Metamorfosa Dewa

A. Pradipta
Chapter #12

12. Turtle Neck

Di pojok lobi hotel bintang lima itu, aku memperhatikan dua unsur paling kental yang bisa ditemukan di tempat semacam itu: kerumunan dan omong kosong.

Orang memang datang satu-satu. Hampir semuanya memakai pakaian bagus. Hampir semuanya juga dilayani dengan begitu ramah oleh petugas hotel. Namun, satu-satu itu lalu menjadi banyak dan berkumpul jadi sebuah kelompok. Mereka terus saja tertawa selama berkumpul dan berjalan bersama menuju ballroom hotel, entah mentertawakan apa.

Seharusnya itu bukan hal yang memuakkan. Manusia memang didesain untuk berkumpul kadang-kadang. Namun seberapapun aku berusaha untuk memahami kesenangan dari kumpul-kumpul, aku tetap tidak bisa memahaminya. Bisa dibilang aku memiliki paranoia terhadap banyak hal dan yang paling parah adalah kumpulan sosial. Entah sejak kapan hal itu terjadi. Mungkin sejak peristiwa dengan Adam ketika aku berusia lima belas tahun dulu itu, sebab beberapa tahun setelah kejadian itu, aku selalu memakai kacamata ke mana-mana–bukan juga kacamata minus–sebab aku tidak pernah bisa menatap langsung ke mata orang lain ketika diajak bicara. Entah kapan kecenderungan aneh itu hilang–eh, bukannya seratus persen hilang, melainkan hanya berkurang. Sampai saat ini pun, aku masih belum bisa terlalu lama menatap lawan bicara. Seakan aku selalu dibuat khawatir jangan-jangan ketika bicara, lawan bicaraku bisa melihat dari balik kulitku akan muncul kulit berwarna hijau dan bersisik yang membuatnya merasa jijik dan menyesal sudah berhadapan denganku.

Jadilah aku yang sekarang. Berkebalikan dari suasana yang begitu ceria jauh di sana, aku termenung sendirian di pojok lobi sembari mencengkeram ponsel, berharap segera ada pesan masuk dari Si Editor bahwa ia telah sampai. Aku diwanti-wanti oleh Si Editor untuk menunggunya di lobi. Dilarang masuk ke ballroom sendirian tanpanya.

Aku menyisir ke belakang salah satu sisi rambutku dengan tangan. Masih agak basah setelah keramas. Diam-diam aku mengendus jas warna khaki terang yang sedang kupakai. Dari awal kuambil dari almari Si Kutu Buku, jas ini memang sudah wangi. Namun, aku tetap menyemprotkan banyak parfum ke sekujur tubuh. Meski pemalas, aku selalu memastikan bahwa tubuh dan kamarku selalu bersih. Hanya sekadar tindakan pencegahan agar tidak mudah tertular penyakit, sebab siapa saja tahu kalau biaya berobat sekarang ini sangatlah mahal. Aku tidak mau membuang uang untuk sesuatu yang seharusnya bisa kucegah.

Di antara gerombolan orang, dari pintu masuk hotel yang amat besar dan mencengangkan, aku melihat sosok pria cepak tinggi besar sekonyong-konyong berjalan masuk. Si Editor datang dengan langkah lebar menuju ke tempatku berada. Ia memakai jas abu-abu kebiruan beserta pantalon dengan warna sama, dipadukan dengan kemeja warna putih diambah aksen selendang leher warna biru tua. Tampak rapi sehingga kelihatan agak lebih muda dari dirinya yang kutemui dulu.

"Ya Dewa! Kenapa kau pakai kaus dan sepatu butut itu lagi?" Si Editor memekik tertahan begitu berhadapan denganku. Suaranya mirip sapi jagal.

"Kan di pesan Mas cuma bilang kalau saya tidak boleh pakai celana dan jaket jins. Lagipula, sepatu dan kaus ini tidak butut-butut amat," jawabku membela diri.

Si Editor mendelik lalu berkacak pinggang. "Sudah pintar menjawab kamu, ya. Ampun, deh. Tapi sudah untung kau pakai jas dan parfum. Ngomong-ngomong, kamu sebenarnya kayak orang beda kalau mau agak dandan. Entah, ya. Kok makin dilihat makin mirip Adam."

"Hah?"

"Lupakan. Ayo kita masuk duluan. Adam akan datang belakangan," ia berkata sembari mendorong punggungku dan memaksaku berjalan. Aku mengekorinya bagai anak itik membuntuti induknya. Hal itu sebenarnya cukup membuatku lega sebab aku tidak mungkin bisa melewati berbagai hal hingga sampai ke ballroom hotel sebesar dan semewah ini jika tanpa dia. Selama mengekorinya, aku tidak berbuat apa-apa, hanya diam ketika Si Editor naik ke lantai melalui lift sambil sesekali menyapa seseorang entah siapa–kenalannya banyak sekali–lalu mendaftarkan diri di buku tamu sesampainya di depan ballroom.

Aku meliriknya yang tengah mengisi namanya sendiri. Kukira ia akan menuliskan namaku juga, tapi rupanya ia hanya menulis di kolom keterangan untukku, 'asisten', begitu.

Ia meletakkan pulpen dan berkata singkat, "tulis sendiri namamu." Aku pun mengambil puplen yang ia tinggalkan lalu mulai menulis namaku sendiri di buku tamu. Namun, aku agak tercekat. Siapa namaku? Bagaimana aku harus menulis namaku?

"Cepat, keburu mulai," pekik Si Editor dari daun pintu. Aku melirik rombongan yang datang di belakangku untuk antre mengisi buku tamu. Semuanya berisik dan tertawa-tawa. Kepalaku pusing. Lalu dengan kecepatan penuh aku menuliskan namaku di kolom kosong di bawah nama Sang Editor.

D. Samsa.

Aku terkejut oleh tindakanku sendiri. Namun, tulisan itu sudah tidak dapat dihapus lagi, sebab justru akan aneh jika mencoretnya. Ditambah lagi Si Editor yang terus mendelik ke arahku. Maka aku biarkan nama itu, nama yang sudah lama tak pernah kudengar atau kutulis itu, tetap berada di buku tamu itu.

D. Samsa.

Aku pun melangkah masuk ke dalam ballroom mengikuti Si Editor.

Ruangan itu seperti dunia surreal. Aku sampai heran, bisa-bisanya ada dunia semacam itu ada di tengah kota yang telah kukenal sejak lahir. Seakan seperti masuk ke kota di dimensi lain.

Ruangan itu melingkar dan memiliki atap yang sangat tinggi. Ada sekitar dua lantai lagi di atasnya yang mengelilingi penjuru ruang bagai dek. Ruangan itu beraksen cokelat dan putih yang tidak norak dan saling berkomplemen satu sama lain. Pencahayaannya pun tidak berlebihan. Menerangi bagian-bagian yang penting saja. Namun di balik estetika ruang ballroom itu, aku terusik oleh satu pintu yang terletak di sisi kanan. Sepertinya pintu keluar karena terdapat seorang penjaga pintu yang berdiri sedia. Secara aneh, bentuk pintu itu berbeda dengan pintu-pintu lainnya. Hanya satu pintu itu saja yang memiliki bentuk bagian atas yang agak melengkung alih-alih persegi panjang sempurna. Dan satu hal yang paling mencolok, aksen kayu kusennya berwarna merah terang. Entah pintu itu memang dari dulu ada di situ atau hanya disediakan untuk acara-acara tertentu semacam ini saja.

Tak lama setelah aku mengamatinya, pergerakan terjadi di depan pintu itu. Seorang petugas yang semula diam bagai patung di depannya, lalu bergerak untuk membuka pintu merah melengkung itu. Dari dalam (atau luar?) ambang pintu yang tak kutahu apa isinya sebab begitu gelap gulita, seseorang masuk diikuti beberapa orang lainnya.

Dan yang terdepan adalah Adam, dengan rambut yang kini diikat lalu digulung ke belakang dengan beberapa helai menjuntai di dahinya. Di belakangnya, seorang wanita cantik tapi terlihat agak menor dan seorang pria kurus berkacamata yang sama sekali tidak memiliki aura menarik, mengekorinya.

Begitu masuk, ia menyalami banyak sekali individu yang merangsek untuk berebut bersalaman dengannya. Dan lagi-lagi, mereka tertawa-tawa. Aku menyaksikan kedatangan Adam dari pintu aneh itu dari pojok ruang. Kudengar beberapa kali Si Editor mengatakan kalimat pujian untuk Adam dengan suara mendesis, tapi aku tidak bisa ikut mengagumi sosok itu. Memang aku segan padanya, tetapi bukan berarti aku kagum. Hanya merasa lebih baik tidak banyak berhubungan dengan orang itu–yang sialnya, justru kulakukan dengan sadar.

Adam dan rombongannya berjalan ke arah panggung sembari tersenyum bersamaan dengan pembawa acara yang mulai membuka acara. Ia pun dipersilakan untuk naik dan memberikan beberapa kalimat sambutan. Dan tepuk tangan membahana memenuhi seluruh penjuru ruangan.

Adam bicara dengan suara bariton yang membahana, tetapi secara aneh menenangkan. Semua mata tertuju padanya dan menyimak pidatonya dengan saksama, tapi aku tidak termasuk. Justru sibuk memilih minuman yang disajikan oleh pelayan–yang pada akhirnya tidak jadi kuambil karena hampir semua mengandung alkohol dan aku memang tidak minum alkohol meski sedikit–sehingga aku tidak bisa mendengar jelas pidato Adam. Dan pada saat aku mulai menyimak, kira-kira begini yang sedang ia sampaikan.

"Dan saya terus berharap, perusahaan penerbitan milik kita sendiri ini akan menjadi batu pijakan bagi semua orang yang terlibat di dunia sastra, untuk bisa membuka dunia baru dan menjangkau segala unsur baru dalam kehidupan, untuk nantinya ikut dilibatkan dalam pengembangan dunia sastra. Sebab sastra sebenarnya tidak boleh dimiliki oleh segelintir golongan saja, melainkan untuk semua umat semesta."

Dan tepuk tangan bergemuruh.

Perusahaan penerbitan sendiri…

"Perusahaan sekaligus agen penulis juga. Ia berencana nantinya akan menjadikan perusahaannya itu semacam talent agent untuk menerbitkan novel-novel baru. Yah, semacam kaderisasi untuk generasi baru penulis sastra Indonesia. Supaya nanti yang bisa masuk dunia sastra nggak cuma orang itu-itu saja. Hehe. Keren, ya," Si Editor menjelaskan padaku bagai perpanjangan mulut Adam. Aku menggigit bibir.

Oh, ya. Dan nantinya akan ada banyak penulis baru yang menjadi ghost writter-nya sehingga namanya semakin moncer saja dengan produktivitas palsunya.

Aku berniat mengatakan hal itu untuk menimpali Si Editor, untung saja bisa kutahan.

Lalu suara tepukan tangan berhenti. Si Editor terus saja tertawa sembari meminum sedikit-sedikit minuman berwarna merahnya, lalu kadang-kadang menyapa siapapun yang bertatapan mata dengannya. Aku semakin mengabur. Mungkin kalau dibiarkan lama-lama aku bisa mengublim sepenuhnya bagai kapur barus.

Dari kejauhan, kulihat gerombolan menyibak, bagai Laut Mati yang dibelah Nuh. Dari tengah laut yang menyibak, Adam mendekat ke arahku dan Si Editor berada. Lalu kerumunan di belakangnya mulai bergerak sendiri-sendiri, sementara Si Editor tampak sangat sumringah, seperti pengantin baru yang menyambut pasangannya pulang ke rumah setelah bekerja.

Adam membetulkan sedikit sweater model turtle neck merah yang ia pakai di bawah jas hitam kelam sebelum mengarahkan pandangannya padaku.

Apa dia tidak kepanasan memakai pakaian begitu di iklim sepanas ini?

Aku menatapnya lalu mengangguk dengan membubuhkan senyum sedikit kepadanya. Meski hanya melakukan hal itu, Adam biasanya akan balas tersenyum lebar lalu mengatakan hal-hal sopan. Namun, saat itu ia tidak begitu.

Setelah melirikku sedikit tanpa ekspresi, ia mengalihkan pandangan dengan cepat, lalu tersenyum pada Si Editor sebelum kemudian melambaikan tangan padanya ketika berlalu pergi.

"Harus melakukan sesuatu dulu," katanya dengan suara pelan. Lalu hilanglah ia ke luar melalui pintu masuk. Aku menelan ludah.

Apakah tadi dia berpura-pura tidak kenal padaku, ataukah ia betul-betul tidak mengenaliku? Sebab gerak-gerik dan pandangan matanya menyiratkan kalau ia sama sekali tidak mengenalku. Hanya seperti seseorang yang kebetulan bertemu pandang dengan orang lain ketika melihat-lihat dagangan di pasar. Sampai ia menghilang dari ruang, jawabannya tidak kunjung dapat kutemukan. Perilakunya yang sangat ganjil itu membuatku kepikiran sampai berhari-hari kemudian.

Kemungkinan besar Adam merasa malu karena aku berpenampilan kurang rapi menurut standarnya, jadi ia pura-pura tidak mengenalku. Namun, ketika kuingat bahwa dalam email ia berkata bahwa aku boleh datang sebagai asistennya dengan mengenakan pakaian bebas asal sopan, aku merasa tindakannya barusan sangat aneh. Apalagi jika dihubungkan dengan perilakunya setelah itu.

Dua orang–perempuan menor dan lelaki tidak menarik–yang sedari masuk mengekori Adam, kini berada di tengah lingkaranku dan Si Editor. Tampaknya mereka bertiga sudah saling kenal, tetapi tidak terlalu dekat. Entah karena jarang bertemu atau karena Si Editor punya sentimen tertentu terhadap kedua orang tersebut–tampak dari gerak-geriknya yang sangat canggung secara tiba-tiba.

"Anak siapa ini? Seperti baru datang dengan mesin waktu dari zaman retro. Penyanyi City Pop?" tanya Sang Perempuan Menor setengah tertawa seperti meledek. Aku tidak menjawab, hanya menunduk-nunduk semata untuk menghindari terlalu lama bertatapan dengannya. Karena kalimatnya tak berbalas apa-apa, ia memiringkan kepala dengan memperhatikanku saksama kemudian berkata lagi dengan nada suara dibuat-buat. "Tapi, hei, kalau dilihat-lihat lagi manis juga, ya. Tinggi pula. Nanti sepulang dari sini mau ikut pergi denganku dulu ke suatu tempat?"

Si Editor mengangkat tangannya ke depan hidung seperti sedang meminta maaf. "Maaf. Sorry. Dia harus segera pulang. Ada deadline yang harus dia selesaikan," katanya sembari matanya menyipit-nyipit ke arah perempuan itu.

Lihat selengkapnya