirkan. Apa, ya. Karena kau terus bertanya mengenai seseorang yang membuatku kepikiran, yah, jadi aku bilang bahwa memang ada orang yang sedang membuatku kepikiran akhir-akhir ini..." aku diam sejenak, lalu menambahkan. "Atasanku di kafe."
Eva tampak mengunyah bakso telurnya dengan bersemangat. Ada perubahan raut di wajahnya. Semacam kelegaan dan antusiasme sungguhan. "Ceritakan soal dia!" pintanya. Aku menelan ludah.
"Singkat cerita, dia menemukan tulisanku yang kubuat asal-asalan di atas kertas tisu. Dia lalu memanggilku ke kantor, lalu menyuruhku menulis sesuatu..."
"Nulis soal apa?"