Sepiring nasi hangat yang ditaburi tumpukan tumis usus ayam kecokelatan berselimutkan sambal berwarna merah serta lauk dua buah bakwan udang yang baru mentas digoreng menguarkan aroma gurih, membuat perutku bergejolak hebat.
Namun, aku sudah terlanjur memutuskan untuk tidak makan daging-dagingan lagi sejak seminggu lalu, sejak aku mulai memberikan donasi secara teratur kepada yayasan yang dikelola Si Barista. Ketika memberikan uang donasi secara langsung ke tempat makan gratis itu, aku sempat mencoba makan menu vegetarian yang disajikan.
Saat itu mereka menyajikan menu yang sangat sederhana: sayur asam dengan melinjo, tempe tahu goreng bumbu, serta sambal tomat segar. Aku segera dibuat jatuh cinta oleh rasa makanan itu. Menu yang memang sederhana, tetapi memiliki rasa Planet Bumi yang kental. Ketika makan, aku tidak dihinggapi sedikitpun rasa bersalah. Seakan sari-sari tumbuhan itu ikut tumbuh di dalam setiap aliran darahku.
Meski begitu, aroma menu lengkap yang menumpuk di piring Sang Editor hari ini masih memaksa inderaku mengejang.
"Kamu orang atau sapi? Kenapa cuma makan nasi dan sayur bayem? Bukannya kamu sudah punya uang buat makan enak?" hardik Si Editor di selanya mengunyah makan siang.
"Ada lauk oseng tempe kecap juga. Dan terong balado. Sudah cukup enak," jawabku sembari mengaduk sambal bawang di kuah sayur bayam yang diseruti jagung manis.
"Hah, dasar bujang. Bisa secepat itu mengubah diri, ya. Kamu nggak tertarik cari pacar supaya paling nggak kamu nggak jadi manusia yang terlalu random begitu?" tanya Si Editor. Mulutnya penuh makanan.
Aku menggeleng sembari menelan sayur bayam. "Tidak tertarik."
"Kenapa? Biasanya pemuda seumurmu selalu gandrung sama yang namanya perempuan. Pemuda seusiamu itu, biasanya sedang dalam tahap mencari kebahagiaan dan biasanya kebahagiaan yang kalian maksud itu adalah tubuh per–"
"Saya tidak butuh kebahagiaan semacam itu. Saya sendiri tidak yakin, apa sebenarnya 'kebahagiaan' itu. Dan saya sudah terbiasa dengan rasa sakit dibandingkan kebahagiaan. Sebab bagi saya, orang yang paling bisa membuat hari-hari sakit kita menjadi bahagia, adalah yang paling potensial membuat hari-hari bahagia kita menjadi sakit."
Mendengar perkataanku, Si Editor terkekeh sedikit hingga hampir tersedak es teh manisnya. Lalu ia meletakkan gelasnya di meja dan bertepuk tangan kecil. "Gila. Memang penyair sejati. Nggak salah," katanya. Aku tidak menanggapinya dan memilih menyibukkan diri dengan makanan di piring. Secara aneh, wajah Eva tiba-tiba terpantul di atas mangkuk berisi kuah bening sayur bayam.
Si Editor menyeret stofmap plastik berwarna merah yang sedari tadi ia bawa sampai ke kantin perusahaan itu, lalu setelah menengok diam-diam ke kanan dan ke kiri, ia membuka kait penutupnya. Ia menarik sebundel tipis dari dalam stofmap lalu melemparkan bundelan itu padaku.
"Baca," pintanya.
Aku melongok pada bundelan itu. Sebuah print-out notula rapat yang diketik rapi serta beberapa kertas lain yang tak kutahu apa isinya.
"Bagaimana bisa tulisanmu dinilai lebih baik daripada tulisan Adam?" tanya Si Editor keheranan secara retoris. Namun, aku tahu ia hanya berpura-pura heran.
Kertas itu berisikan catatan hasil rapat mengenai layak atau tidaknya novelku diterbitkan sebagai novel utama periode ini, ditandatangani langsung oleh editor kepala dan beberapa petinggi lain.
Sembari aku membaca notula itu, Si Editor terus mengoceh. "Seharusnya ini masih rahasia, tapi kuceritakan saja padamu sekarang. Mereka suka pada presentasiku soal novel yang kau tulis. Mereka sangat kagum pada setiap ide yang dituangkan. Katanya, ide itu fresh dan agak lebih berani daripada karya Adam sebelumnya. Katanya, isi buku itu bisa diterima oleh kalangan manapun karena keterlibatan unsur-unsur kelokalan di dunia nyata yang cukup banyak dan relevan dengan pembaca. Tokoh-tokohnya pun tampak sangat hidup dan keren. Hal-hal itu bisa menjadi nilai jual yang bagus. Tema realisme magis yang diusung juga jarang dibawakan oleh sastrawan dalam negeri. Kata mereka, itu memiliki kans yang cukup besar untuk bisa dibawa ke ajang-ajang penghargaan internasional atau bahkan adaptasi layar lebar. Di akhir, mereka berkata bahwa itu adalah tulisan Adam terbaik dari yang sebelum-sebelumnya... Selamat!"
Si Editor menyorongkan tangannya padaku setelah ocehannya selesai. Aku melepaskan mata dari notula itu, tapi alih-alih menjabat tangannya, aku justru merasa sesak. Aku mendengus dalam-dalam. Si Editor menarik kembali tangannya yang terulur padaku lalu mengelus dagunya yang baru saja dicukur. Suaranya mendesis.
"Kamu jangan terlalu banyak mendengus,” katanya ganjil.
"Kenapa? Menjijikkan?"
"Bukan. Apa ya, dibilangnya..."
"Kayak sapi?"
"Bukan. Tapi semakin didengarkan, justru semakin terdengar... Seksi?"
"...Oh."
Aku pun mendengus sekali lagi.
"Apa arti dengusanmu itu?" tanya Si Editor masih dengan mengelus dagunya.
"Tidak. Saya cuma merasa... Apa mereka sedang merasa sebegitunya putus asa sampai berpikir berlebihan begitu? Saya cuma menulis dari ide dasar yang sudah diceritakan Adam, lalu mengembangkannya sedikit-sedikit. Bukan hal yang sulit. Siapa saja bisa menulis seperti itu."
"Sekarang kau banyak bicara, ya. Humble bragging, pula."
"..."
"Intinya, tulisanmu itu dinilai lebih baik dari tulisan Adam sebelum-sebelumnya. Itu faktanya. Mungkin karena kau kuminta untuk menulis sebebas-bebasnya, ya. Dan mungkin juga karena kau memang berbakat. Ah, aku jadi semakin yakin kalau kau bukan seorang penjiplak–"
"Memang bukan."
"Dan itu bisa berarti dua; Adam yang menjiplak, atau Adam juga tidak menjiplak."
"Kemungkinan kedua presentasenya kecil."
"Presentasenya kecil. Benar. Tapi orang-orang tidak akan semudah itu mau menerima fakta bahwa Adam adalah penjiplak–meski itu ternyata adalah kenyataannya. Selain itu, aku sendiri juga saksi mata betapa ia memang seorang penulis yang canggih dan kreatif. Ah, jangan salah. Bukan berarti Adam tidak bisa menulis sama sekali. Dia beneran bisa menulis, kok. Sekarang pun ia sedang menulis sendiri proyek pribadinya. Hubungan antara kau dan dia ini hanya perihal bisnis saja. Dan itu baru pertama kali ini terjadi."
Aku manggut-manggut. "Bisnis, ya..."
Si Editor mengangkat topik lain. Suaranya memelan drastis. "Nah, soal rencana rahasia kita, kau bisa mulai kira-kira dua bulan lagi. Mulai besok promosi sudah akan dimulai. Melalui medsos. Kau cobalah sabar dulu sampai bukunya benar-benar telah di-launching. Setelah itu, honormu akan terbayarkan."
"Lalu saya sudah bisa melarikan diri dan mulai menebar gosip soal ghost writer dengan akun-akun medsos samaran."
"Tepat. Dan selama itu, aku akan melindungi keberadaanmu berikut nama D. Samsa."
"Berarti yang kita lakukan sekarang juga termasuk bisnis, kan?"
"Yap. Yap. Tepat sekali. Bisnis gelap."
Aku diam. Selera makanku tiba-tiba lenyap. Namun, secercah cahaya mengenai keberhasilan operasi trinitas Sadewa yang mulai menunjukkan tanda-tanda keberhasilan membuatku mengambil sendok lagi.