Bisa dibilang, aku sama sekali tidak mau terseret arus manusia manapun. Apapun yang dilakukan orang kebanyakan, aku merasa tidak tertarik. Kadang dengan picik aku menganggap selera mayoritas itu sebagai sebuah kebodohan. Meski terdengar egois, pada beberapa kesempatan pemikiran semacam itu sungguh sangat berguna.
Maka ketika aku mencoba menulis draft dari Proyek Adam–mulai saat ini kusebut begitu–yang akan diserahkan kepada editor besok, aku coba mengenyahkan semua situasi yang mengganggu konsentrasiku. Salah satunya adalah tidak menerima ajakan makan di luar dari para karyawan kafe sepulang bekerja.
Di meja bar, malam itu aku duduk sendiri bertemankan lampu-lampu kafe yang dinyalakan dalam mode remang. Kertas yang berada di depanku penuh berisi coretan. Belum ada kata yang tertuang jelas, hanya berisi kata tak berirama dan tak bermakna yang dicoret karena tidak memuaskan.
Meski begitu, keheningan di kafe membuatku merinding.
Dalam keheningan itu, telingaku pekak. Oleh segala macam suara di muka bumi yang bisa didengar setiap manusia. Kebanyakan nadanya tinggi. Seperti menyumpah, memaki, menertawakan, meneriaki, menangisi, memarahi, menyoraki, dan semacamnya.
Aku tidak tahan dengan suara-suara semacam itu. Aku sampai heran, mengapa manusia gemar membuat suara yang tidak perlu. Sebab bagiku, menurutku, suara lembut natural dari alam yang terdengar dari dalam kesunyian adalah suara yang menenangkan. Tidak maukah mereka merasa tenang barang sekali? Entahlah.
Buku bersampul merah bikinan Adam yang kuletakkan agak jauh dariku duduk, saat itu kutatap lekat-lekat. Kedua lukisan tangan di atasnya seakan bergerak-gerak, lalu hidup dengan kesadaran sendiri untuk keluar dari permukaan itu lalu merayap dan mencekikku. Aku bergidik. Teringat mimpiku sendiri semasa SMP dahulu. Maka setelah meminjamnya kemarin dari perpustakaan daerah, aku segera menyambar kertas koran yang kutemukan di kamar lalu membungkus halaman buku itu dengan kertas itu. Meski tidak mengubah apapun, paling tidak aku merasa tenang karena tidak secara langsung menyentuh buku itu dengan tangan telanjang.
Dan ketika tidak juga menemukan inspirasi untuk menulis draft hingga detik itu, dengan putus asa aku pun membuka lipatan sampul koran yang membungkusnya sehingga aku bisa melihat lagi sampulnya yang berwarna merah darah. Dari kegiatan menatap sampul buku itu saja, secara aneh beberapa ide segar tercipta dan segera kutuliskan di atas kertas di hadapanku.
Keputusan untuk menerima proyek dari Adam yang semula hanya demi alasan keuangan, kini seperti memuat sebuah pintu baru. Pintu itu jika terbuka mungkin hanya berisi gumpalan tanaman merambat berduri yang susah ditembus kecuali dengan pedang tajam seperti dalam dongeng Puteri Tidur. Pagar tanaman berduri itu melindungi isi pintu itu dari wajah aslinya, tak lain adalah diriku sendiri yang ingin mengorek beberapa hal mengenai Adam, terutama pada bagian tergelap dirinya yang tidak pernah ia ceritakan pada orang lain, tiada bukan soal kecurangannya menjiplak karyaku di masa lampau.
Aku ingin tahu, apakah ia merasa senang atau susah sudah melakukan kecurangan itu. Atau apakah ia bekerja sendiri atau berkomplot dengan orang lain untuk menjalankan kecurangannya itu.
Sekuens di mana aku diterima bekerja di kafenya, lalu soal tulisan di tisu dan pembicaraan langsung di kantor dengannya dulu itu tentunya tidak mungkin tidak berarti apa-apa.
Mungkin itu semacam pintu keluar untukku dari berbagai pintu ilusi yang membawaku pada kegelapan tak berujung.
Dan mulai dari draft inilah aku berusaha membalikkan keadaan, kali ini dengan mencontek pola pikirnya. Ia berkata bahwa yang di tengah-tengah adalah indah. Maka aku pun berdamai dengan diriku sendiri dan memilih jalan tengah dengan menjadikan buku itu akhirnya justru menjadi semacam pedoman–kalau tidak mau dikatakan sebagai kitab–untukku memahami pola pikirnya hingga akhirnya membuatku bisa menulis hal yang ia ingin aku tulis. Dengan begitu, kesempatanku untuk 'membalas dendam' padanya semakin terbuka lebar.
Ah, aku tidak bisa menyebut tindakanku ini semata-mata sebagai balas dendam. Namun, mungkin tindakan ini mirip seperti itu. Meski mau bagaimanapun tindakanku ini dikategorikan sebagai pembalasan dendam, aku bersikeras menolaknya. Sebab faktanya hanya satu: aku telah menerima proyek itu, dan mengerjakan semuanya dengan tekun menggunakan seluruh inderaku. Dendam hanya bisa disebut dendam jika ia pada akhirnya membunuh sesuatu, bukannya melahirkan sesuatu. Dan dalam kasusku, itu adalah kategori kedua.
Dengan mencontek pola pikirnya itu, kuyakin akan membuatku bisa melahirkan sesuatu yang terlihat sangat dia. Dengan melahirkan sesuatu yang lebih bagus daripadanya, kurasa itu yang bisa benar-benar kukatakan sebagai balas dendam yang sesungguhnya.
Begitu pikirku saat itu. Dan di masa depan, aku betul-betul menyesal telah berpikir seperti itu.
Dalam keheningan kafe saat itu, mataku tertumbuk pada layar monitor yang tersembunyi di bawah laci meja bar. Layar itu terbagi menjadi empat, menunjukkan beberapa gambar video dalam mode infra merah.
Aku mengawasi layar CCTV itu dengan saksama. Namun meski aku melakukan hal yang sama setiap hari pun, pemandangan yang terpampang tak juga berbeda. Hanya stagnan saja, dengan sosok-sosok panjang dan geometris bangunan yang selalu kukuh berdiri serta para pelanggan yang berlalu ke sana kemari.
Yang paling menarik perhatianku adalah kamera yang menyorot langsung ke bagian halaman belakang kafe. Itu adalah titik di mana Adam dulu (katanya) pernah melihat makhluk dari Kota Gaib yang tinggal di hutan jati. Kamera itu menyorot lurus pada kebun bunga dan semak-semak di sebelahnya yang menyambung lurus pada kegelapan di tengah hutan jati.
Sampai saat ini semak itu terus anteng, dan akan bergerak hanya jika tertiup angin. Dari hati terdalam, sebenarnya aku ingin sekali saja melihat pergerakan dari hutan jati atau minimal dari semak-semak itu.
Meski aku takut jika hal yang kuinginkan itu betul-betul terjadi, aku terus menginginkan hal itu terjadi. Jantungku berdegup kencang membayangkan jika pada suatu hari, siluet semak-semak dalam layar itu menyibak. Lalu dari kedalamannya, muncul sesosok apapun, yang menjadi biang keladi bergeraknya semak itu. Lalu sosok itu akan semakin timbul ke permukaan, memantul jelas dalam layar hitam/putih, menampakkan sesuatu yang ganjil, absurd dan aneh–kalau bisa, seganjil mungkin, seabstrak mungkin. Akan lebih baik kalau sosok itu lalu melihat balik ke arah kamera lalu melambai seakan tahu kalau sedang diawasi…
"Hei, Bung."
Sebuah suara dari belakang konter bar beserta hentakan tangan di bahuku membuatku terlonjak. Si Barista yang datang dengan jaket kulit hitamnya melihatku dengan pandangan aneh.
"Kaget," rintihku.
Ia mendengus dengan hidungnya lalu menghembuskan asap rokok dari mulutnya. Sebenarnya rokok dilarang di dalam gedung utama, tapi aku tidak punya hak untuk melarangnya melakukan itu di saat kami hanya berdua di gedung yang sudah sepi di malam hari.
Tanpa kuduga, ia melirik kertasku yang saat itu sudah berisi coretan draft yang nyaris rampung. Buru-buru kusambar kertas itu dan memasukkannya ke dalam tas. Si Barista tampak tertarik dengan tindakanku itu–karena ia terus mengamati gerak-gerikku–tapi tak berkata apapun selain menggeser pantatnya ke kursi pengawas CCTV yang semula kududuki.
"Shift-mu sudah lama selesai. Pulanglah," katanya datar.
"Oke. Thanks," jawabku pendek lalu memakai tas ransel dan beringsut meninggalkan bar.
"Hei," panggil Sang Barista kemudian. Aku menengok kepadanya. Ia melanjutkan kalimatnya. "Apa kamu tidak penasaran dengan warna auramu?"
Aku menggigit bibir. Aku bahkan lupa kalau Si Barista mempunyai kemampuan membaca aura. Oleh sebab banyak kejadian, hal magis seperti itu pun terlupakan. Sekarang rasanya tak terlalu penting. Atau memang tidak penting? Lantas, kurasa tidak ada artinya mengetahui hal itu.
"Ya. Aku penasaran," jawabku kemudian, berkebalikan dari perkataan dalam hatiku.
Ia lalu merogoh saku celana jinsnya dan mengeluarkan sebuah benda bulat dari sana.
"Cermin?" tanyaku terhadap benda itu. Ia mengangguk.
"Iya. Seperti ini. Aku bahkan tak bisa mendesrkripsikan warna aslinya,” jawab Si Barista sembari memasukkan lagi cermin itu ke dalam saku celananya,
"..."
"Aura kamu tidak berwarna. Sejelas cermin, sebening kristal. Tapi siapa yang tahu warna asli cermin dan kristal?"
Alisku menekuk. "Itu warna langka?" tanyaku pada Si Barista yang telah duduk di depan layar yang masih menayangkan tangkapan CCTV.
"Bisa keduanya. Kalau misal dalam konteks berapa banyak yang beraura begitu, iya, termasuk langka. Tapi kalau apakah warna yang terkandung di sana langka, kurasa tidak. Ada terlalu banyak kemungkinan warna yang bisa dibuat di sana. Itu artinya warna kristal itu justru dasar dari semua warna. Tidak langka," jelasnya cepat dengan suara tertahan karena tangannya yang menopang dagu agak menutupi mulutnya. Aku bisa mendengar nada kesal dalam penjelasannya itu, entah mengapa.
Aku pun coba mengelak. "Tapi kalau soal warna macam-macam, bukannya yang beraura rainbow justru lebih tepat disebut sebagai warna dasar?"
"Tidak," jawabnya cepat. Lalu menurunkan tangannya sebelum bicara. "Warna kombinasi mejikuhibiniu itu jelas adalah warna mereka, beda dengan kristal yang cuma proyeksi dari warna random di sekitarnya. Sudah jelas?"
Aku mengkerut. Heran karena dia tampak betulan marah karena didebat begitu saja. Sepertinya aku bisa melihat manifestasi dari tingkat respeknya pada seseorang yang begitu besar–hingga nyaris tidak sehat kalau diteruskan seperti itu.
"Oke. Jelas. Kalau gitu, aku pulang. Sudah terlalu larut." Dan aku pun keluar dari gedung kafe tanpa mendapat sambutan perkataan apapun dari Si Barista.
Sampai di kamar kos, aku segera menggosok gigi dan cuci muka, lalu memindahkan kelanjutan draft yang sedari tadi sudah bercokol di dalam kepala ke dalam laptop. Percakapanku dengan Si Barista mengenai aura tadi membuahkan ide baru bagiku. Aku pun menulis tentang bagaimana seorang manusia melihat warna aura lain di atas kepala salah satu penduduk Kota Gaib yang biasanya harus berwarna rainbow. Lalu hal itu menjadi sebuah konflik ketika sebuah kebenaran terungkap... Pokoknya seperti itu. Dan begitu kurampungkan draft itu, jam sudah menunjukkan pukul satu dini hari. Meski lelah, kelegaan menyelimutiku. Sebabnya adalah draft yang sudah kurampungkan dengan meyakinkan. Dengan begini, aku menduga bahwa para editor pun tidak perlu berusaha keras merombaknya karena ini, apa ya, menurutku sudah mendekati sempurna. Bisa dibilang, rasa puasku nyaris mendekati rasa ketika aku berhasil menyelesaikan novel pertamaku semasa SMP dahulu itu.
Lalu semalaman, aku tidur nyenyak sekali hingga alarm dari ponselku berbunyi menandakan waktu sudah mencapai pukul sembilan lagi. Masih tersisa satu setengah jam untuk melakukan perjalanan menemui sang editor di kantornya hari ini.
Aku baru teringat bahwa aku tidak punya pakaian layak untuk dibawa pergi memasuki gedung perkantoran yang cukup elit di tengah kota. Maka, aku mengetuk pintu kamar Si Kutu Buku untuk meminjam pakaiannya. Namun, setelah lima menit terus mengetuk pintunya, aku sadar pintu kamarnya tidak akan membuka. Entah karena dia belum pulang, atau memang tidak berniat membukanya, atau dia mati, aku tidak tahu. Karena waktu pertemuan yang semakin mepet, aku segera berganti pakaian dengan kaus putih baru dan jaket jins biru seadanya lalu memakainya dikombinasikan dengan sepatu kets putih butut. Itulah penampilan terbaik yang bisa kutampilkan hari itu.