Hari-hari berikutnya diisi dengan kegiatan menulis tiada henti. Aku belum mendapat jawaban atas kepastian draft yang kutulis, tapi kata Sang Editor aku boleh memulai bab pertamanya dulu. Sebuah sistem kerja yang cukup aneh.
Aku menulis setiap selesai shift bekerja. Kali ini, aku menulis mulai subuh setelah pulang dari shift malam dan berbenah-benah sedikit. Untuk ukuran orang yang sudah lama tidak menulis fiksi, otakku bisa dibilang cukup masih bisa diajak bekerjasama. Dan subuh adalah waktu terbaik bagiku untuk memaksimalkan potensi otak. Namun, di saat orang-orang sudah mulai bangun, suara-suara yang mulai bermunculan membuatku agak terganggu.
Suara itu datang dari sana sini. Bersahut-sahutan bagai induk sapi yang kehilangan anaknya. Aku tidak bisa memahami mengapa manusia gemar berteriak-teriak dan membuat keributan. Tanpa mereka sadari, ada jenis manusia lain yang lebih suka mendengarkan hening. Sebab bagi manusia jenis itu, hening adalah sumber dari segala bebunyian terindah di dunia. Alami dan menyejukkan.
Dan suara ketukan halus di pintuku membuat perhatianku teralih. Aku tahu siapa yang mengetuk pintu pagi-pagi buta begini. Bukan hanya karena sudah menjadi kebiasaan baginya untuk mengetuk pintu kamarku pada rentang waktu yang selalu sama setiap harinya, melainkan juga karena suara yang ia hasilkan dari ketukan pintu itu sama sekali tidak menyakitkan telinga–berbeda dengan suara-suara melengking di subuh hari itu.
"Masuk saja, tidak dikunci," sahutku masih dengan mengetuk-ketukkan jari dengan cepat ke atas keyboard laptop.
Suara gemertak ketika pintu terbuka terdengar halus. Saat itu aku bisa mendengar suara langkah kaki seseorang yang memasuki kamarku.
"Letakkan saja botolnya di tempat biasa. Botol yang kemarin juga di tempat yang sama," kataku masih tanpa menoleh. Sepertinya makin hari suaraku makin mirip robot karena mengulang-ulang perkataan yang sama dan masih tanpa menoleh pada sumber suara. Biasanya setelah ini akan ada suara denting botol yang diletakkan dan diambil lalu suara pintu tertutup, tapi kali ini tidak ada suara apa-apa. Hening saja.
Karena tidak kunjung muncul kebiasaan itu, aku pun menoleh ke belakang. Kujumpai Eva yang hanya berdiri mematung dengan wajah masam. Seingatku ini masih hari Rabu, tapi ia tidak mengenakan seragam putih abunya, melainkan memakai pakaian bebas biasa.
Aku dan Eva masih sama-sama tidak bicara. Wajahnya tampak semakin masam saja. Kalau dipikir-pikir, sejak menerima pekerjaan Adam, aku memang jarang sekali bicara dengannya. Bahkan kini aku tidak bisa menemuinya secara langsung. Hanya mengatakan hal yang sama berulang-ulang bahkan tanpa menoleh ke belakang. Mungkin dalam pandangan Eva, setiap hari ia tidak dianggap manusia betulan olehku karena hanya diajak bicara oleh punggungku. Maka aku merasa wajar jika ia kesal.
"Tidak sekolah? Atau sekarang lagi hari libur apa, sih?" tanyaku sekadar berbasa-basi agar setidaknya ia tidak pulang dengan wajah menua karena terus-menerus menekuk alis begitu. Namun, wajahnya tidak berubah sama sekali.
"Kan sudah kuberitahu kalau aku sudah lulus kemarin!" ujarnya justru tambah menekuk alisnya.
Aku terkesiap. Betapa abainya aku akhir-akhir ini hingga tidak ingat kalau Eva pernah bercerita padaku soal itu. Entah kapan itu. Melihat dari reaksinya, sepertinya aku sudah melakukan kesalahan yang menyakitkan hatinya.
Aku bangkit berdiri kemudian berjalan mendekatinya yang masih menekuk alis di ambang pintu. Berniat minta maaf–walau aku tidak tahu kalimat apa yang sebaiknya kuberikan padanya.
Namun, ketika jarakku dengannya hanya terpaut setengah langkah saja, tiba-tiba ia mendorongku menjauh. Tenaganya cukup kuat juga, untung aku tidak sampai terjengkang karenanya.
"Kenapa sih kamu nggak mati saja sebelum bertemu denganku?!" katanya tiba-tiba sambil berteriak cukup kencang. Namun bukannya mengkhawatirkan kalau-kalau ada yang dengar teriakannya, aku justru mengkhawatirkan maksud kalimatnya yang memintaku untuk segera mati.
"Eva... Maaf, aku–"
Aku tidak mampu meneruskan kalimatku sebab kalimat Eva barusan mengingatkan pada sebuah sekuens yang pernah terjadi di masa lalu: bahwa setelah kejadian dengan Adam ketika masih SMP dulu, aku memang sempat berniat bunuh diri.
Saat itu sore hari sepulang kegiatan pramuka. Aku berjalan tersaruk-saruk setelah seharian diketawai orang-orang karena–apa lagi kalau bukan karena novel ‘plagiat’-ku. Perjalanan pulangku selalu melewati jembatan di atas sungai berbatu. Tingginya sepuluh meter. Aku menatap kosong sungai yang sedang agak surut. Kurasa sungai semacam itu lebih menguntungkan untuk orang yang akan bunuh diri sebab kesempatan untuk mati karena kepala terantuk batu akan lebih besar daripada mati karena tenggelam terseret arus. Aku sudah akan melangkahkan kaki melewati pagar pendek pembatas jembatan ketika tiba-tiba dari kejauhan kulihat Lik No pedagang siomay mendekat dengan motor bututnya. Ketika ia melewatiku, ia tersenyum menyapaku. Dan aroma siomay dari dandangnya yang masih penuh dengan gerendil-gerendil pati dan daging membuat perutku lapar. Aku tidak jadi bunuh diri, dan justru memanggil Lik No untuk berhenti lalu membeli siomaynya seharga seluruh uang sakuku hari itu. Esoknya, aku mencret karena terlalu banyak membubuhkan sambal pada siomay penyelamat nyawa itu.
Kembali lagi pada Eva, ia masih tidak mau mengangkat kepalanya menatapku. Aku bisa melihat ubun-ubunnya karena tubuhnya yang mungil. Rambutnya sangat lebat hingga kuncir pita putihnya tampak harus bekerja keras menahan gumpalan rambut itu agar tidak ambyar ke mana-mana.
Aku kini bisa memastikan kalau rupanya gadis pengantar susu berambut tebal ini begitu benci kepadaku sampai-sampai ingin melihatku mati.
"Kamu membenciku?" tanyaku padanya, sekadar memastikan. Aku tidak memahami pikiran gadis remaja itu. Kalau ia memang sebegitunya benci padaku, kenapa harus repot membawakan susu setiap hari sampai ke atas sini? Apakah sikap seorang gadis terhadap rasa jijiknya memang seperti itu?
"..." Eva menggumamkan sesuatu, tapi aku tidak bisa menangkap jelas perkataannya.
"Apa? Kamu ngomong apa?"
Ia mengangkat kepala dengan cepat. Rupanya matanya memerah dengan genangan air di pelupuknya.
"Kubilang. Aku justru suka sama kamu!"
Oh. Mungkin dia salah bicara.
"Hahaha. Masa?" begitu jawabku justru. Jawaban yang seperti orang gila.
Ia menjawab dengan matanya yang semakin penuh air. Dan wajahnya memerah sekali. Aku menelan ludah. Ekspresi seperti itu bukan milik seseorang yang sedang berbohong.
"Oke... Nah, kenapa kau suka padaku padahal aku tidak memiliki kualitas untuk dicintai? Aku kan miskin, aneh, dan sama sekali tidak ganteng?" tanyaku secara aneh.
Eva menggeram. "Buatku kamu keren banget. Itu hal yang tidak kamu sadari dari dulu. Memang benar mukamu biasa-biasa saja, tapi kamu tidak jelek. Tidak ganteng bukan berarti tidak bisa keren. Kamu keren dengan cara yang aneh. Misterius dan mencengangkan. Seperti veteran perang yang punya masa lalu kelam sebagai seorang pahlawan, tapi harus menyembunyikannya di balik kostum gelandangan agar terhindar dari musuh-musuh di masa lalu yang akan membalas dendam. Semacam itu. Entah bagaimana kalau orang lain, tapi aku selalu menilai segala tindakanmu itu keren. Memang gerak-gerikmu selalu tampak malas, pandangan matamu juga selalu tampak lelah... Tapi aku selalu terpesona oleh jari-jari panjangmu yang selalu bergerak aktif ketika sedang diam berkonsentrasi entah menopangkan dagu atau membelai rambut. Caramu melirik tajam dengan matamu yang berkantung itu juga tidak pernah bisa kuabaikan. Pokoknya, jangan pernah mengabaikan aku. Aku takut–"
"Tapi kamu pintar dan cantik."
"Tapi kamu juga tinggi! Dan bahumu lebar..."
"Seratus tujuh puluh lima senti tidaklah terlalu tinggi buat ukuran laki-laki zaman sekarang. Membandingkan fisikku yang memang bikinku menarik di matamu sama sekali tidak sebanding dengan apa yang kau akan dapatkan dariku, Eva..." aku menggigit bibir bawah sebelum melanjutkan. "Tapi kamu sendiri tidak ada kekurangan. Pintar dan cantik. Dan baik. Dan periang. Tidak bisa disandingkan denganku yang... Niche."
Wajah Eva yang semula sendu menjadi seperti terselubung amarah. Ia menautkan alisnya dalam-dalam. Dan ia melangkah maju mendekatiku–membuatku otomatis mundur ke belakang.
"Apanya yang cantik? Ini? Bagaimana dengan luka ini? Segaris panjang yang membuat hari-hariku diisi dengan lirikan penuh selidik, raut kasihan, atau wajah menahan tawa dari orang-orang!" gertaknya sembari menarik turun syal biru mudanya hingga wajahnya tampak seluruhnya. Garis lukanya yang melintang hari ini tampak semakin samar dari kulit wajahnya yang lain.
Aku menghela nafas. "Tapi menurutku luka itu bukan soal. Kamu masih tetap cantik meski dengan atau tanpa luka."
"Itulah. Itulah, Mas. Itulah kenapa aku jadi suka sama kamu..." Eva dengan cepat menjawab perkataanku. Matanya kembali melunak. Lalu ia melanjutkan kalimatnya dengan nada miris. "Karena kamu satu-satunya orang di dunia ini yang nggak ambil pusing dengan bekas luka di wajahku!"