Aku bangun dari pingsan malam itu pada keesokan hari ketika pintu kamarku digedor-gedor dengan keras.
Tidak seperti orang yang baru bangun dari ambruk semalaman, aku bangun dengan mata segar. Sepertinya pingsanku berlanjut ke tidur betulan. Entah, mungkin juga sedari awal itu bukan pingsan melainkan hanya akibat lelah dan kecapaian.
Suara gedoran pintu seakan memaksaku buat segera beranjak dan membuka pintu.
Di depan pintu kamar kosku, Si Barista sedang menyilangkan tangan. Rautnya tampak menahan amarah.
"Kafe sedang sangat ramai. Kau masih saja tidur-tiduran santai," katanya geram.
Aku memiringkan kepala. "Kafe sedang ramai, tapi kau malah menyusulku kemari."
Si Barista ganti berkacak pinggang. Baru kali ini dia yang selalu memasang wajah tenang kini kulihat begitu marah.
"Kau tahu, ini sebenarnya bukan jam kerjaku. Tapi orang-orang di kafe ribut karena kita kekurangan orang dan kau malah tidak bisa dihubungi. Dan sekarang ketika semuanya sudah beres, aku baru bisa berhasil menghubungimu."
"Aku pingsan dari semalaman."
"Kamu apa?"
"Pingsan."
Si Barista tampak menghela nafas, memperlihatkan wajah prihatin ketika memandang wajahku.
"Kamu gila, ya?"
"Benar. Aku gila karena terlalu banyak bekerja dengan orang gila."
Dan ia menggeleng-gelengkan kepala. Dari setiap tindakan dan perkataannya padaku, sejak dulu aku bisa melihat kalau Si Barista jelas tidak suka padaku. Bukannya sejak awal, tapi sejak kejadian aku dipanggil ke kantor Adam perihal tulisan di tisu dulu itu. Mungkin ia merasa bahwa previlese kepercayaan dari Adam yang semula hanya ia miliki tiba-tiba beralih juga pada anak kemarin sore sepertiku. Mungkin pelan-pelan ia ingin menyingkirkanku karena tahu bahwa aku sekarang sedang bekerja diam-diam untuk Adam yang dikaguminya.
"Hei," kata Si Barista kemudian setelah berhasil meredakan kekesalannya sedikit. "Kamu sedang melakukan apa dengan Pemilik? Kau mengganggunya?"
Aku memutar mata menghindari tatapannya.
"Aku tidak bisa cerita soal itu sekarang. Mungkin nanti ada saatnya."
"Berarti benar ada sesuatu di antara kalian?"
"..."
Ia berbalik arah dan berdiri memunggungiku.
Lalu katanya tanpa menoleh kepadaku. "Aku sebenarnya tak peduli pemilik memiliki hubungan bisnis apa dan dengan siapa. Tapi yang aku perhatikan, sejak kau datang ke kafe, sikapnya jadi tambah tertutup. Seakan kau itu memang datang atas undangannya. Aku jadi curiga jangan-jangan kau dan dia sedang merencanakan sesuatu."
Dalam hati aku membenarkan beberapa hal dalam perkataannya. Kalau mau disimpulkan, hidupku akhir-akhir ini seakan memang diatur oleh tangan-tangan tak tampak yang bersumber dari sosok Adam. Bukan berasal murni dari kemauanku sendiri.
"Aku melihatnya," kataku kemudian.
"Melihat apa?" Si Barista bertanya masih tanpa menoleh.
"Dulu kau pernah cerita padaku kalau kau pernah diceritakan oleh Ad--Pemilik, tentang pengalamannya bertemu orang-orang dari Kota Gaib--"
"Yang memiliki halo berwarna pelangi di atas kepalanya."
"Ya, ya. Yang itu."
Si Barista akhirnya memutar badannya menghadapku. "Dan kau melihatnya? Dengan mata kepala sendiri?"
"Ya. Tadi malam, sebelum aku pingsan. Ini," aku menyambar kamera CCTV yang tergeletak malang di lantai lalu menyorongkannya ke depan muka Si Barista. "Ini, di sini, ada buktinya. Tapi ini tiba-tiba rusak. Bisa perbaiki benda-benda semacam ini?"
Si Barista tak segera menjawab. Ia masih menyilangkan tangannya dengan wajah kecut. Lalu ogah-ogahan ia mengambil kamera itu dan membolak-baliknya.
"Bukannya aku yang bisa melakukan hal semacam ini. Tapi aku kenal seseorang yang bisa."
"Tolong. Soalnya itu sebuah bukti buat–apa, ya–hal luar biasa yang tidak sembarang orang mengalaminya."
"Sehabis ini mau kau apakan? Masukkan ke TV? Unggah ke medsos biar viral?"
"Tidak akan kusebar ke mana-mana. Hanya ingin kujadikan dokumentasi. Ah, aku tidak suka ada ramai-ramai, jadi mau kusimpan sendiri saja. Kau tahu, aku suka menulis. Aku ingin menjadikannya bahan menulis..."
"... Memang sudah gila."
"Iya, benar. Aku memang sudah gila. Tapi kalau berhasil diperbaiki, kau akan jadi orang kedua yang kukasih lihat rekaman kejadian itu. Pokoknya, nanti biaya perbaikannya kasih tahu saja."
"..."
"Aku mau berdonasi di yayasanmu."
"Kenapa tiba-tiba?" Si Barista mendelik.
"Ingin saja."
"Kemarin kau membeli setelan jas mahal, sekarang kau berdonasi. Kenapa tidak sekalian berinvestasi ke kafe Insulinde alih-alih cuma jadi pelayan? Kulihat kau kaya sekarang."
"Tidak butuh kaya untuk berdonasi. Aku cuma ingin membalasmu saja. Aku tidak enak selalu membuatmu gila."
"Ah, begitu. Benar. Memang harusnya begitu." Si Barista akhirnya menghela nafas sejenak. Tak lama, ia kembali memandangku tajam. "Kau tidak punya rencana lain berkaitan dengan video ini, kan?"
Rupanya ia masih tidak mempercayaiku. Namun, aku tidak bisa mengkontrol perasaan orang lain. Itu di luar kuasaku. Maka aku menjawab pertanyaannya dengan tenang. "Ada. Aku ingin memperlihatkannya pada Pemilik. Nanti aku berencana akan meminta pendapatnya soal kejadian ini. Untuk sumber ceritaku," jelasku. Aku pun mengakhiri penuturanku dengan berkata jujur sejujur-jujurnya pada Si Barista yang masih mengerutkan alisnya. Ia lalu menunduk dan justru memutar-mutar kamera CCTV rusakku di tangannya.
"Ngomong-ngomong, tahu dari mana soal yayasanku?" tanyanya kemudian.
"Semua orang di kafe membicarakannya," jawabku sembari menarik selembar kaus usang yang ambruk dari almari tempatku meletakkan buku novel lamaku, lalu mulai mengelap lantai yang basah karena atap yang bocor dengan kain itu.
"Dan aku menjadi satu-satunya yang tak pernah dengar. Ngeri. Memang mengerikan arus informasi zaman sekarang. Mau seberapapun disembunyikan, tetap akan ketahuan."
Tiba-tiba, aku teringat Adam yang sosok fisiknya sampai detik ini tetap tak terbongkar ke publik. Namanya memang begitu terkenal, tapi tak sekalipun wajah dan sosoknya tersiar ke publik. Aku akui ia memang sangat berkomitmen soal identitas anonimnya itu. Padahal dengan sosok semegah itu, ia akan lebih mudah mendapat popularitas dan penjualan novelnya akan naik karenanya. Namun alih-alih menampakkan diri, ia justru memperkerjakan seseorang random sepertiku untuk menangani novel terbarunya. Sungguh aneh. Setiap jalan yang ia ambil kurasa selalu menyalahi hukum alam. Seperti bukan makhluk planet ini…
"Setelah mendengar soal yayasanmu, aku memang ingin sekali berdonasi. Aku juga penasaran dengan makanan vegetarian," jawabku akan pertanyaan Si Barista yang tertunda sembari mengelap lantai.
"Kau mau coba jadi vegetarian juga?"
"Ya," jawabku jujur sejujurnya. Memang setelah memakan menu vegetarian yang aneh di pesta Adam tempo hari, rasa ingin mencari tahu soal rasa sesungguhnya dari menu vegetarian semakin kental kurasa. Mungkin aku baru akan puas kalau sudah makan makanan berbahan tumbuhan yang sebetulnya, bukan yang setengah-tengah seperti dulu.
Si Barista mengacak rambutnya dengan tangannya yang berbandana. "Ah, memang kadang orang bisa berubah drastis apalagi kalau sudah pernah gila."
"Benar."
"Kalau gitu, besok Minggu kau masuk. Sebagai pengganti jadwalmu hari ini yang kau pakai buat pingsan seharian."
"Siap. Dan maaf soal hari ini."