Dilahirkan sebagai manusia adalah kutukan. Jelas, sebab manusia adalah spesies yang paling kompleks sekaligus merepotkan.
Mereka ingin dunia damai, tapi mereka terus menciptakan perang. Kata kebanyakan dari mereka, kau harus membela sesuatu yang kau cintai, meski harus membunuh. Tapi bukankah mereka ingin damai? Kalau ingin damai, kenapa justru menciptakan permusuhan? Itulah merepotkannya manusia. Hanya mau berpikir dengan beberapa persen kapasitas otaknya. Mereka pikir, itu memang sudah kemampuan terbaiknya. Namun, bukannya jika mencoba berpikir lain akan semakin memudahkan dalam melihat kebenaran? Entahlah. Saking kompleksnya, manusia lebih banyak yang jadi bobrok ketika ia semakin tidak mampu memahami kapasitas mesinnya sendiri.
Suara itu berasal dari para malaikat laknat. Dan tanpa sempat kucegah, aku sudah menuliskannya ke dalam sebuah file words. Buru-buru aku memencet tombol delete dan menahannya lama untuk menghapus semuanya.
Akhir-akhir ini otakku sepertinya sudah berjalan ke taraf gila. Para malaikat laknat yang selalu kuhindari keberadaannya, kini justru kuikuti kata-katanya. Bagaimana tidak, hampir setiap detik kulihat kelebatan bayangan mereka melalui jendela kamar. Suara tawa mereka beradu dengan bisikan-bisikan ramai berupa kata-kata acak yang bertumpang tindih. Tanganku gatal dan ber-ruam. Aku merasa bahwa kata-kata acak itu tidak boleh diabaikan. Lalu muncul lah kalimat-kalimat yang pada akhirnya kuhapus sendiri.
Sejak kejadian di kantor Pemilik–ah, mulai saat ini aku akan menggunakan nama aslinya, Adam–ada semacam dorongan kuat untuk kembali menulis fiksi. Kurasa, kini mesinku telah bobrok sepenuhnya sebab tidak mampu memahami kapasitas mesinku sendiri. Sudah kunyatakan dalam hati sejak beberapa tahun lalu bahwa aku tidak lagi memiliki kapasitas untuk menulis fiksi. Namun, semesta sudah menolakku. Terang sekali.
Tapi kemunculan Adam yang begitu mencengangkan membuat ruam di tanganku semakin parah dari hari ke hari. Sesuatu yang bersembunyi di balik iris matanya mulai menunjukkan dirinya dan mempengaruhi sesuatu juga di dalam diriku.
Aku cuti sakit dua hari. Dan ini sudah hari keduaku. Itu artinya besok aku harus pergi ke kafe lagi. Aku mengerang, lalu bangkit dari tempat duduk untuk pergi ke kamar mandi. Selama menyusuri lorong aku menerawang jauh.
Sebenarnya aku memiliki keinginan kuat untuk berhenti dari pekerjaan. Besok aku memang berencana untuk menyerahkan surat pengunduran diri. Kafe itu sudah bukan lagi tempat aman buatku. Ruang gerakku semakin sempit. Tak lain adalah sebab kemunculan hantu masa laluku itu kembali tepat ke hadapanku.
Dua hari lalu aku bilang pada Adam untuk memikirkan tawarannya sebelum menjawab. Ia mempersilakan. Dan sampai aku keluar kantornya dan pulang, sama sekali tidak ada tanda-tanda pemaksaan darinya. Ia hanya berkata singkat, "tolong tutup pintunya sebelum keluar, ya."
Sebenarnya aku minta waktu bukannya untuk benar-benar ingin memikirkan tawarannya itu karena jawabannya jelas: tidak. Itu sebenarnya sebentuk sistem pertahanan dariku. Daripada memikirkan tawaran menulis dari Adam, aku justru sedang memikirkan caranya lepas dari dirinya lalu menata hidupku sendiri setelahnya.
Meski beberapa tahun berlalu, rasa sakit yang ditimbulkan dari karyanya yang mencontek karyaku dengan elegan itu masih tetap kurasakan–dan tidak akan pernah hilang. Beberapa tahun belakangan aku telah berhasil hidup di dunia yang kubangun sendiri tanpa terikat lagi dengan kejadian di masa silam itu. Tapi dua hari lalu... Dengan mudahnya…
Di kamar mandi aku menatap pantulan diriku sendiri dalam cermin. Dari balik cermin kusam penuh noda itu aku seperti melihat orang lain. Sosok itu, seperti biasa, tampak membelalak dengan sesuatu mencuat dari salah satu punggungnya. Aku menyipitkan mata. Setelah berulang kali bertatapan dengan sosok di balik cermin itu, aku akhirnya memahami benda apa itu. Tidak lain adalah sebuah... Sayap? Ya, ya. Sebuah sayap dengan bulu-bulu jarang-jarang dan tampak gersang... Tulang-tulang pada sayap itu kusam. Mirip sekali dengan dahan tanaman yang gersang karena kekurangan air.
Sosok itu perlahan bergerak, padahal aku diam saja. Ia mulai memiliki kontrol atas dirinya sendiri. Keringatku membanjir. Jelas sekali itu bukan pantulanku. Entah sosok apa yang ada di dalam cermin itu. Mungkinkah sesuatu yang mirip dengan para malaikat laknat di hutan jati itu?
Ia bergerak maju ke arahku. Dari pandanganku, ia seakan bersiap untuk keluar dari permukaan cermin. Matanya yang membelalak tampak semakin besar dan besar setiap kali aku melangkah mundur untuk menghindarinya. Ketika itu, tanganku menyenggol rak plastik kecil yang diletakkan di sebelah pintu masuk kamar mandi. Sebuah benda bergeser karenanya. Melihat sebuah gunting di sebelah pisau cukurku membuatku reflek menyambarnya.
Entah itu gunting milik siapa. Sepertinya baru beli karena ujungnya tampak masih tajam. Pegangannya berwarna merah. Aku memperhatikan sosokku sendiri dari pantulan ujung tajam itu. Si sosok bersayap itu seakan ikut berpindah ke sana.
Gerak motorikku membawa tanganku yang mencengkeram gunting untuk semakin mendekatkannya ke arah leherku. Aku menelan ludah, tidak memahami koordinasi gerak tubuhku sendiri. Namun secara aneh, aku seakan memang menginginkannya…
"Kalau kau memang memiliki keinginan kuat untuk mati, harusnya kau sudah mati sejak hari kekalahanmu dulu itu," ucap Malaikat dengan ringan, tanpa tendensi dan rujukan apa-apa, tapi di kepalaku, suara itu terdengar menyakitkan.
"Kau benci nada-nada optimis, tapi kau benci kekalahan. Ironis."
"D. Samsa. Penulis tukang jiplak yang muncul kembali ke publik bagai hantu di siang bolong".
"Cukup."
Aku melempar gunting ke lantai untuk membungkam suara-suara para malaikat laknat–yang setelah dipikir lagi dengan pikiran jernih, terdengar semakin mirip dengan suaraku sendiri. Benar saja, setelah aku berkata ‘cukup’ tadi, suara-suara itu tak terdengar lagi.
Lalu buru-buru aku mengambil air dan mengguyurkannya ke wajahku. Sejuknya air membuat mataku melek sempurna. Dan yang kulihat di pantulan cermin adalah wajahku sendiri yang kukenal.
Ketika aku melangkah keluar dari kamar mandi, aku berpapasan dengan Si Kutu Buku tetanggaku yang baru saja naik dari tangga memutar. Penampilannya yang keseluruhan berwarna putih tampak sangat kontras dengan pakaian serba-hitamnya.
"Dewak," panggilnya.
"Hai," jawabku. Tapi Si Kutu Buku menggeleng.
"Bukan ingin menyapamu baik-baik. Karena tadi aku dititipi pesan dari Induk Semang untuk bilang padamu agar kau segera membayar biaya kos yang katanya menunggak," katanya dengan ekspresi dingin. Kapalaku kembali berdenyut.
"Ya. Katakan padanya aku akan segera membayar," jawabku tanpa perasaan berarti. Si Kutu Buku tidak menjawab, lalu pergi mengelonyor ke kamarnya. Entah ia akan betul menyampaikan pesanku atau tidak, aku tidak tahu. Maka aku pun segera kembali ke kamar dan menutup pintu.
Dengan setengah menyeret kaki aku kembali duduk di depan laptop. Aku menyambar susu kiriman Eva lalu membuka tutupnya dan minum begitu saja. Rasanya sungguh menyegarkan.
Dari jendela kamar, aku seakan melihat kelebat bayangan para malaikat laknat. Mereka masih mengincarku. Dan akan terus begitu. Maka aku berdiri kemudian menyambar daun jendela.
"Aku benci keributan."
Dan dengan sentakan keras, aku menutup jendela itu.
Suara bip membuat perhatianku teralih. Asalnya dari laptop di atas meja kerja. Aku menunduk dan melihat tulisan notifikasi email masuk di sana. Aku kembali duduk, lalu segera membuka notifikasi tersebut.
Dari perusahaan madu Kalimantan. Kupikir mereka akan memesan jasaku lagi setelah sekian lama tidak. Namun begitu aku membuka isinya, yang hadir bukan semacam draft atau invoice atau semacamnya, melainkan deretan tulisan dengan sebaris huruf berkapital di bagian atasnya.
MOHON DIPERHATIKAN UNTUK SEGERA DIKERJAKAN LALU DIKIRIMKAN KEMBALI SEBELUM BESOK.
Keningku mengkerut. Lalu aku membaca secara cepat berderet tulisan yang terpampang di bawahnya.
Revisi yang jumlahnya begitu banyak dan tidak masuk akal, bahkan beberapa mengharuskanku menulis semuanya dari awal. Mengapa begitu tiba-tiba? Dan lagi mengapa setelah sekian bulan? Aku terkekeh. Entah sudah berapa kali aku dikecewakan oleh klien yang kebanyakan berasal dari dalam negeri. Biasanya lebih banyak pada pembayaran honor yang telat. Namun, jika ada revisi pun tidak pernah sebanyak ini. Aku segera menyambar keyboard dan mengetik balasan penolakan dengan cepat karena sangat gusar dan buru-buru mengirimkannya balik.
Tak berapa lama, sebuah balasan singkat terkirim kembali ke emailku.
"Sebenarnya bukannya Anda yang cukup bagus. Tapi tidak ada penulis konten lain yang mau dibayar semurah Anda. Jadi, jangan berbesar kepala. Sudah untung kami mau membayar. Kami tunggu revisinya. Yuk bisa yuk :)."
Aku meradang.
Dengan cepat aku membalas email itu dan mengirimkannya. Isinya singkat saja.
Bullshit.
Lalu kututup laptop begitu saja. Lalu terpekur.