Pagi ini aku terlambat bangun. Susu kiriman Eva sudah terletak di depan pintu kamarku. Sejak kejadian beberapa hari lalu, ia memang tidak pernah lagi mengetuk pintu kamarku ketika mengantarkan susu. Aku pun selalu tidak menyadari kehadirannya di depan pintu. Setiap keluar kamar untuk melakukan sesuatu, aku selalu menemukan sebotol susu yang telah teronggok di depan pintu. Tampaknya gadis itu sudah sebegitu kesalnya padaku sampai tidak sudi bahkan sekadar berpapasan denganku.
Maka di sela-sela pekerjaan hari itu, aku menyempatkan diri pergi ke rumah Eva untuk mengajaknya bertemu di suatu tempat. Sekadar untuk minta maaf dan membelikannya buku, lalu bilang padanya kalau aku akan berhenti berlangganan susu.
Namun, Eva tak ada di rumah. Hanya ada ibunya yang kemudian kutitipkan pesan agar Eva nanti siang menemuiku di sebuah tempat. Ibu Eva tersenyum padaku dan berkata kalau kemungkinan ia akan pulang tak lama lagi. Namun, rupanya aku yang merasa enggan bertemu dengannya. Sikap pengecutku membuatku tidak bisa menemuinya bahkan saat aku telah betulan ada di ambang pintu rumahnya. Aku tidak punya nomor ponselnya, maka aku meminta tolong sekali lagi pada ibunya untuk menyampaikan pesanku. Ibunya itu lalu malah menawariku menelepon gadis itu memakai ponselnya. Aku menolaknya. Lagi-lagi sifat pengecutku menghalangiku untuk bicara langsung dengan gadis itu. Ibu Eva lalu menyanggupi untuk memberikan pesanku padanya. Ia tampak berusaha keras menahan tawa entah oleh sebab apa. Aku tidak bertanya padanya. Di akhir kunjunganku, ia bahkan berkata kalau memang lebih baik aku menghiburnya langsung sebab katanya beberapa hari ini Eva tampak sangat murung. Aku tambah merasa bersalah.
Dan siang itu sebelum berangkat kerja ke kafe Insulinde, aku mampir ke tempat perjanjian pertemuanku dengan Eva: sebuah warung tenda kecil, tetapi selalu ramai sesak oleh pengunjung. Namun, siang ini pengunjungnya tidak seramai biasanya. Mungkin karena masih hari kerja dan sudah agak lewat waktu makan siang.
Pada spanduk warung, tertulis besar-besar, "WARUNG ES DEGAN DAN GORENGAN LEGENDARIS, "SEJAK 1945". Warung ini langgananku dan keluarga sejak dulu. Jika ada kesempatan pergi ke daerah ini, kami biasa menyempatkan untuk membeli makanan dan minuman di sini. Selain harganya murah, rasa es degan-nya pun segar sekali. Degan yang dipilih bukan jenis yang terlalu muda dan benyek atau terlalu tua dan keras. Degan yang dipilih memiliki tekstur sedang, tetapi tetap renyah dan beraroma sangat gurih. Warung ini juga terkenal tidak memakai gula pasir melainkan gula aren murni sehingga tidak meninggalkan rasa lengket yang tidak enak di tenggorokan. Es batu yang digunakan pun berasal dari air matang sehingga kecil potensinya membuatmu batuk. Gorengannya pun dibuat di tempat, dengan kebersihan yang sangat terjaga pada proses pembuatannya. Minyaknya diganti secara berkala.
Meski begitu, harga yang ditawarkan tetap murah. Si pemilik warung selalu berprinsip bahwa kualitas akan menjamin suatu produk diingat sepanjang zaman. Dan memang prinsipnya itu telah terbukti. Kini warung ini sudah dikelola oleh generasi keempat. Aku kagum betapa keluarga ini begitu akur dan kompak. Pemilik generasi kedua sering masih tampak datang, meski hanya duduk melongo di belakang meja kasir, duduk berseberangan dengan cucunya yang masih begitu muda. Ketika masih kecil dulu, aku beranggapan bahwa semua keluarga pasti akan kompak seperti itu. Ikatan 'keluarga' bagiku saat itu terlihat sungguh mengagumkan. Namun setelah beranjak dewasa, istilah 'keluarga' terasa seperti guyonan saja.
Begitu memasuki warung, kulihat ternyata hampir semua kursi tetap terisi penuh. Kebanyakan pengunjung adalah orang-orang kantoran di sekitar yang makan nasi kucing dengan lauk gorengan untuk mengirit. Hanya tersisa dua kursi di pojok yang menghadap ke pintu masuk–meski kusebut 'pintu', sebenarnya itu hanya dua celah menganga antara dua spanduk penutup warung yang bersilangan. Aku pun masuk lalu memesan segelas es degan tanpa tape lalu duduk di kursi paling pojok. Eva masih tidak tampak batang hidungnya.
Ketika minumanku sudah tersaji pun, Eva tetap tidak juga datang. Aku berpikir keras sembari memandang segelas es degan dingin yang tersaji di atas meja. Mungkin ia belum pulang. Mungkin juga ibunya lupa memberitahunya. Kemungkinan paling masuk akal lainnya... Eva yang memang tidak mau datang.
Aku mengaduk minuman dengan sedotan. Sepertinya memang aku yang harus menghilangkan rasa pengecutku dengan menunggunya tiba di rumah atau meneleponnya langsung setelah minta nomornya pada orangtuanya. Ya, ya. Itu memang tindakan yang harusnya dilakukan manusia bersalah sepertiku.
Mungkin inilah sebab semua orang jengah padaku; karena aku begini pengecut dan rendah diri. Namun, apa yang harus kupikirkan mengenai diriku kalau tidak dua hal itu? Aku memang pengecut dan rendah diri. Mau diapakan pun, aku tetaplah tersusun dari dua unsur itu. Aku masih ingat bagaimana orang tidak pernah memberiku pujian atau sekadar ucapan selamat setelah aku meraih sesuatu. Memang bukan pencapaian besar, tapi aku yang saat itu sudah merasa begitu senang dengan hal itu. Namun melihat reaksi orang lain, aku pun merasa bahwa aku tidak layak mendapatkan prestasi itu. Mereka semua tampak biasa saja atau bahkan tertawa mencibir karena pencapaianku itu. Bahkan beberapa terang-terangan tidak peduli dan justru terus mengungkit kesalahanku yang sebenarnya tidak ada kaitannya dengan prestasi itu. Aku pun tumbuh menjadi pribadi yang tidak mempercayai pikiran dan perasaanku sendiri. Aku merasa apa yang kupikir dan kurasakan itu sebenarnya hal yang salah. Hal yang berkebalikan dari yang dipikirkan orang lain. Karena itulah aku aku tidak pernah berani menyampaikan perasaan dan pikiranku sendiri. Takut semua balik membenciku dan menendangku keluar dari circle mereka. Namun, meski aku sudah berhati-hati, semua orang tetap membenciku. Dan ketika aku merasa tertekan, aku dilarang marah atau sedih. Mereka selalu berkata bahwa mereka jauh lebih menderita daripadaku. Mereka juga bilang kalau semua perasaanku itu adalah hal remeh yang bisa kuatasi sendiri. Padahal, mereka sendiri yang selalu membuatku menangis. Alhasil, aku selalu menganggap segala pencapaianku sebagai hal yang tak berarti dan keberadaanku sebagai hal yang tak penting.
Dan ketika sibuk dengan pikiranku dan mulai terhipnosis oleh pusaran air degan yang terus menerus kuaduk sambil melamun, aku terusik oleh suara bisik-bisik orang-orang di sekitarku. Mereka menengok sembari bergumam pada sesuatu. Entah hal apa itu, tapi asalnya dari luar warung. Aku ikut melongok-longok karena penasaran dengan apa yang terjadi di luar warung.
Rupanya semua pandangan mata tertuju pada sosok pria berambut panjang yang tampak bersih dan tinggi yang mengenakan kacamata hitam Rayban tipe Aviator dan memakai kaus berwarna merah serta celana model militer warna hitam yang membungkus tubuhnya penuh estetika. Pria itu berjalan menuju warung degan legendaris dari seberang jalan tempat mobil merahnya terparkir. Keberadaannya seakan kontras dengan kondisi di sekitarnya. Seperti sebuah kue Perancis di tengah sestoples kue Lebaran curah.
Rasanya aneh sekali melihat keberadaan Adam di warung tenda es degan itu. Apalagi di siang bolong. Lebih seperti sebuah adegan dalam fever dream.
Setelah masuk ke warung tanpa mengindahkan pandangan orang-orang, ia dengan santai berkata pada wanita pemilik warung, "yang biasanya ya, Bu." Si wanita pemilik juga menanggapi pesanan Adam dengan santai seakan memang ia sudah sering makan di situ. Dan masih dengan cuek, Adam lalu menuju ke satu-satunya kursi yang tersisa, yaitu di sebelahku duduk.
Aku sengaja tidak menatapnya. Memang seperti orang bodoh jika berpikir kalau dengan tidak menatapnya maka kehadiranku tidak akan ia sadari, tapi rasanya aku kesal sekali. Bukannya Eva yang datang, tapi justru Adam. Dan aku tidak suka nantinya menjadi perhatian orang-orang karena kenal dengan seseorang yang menjadi pusat perhatian mereka.
Adam berdiri termenung sejenak di depan mejanya.
"Kenapa kok kita bisa banyak memiliki kebetulan untuk bertemu semacam ini, ya?" lamat-lamat kudengar ia bertanya–dan meski tidak melihatnya, aku tahu kalau ia menujukan kalimat pertanyaannya itu padaku.
Mau tidak mau aku menoleh padanya lalu berkata kikuk, "siang, Pak."
Adam lalu duduk di kursi kosong di sebelahku sembari mencopot kacamata Rayban-nya lalu mengelipkannya ke kerah kaus merahnya.
"Langganan warung ini juga?" tanyanya dengan tersenyum lebar, seakan tak terganggu dengan pelototan orang-orang. Mungkin ia sudah terbiasa dipelototi begitu.
"Anda tahu warung ini juga?" tanyaku balik. Pandanganku kuarahkan ke es degan yang masih saja kuaduk-aduk.
Ia melipat tangan di atas meja. "Tentu saja. Ini warung legendaris. Meski sederhana, rasanya tidak berubah bahkan sejak pertama warung ini ada."
Sejak pertama kali warung ini ada…
Lalu aku teringat tulisan besar di spanduk depan warung ini.
'SEJAK 1945'.
Aku ber-'oh' saja lalu mulai menyeruput es degan yang sebagian esnya telah mencair. Bersamaan dengan itu, pesanan Adam datang. Wanita pemilik tersenyum lebar sembari menyapa Adam lewat beberapa perbincangan yang kutahu cuma basa-basi, tapi tetap dijawab dengan begitu sopan dan antusias oleh Adam. Setelah si wanita pemilik kembali ke konternya, Adam memandangi es degan dengan tape miliknya, lalu tanpa merasa canggung menarik sebuah sedotan dari dalam plastik dan meminum esnya. Aku meliriknya diam-diam selama proses itu.
Bulu matanya tampak semakin lebat dari hari ke hari.
Ia lalu mengeluarkan sebuah hand sanitizer dari tas tangannya, lalu menyemprotkannya secara merata ke kedua telapak tangannya. Kemudian ia juga mengeluarkan tisu dari sana dan membungkus tangannya dengan tisu itu lalu mengambil sebuah gorengan. Ia makan dengan tenang seolah tidak terusik dengan tatapan orang-orang.
"Kenapa diam saja? Silakan ambil makanannya. Nanti saya yang bayar," katanya setelah menelan habis gigitan pertama lumpianya. Aku mengangguk-angguk bersopanan, lalu mengambil sebuah tempe mendoan dan mengucapkan terima kasih.