Metamorfosa Dewa

A. Pradipta
Chapter #14

14. Cawat Merah

Hari ini aku telah menggenapkan penulisan seluruh naskah novel pesanan Adam. Biar dibilang 'pesanan' pun, selama prosesku menulis hingga membubuhkan tanda titik terakhir, aku selalu merasa sedang menulis novelku sendiri. Selain karena memang aku lebih suka menulis fiksi daripada konten madu Kalimantan, juga karena Si Editor dan Adam memberikan kebebasan padaku dalam setiap diskusi mengenai alurnya. Dan kurasa, usahaku ini terbayar dengan baik. Dalam waktu sesingkat ini, aku berhasil menuntaskannya dengan isi yang–bagiku–cukup sempurna untuk naskah pertama.

Selama menulis itu, aku hampir menihilkan semua hal selain yang berkaitan dengan pekerjaan. Aku terus coba berpikir dengan cara Adam. Coba memasuki alam bawah sadarnya. Dengan begitu, aku bisa sedikit membaca pola pikirnya tanpa perlu asistensi berlebih darinya. Dan memang itu yang ia mau dapatkan dari memilihku sebagai ghost writter-nya.

Aku tidak jadi berhenti langganan susu karena tak kunjung bisa bertemu langsung dengan Eva–benar, aku merasa harus bertemu dengannya secara langsung untuk menyampaikan hal itu. Dan setiap subuh, aku justru menikmati momen suara denting botol susu beradu dengan lantai lorong depan kamar. Aku lebih sering tidak mengeceknya segera, tapi kadang ada hari di mana aku ingin membuka pintu setiap kali suara denting itu terdengar. Namun, seberapa cepat pun aku membuka pintu kamar, aku tak juga bisa menjumpai Eva. Pernah sesekali aku coba mengejarnya hingga ke tangga berputar, tetap saja gadis itu tak terkejar, bahkan sebentuk bayangannya pun tidak. Sejak saat itu, aku tidak pernah berusaha mengejarnya. Hanya menikmati setiap hal secara alami, sesuai apa yang seharusnya kuterima. Meski rasanya dari hari ke hari hatiku semakin kosong, aku lebih memilih segalanya berjalan seperti itu saja.

CCTV yang kupasang di daun jendela pun tak menunjukkan hasil apa-apa. Betapa membosankan. Paling hanya menangkap gerakan orang-orang mini yang bergerak di seputar kafe–kadang sosokku sendiri–dan beberapa kali mobil Adam yang tampak terlihat memasuki garasi belakang. Aku berencana mencabut kamera itu beberapa minggu ke depan setelah pelunasan pembayaran honorku, sebab aku juga berencana untuk pindah ke kos baru dan menjadi orang bebas sekali lagi. Suasana lingkungan yang semula sepi dan nyaman bagiku kini kembali terasa sesak. Mungkin memang tidak ada yang namanya safe zone sejati di muka Bumi ini. Itu mungkin hanya semacam khayalan utopis yang dibikin orang-orang yang memang sudah dari sananya hidup nyaman untuk orang-orang malang sepertiku agar terus mau bekerja untuk mereka. Sebab di tangan yang salah, harapan bisa berubah menjadi bom waktu yang bisa meledak kapan pun tangan itu mau.

Naskah utuh yang telah ditulis seluruhnya itu aku masukkan ke dalam flashdisk untuk berjaga-jaga kalau-kalau terjadi sesuatu pada laptop bobrokku. Aku segera mengirim naskah final pertama itu ke alamat email Si Editor dengan cc langsung pada alamat email Adam. Aku terus memperhatikan bar yang memperlihatkan progres upload naskahku ke sistem. Aku merasa bungah sendiri. Seakan bisa melihat proses kelahiran bayiku sendiri.

Setelah memastikan semuanya terkirim sempurna, aku menutup laptop dan berencana keluar menghibur diri.

Hari ini aku libur kerja di kafe dan aku sudah makan siang dengan pesan antar. Baru kuingat aku belum membaca buku baru hampir sebulan ini karena perhatianku tersedot ke satu titik saja. Maka, aku segera memakai celana jinsku dan mengenakan jaket hoodie hitam yang kututupkan seluruhnya ke kepala lalu memakai sepatu dan berjalan kaki ke Perpustakaan Daerah.

Seperti biasa, hari itu perpustakaan sepi. Yang tidak biasa, Si Pegawai Tua tak tampak ada di mejanya. Hanya ada Si Pegawai Muda yang tengah membaca sesuatu dengan mimik wajah aneh. Sejak pertemuanku dengannya di kafe dulu itu, aku belum pernah lagi berjumpa dengannya. Dan di pertemuan ini, aku semakin merasa kesal dengan wajahnya yang judes itu.

"Pak Tua lagi izin sakit," katanya tanpa mengalihkan pandangan dari buku yang sedang dibacanya, seolah tahu kalau aku mencari yang ia maksud.

Aku melirik judul buku itu ketika aku sedang meletakkan kunci loker ke kotak penyimpanan di atas meja pustakawan. Dan aku terkesiap.

The God Metamorphose.

Itu adalah buku yang kutulis ketika SMP dulu.

"Sudah pernah baca buku itu? Plagiat, ya? Haha. Plagiat ceritanya Mas Adam!" kata Si Pegawai Muda dengan suara mengerikan. Tanganku mengepal erat. Setahuku buku itu sudah tidak lagi diperjualbelikan. Mungkin ada seseorang yang menyumbangkan koleksi buku-buku yang sudah tidak dibutuhkan lagi ke perpustakaan ini. Ya, yang sudah tidak dibutuhkan. Namun, aku malas bertanya dari mana buku itu ia dapatkan sebab akan terlalu mencolok.

Maka, aku justru bertanya, "bagus bukunya?"

"Biasa aja," jawabnya masih tanpa mengalihkan mata dari halaman demi halaman novel lamaku itu.

"Kalau memang biasa saja, kenapa terus dibaca?"

Ia mengangkat matanya sejenak lalu kembali fokus membaca. "Aku membaca karena tertarik sama ceritanya yang plagiat novel Mas Adam. Bisa-bisanya ya, nulis yang mirip banget begini. Kayak kurang kerjaan aja. Padahal kan jelas kalau–"

"Tapi isinya tetap bagus kan, terlepas dia betulan plagiat atau tidak."

Si Pegawai Muda tidak menjawab. Bulir matanya tampak bergerak cepat menyusuri baris kalimat demi kalimat sehingga tak mendengar perkataanku yang terakhir.

Berarti ceritanya menarik perhatiannya…

Maka aku pun melenggang ke meja pojok tempatku biasa duduk dan membaca. Aku menyambar sembarang buku dan membawanya ke kursi. Begitu membuka buku itu, aku tak bisa fokus membaca. Pandanganku menerawang ke antahberantah. Seonggok buku novel lamaku yang sudah lama tak kusentuh itu membuat pikiranku kacau. Rasa lega karena hari ini berhasil menyelesaikan menulis novel pesanan Adam kini terusik oleh ketidakberdayaanku akan ingatan masa lalu.

Aku terus saja membolak-balik buku yang kusambar sembarang itu tanpa ada sedikitpun konsentrasi, lalu menutupnya untuk mengambil buku lain di rak, lalu melakukan hal yang sama berkali-kali. Pada akhirnya, hari itu aku tidak membaca atau meminjam apa-apa.

Aku meninggalkan perpustakaan tanpa mengatakan apa-apa pada Si Pegawai Muda yang masih tak mengalihkan perhatiannya dari novelku.

Bagus, kan? Bagus, kan?

Aku berjalan dengan punggung agak tegak ketika keluar dari perpustakaan. Namun, tak lama. Sebab di luar perpustakaan, gerimis mulai turun. Sudah pernah kuceritakan kalau aku selalu diikuti air ke manapun aku pergi, terutama ketika suasana hatiku sedang tidak baik. Aku pun kembali memakai hoodie menutupi kepala sebagai tanda pengusir sial lalu bergegas berlari melalui trotoar. Namun, hujan turun deras secara tiba-tiba. Penangkal sial itu sia-sia saja. Aku tidak mau sakit hanya karena menerobos hujan. Lagipula hari ini aku memang sedang tidak ada kerjaan. Maka alih-alih pulang segera ke kos dengan menerobos hujan, aku justru berbelok ke arah halte bus yang lumayan penuh dengan calon penumpang. Aku melakukan itu untuk sekadar berteduh sejenak, atau mungkin akan sekalian naik bus saja sampai depan gang kalau hujan tak juga berhenti sampai sore.

Hujan begitu deras seakan diguyur dari termos raksasa di balik awan gelap. Petir menyambar-nyambar. Itu adalah situasi yang paling tidak kusuka. Berada di luar di tengah kerumunan orang dalam keadaan setengah basah sembari memandangi air. Dalam hati aku mengumpati hari liburku yang terkutuk ini.

Setelah menunggu kira-kira lima belas menit dan hujan tak juga menunjukkan tanda-tanda akan mereda, aku mulai panik. Bisingnya suara orang-orang yang mengobrol ditambah kerosak suara titik-titik air hujan yang menghantam atap seng halte semakin membuatku pusing.

Aku menarik tali pengerat hoodie sehingga tudungnya mengetat menyelubingi kepalaku, dengan harapan suara-suara di sekeliling akan teredam. Namun, usaha itu sia-sia. Mataku semakin berkunang-kunang selain karena pusing akibat kebisingan, juga akibat dari suasana sekitar yang beranjak gelap.

Dalam keriuhan dan deraan titik hujan, aku melihat seberkas sinar kekuningan yang menembus temaram. Sinar itu berhenti di depan halte. Datangnya dari sebuah mobil berwarna mencolok saking merahnya, hingga warnanya terlihat jelas di tengah deru titik air hujan. Seketika, keberadaan mobil itu menyedot perhatian semua orang di halte.

Kulihat kemudian seseorang melongok dari jendela mobil merah mewah itu. Wajahnya tak terlihat. Namun, ia tampak melambaikan tangan pada seseorang di halte.

"Mari saya antar!" teriak sang sopir menembus hujan.

Bagai seekor meerkat, aku justru menengok-nengok ke seluruh penjuru halte. Kutemukan kemudian bahwa semua mata calon penumpang justru tertuju kepadaku. Itu artinya, sang sopir dalam mobil merah itu bermaksud bicara kepadaku.

"Pak!" kataku kikuk begitu menydarari kalau Adam berada di balik kemudi mobil itu–karena keadaan kacau aku jadi terlambat menyadari bahwa itu adalah mobilnya. Suara bisik-bisik semakin riuh terdengar menyelingkupiku. Dirundung rasa panik dan pusing sekaligus, tubuhku secara otomatis bangkit berdiri lalu berlari turun dari halte untuk menuju mobil merah yang terparkir di depannya. Aku berusaha keras mengabaikan tatapan mata orang-orang yang tertarik dengan keberadaan mobil Adam ketika aku akhirnya berhasil meraih gagang pintu depan mobil dan membukanya.

Aku mengibas-kibaskan beberapa titik air yang menempel di jaketku ketika mobil sudah mulai dijalankan oleh Adam meninggalkan halte. Aku terperanjat oleh interior mobil Adam yang juga berewarna merah dengan sedikit kombinasi hitam. Dan lagi, aroma wangi yang terasa mistik tiba-tiba tercium. Seperti campuran aroma rempah dan bebungaan. Entah apa saja bahannya.

"Habis dari mana kok naik bus?" tanya Adam di tengah aku berusaha menebak elemen pembentuk parfum mobil ini. Rasa tenteram mendadak menyelimuti hatiku karena begitu masuk ke mobil ini, rasa asing karena suara bising dan tatapan di halte seakan hilang digantikan perasaan familier. Rupanya tanpa kusadari aku telah menganggap Adam sebagai bagian dari hidupku.

"Perpustakaan Daerah," jawabku agak tertunda.

Mata Adam masih fokus menyetir pada jalanan yang ramai kena kemacetan sore hari. "Ah, memang tempat yang sangat nyaman, ya. Tapi kenapa tidak tunggu hujan reda dulu baru pulang? Berarti tadi kehujanan di tengah jalan lalu berteduh di halte?"

Pertanyaan Adam kujawab dengan 'iya' singkat karena memang itu bukan pertanyaan sungguhan melainkan rangkuman dari pengalamanku.

"Rumahnya Sadewa–?" tanyanya kemudian.

"Ah. Gangnya tidak bisa dimasuki mobil," jawabku. "Jadi saya turun di depan gang depan itu saja."

Adam melirikku. "Sama saja dong nanti kehujanan lagi..." katanya. Aku melirik ke jendela luar. Hujan masih turun begitu deras seakan tidak ada tanda-tanda akan berhenti.

"Ya..."

"Kalau begitu," sambar Adam, "mau mampir ke rumah saya dulu?"

Aku agak terkejut dengan tawarannya itu. "Eh... Eh..." gumamku bagai orang dungu.

"Sampai hujannya agak reda. Nanti pulangnya saya pinjami payung," Adam menjawab dengan santai. Aku terpekur. Sebenarnya ini pengalaman yang langka karena menurut cerita Si Editor, hampir tidak pernah ada kesempatan untuk mengintip kehidupan pribadi si Adam. Entah kali ini ia sedang kesurupan apa, tapi yang jelas ia tiba-tiba dengan senang hati menawariku untuk main ke mansion-nya.

Maka aku pun menjawab dengan suara pelan, "kalau boleh..."

Adam tertawa kecil lalu berkata, "mari. Hari ini saya memang sedang tidak ada jadwal kegiatan apa-apa."

Lalu ia melajukan mobilnya dengan sangat pelan menembus kepadatan jalan dan deru rintik hujan.

Sepanjang jalannya mobil yang selambat keong akibat kemacetan, aku hanya menatap ke luar kaca jendela. Seperti ada kecanggungan yang datang tiba-tiba. Ada perasaan seperti sedang diawasi oleh sesuatu yang tak tampak karena akhir-akhir ini ia selalu muncul di saat yang seperti sudah terencana, tetapi ada juga rasa bersemangat karena mendapat kesempatan langka untuk mengunjungi rumahnya. Untungnya, Adam menyetel musik-musik lawas dari pemutar musiknya sehingga aku jadi agak rileks. Lagu yang terputar bahasanya campur-campur. Dan secara aneh, aku tahu semua judul lagunya–karena memang aku juga seorang penggemar musik lawas dari berbagai belahan dunia. Dan semuanya memutar genre kesukaanku. Pop ballad atau slow rock.

‘I Can Wait Forever’ oleh Air Supply ketika aku pertama masuk ke mobil tadi, ‘Kau Seputih Melati’ oleh Dian Pramana Putra ketika percakapan soal apakah aku mau main ke rumahnya hingga beberapa saat lalu, dan ‘Love on The Hill’ oleh Shogo Hamada saat ini.

Otomatis aku bergumam mengikuti irama lagu yang terputar karena kebetulan itu adalah lagu favoritku.

"Ah, Sadewa memang suka lagu-lagu lawas juga, ya. Kemarin di draft novel, sudah memasukkan beberapa di antaranya sebagai unsur cerita," katanya.

Aku tergagap. "Ya. Sejak dulu ayah saya selalu memutar lagu-lagu lawas di pagi hari sambil membersihkan rumah. Saya jadi hafal."

Lihat selengkapnya