Novel yang kutulis di bawah nama Adam akhirnya di-launching dua bulan kemudian.
Judulnya mudah diingat karena berasal dari judul lukisan populer karya Michaelangelo.
The Creation of Adam.
Promosi yang gencar dilakukan dua bulan sebelumnya membuat buku itu laris manis diserbu pembaca. Aku salut oleh satu lagi ide Si Editor untuk menambahkan kalimat 'novel terbaik Adam yang ditulis sebagai pengkhayatan terhadap pengalaman pribadi dirinya yang tak pernah tampak di media. Bacaan wajib bagi pembaca yang ingin mengenal Adam lebih dekat' sebagai tagline iklan. Ia memang tidak sepenuhnya salah mengenai isi tagline itu, hanya saja kalau keseringan dilihat jadi tampak semakin norak.
Perasaanku berkecamuk. Antara senang dan takut, berkepangan menjadi satu. Senang karena bisa melihat wujud fisik novel yang kutulis dengan tanganku sendiri bisa disebar ke toko-toko buku besar serta diperbincangkan orang, dan takut karena dua hal. Pertama, takut mengenai reaksi orang terhadap ceritanya yang absurd, dan dua, takut karena itu artinya sebentar lagi aku harus mulai melaksanakan operasi trinitas yang dirancang olehku (dan disokong secara ajaib oleh Si Editor).
"Kenapa takut? Itu kan bukan urusanmu mau dikritik seperti apa! Adam yang akan tanggung semua!" gertak Si Editor kala aku menceritakan padanya mengenai ketakutanku yang pertama. Ia, masih dengan mengunyah nasi oseng ususnya, terus mengoceh bagaimana tidak pentingnya omongan-omongan kritikus sok tahu dibandingkan jumlah pembaca. Menurut data yang ia baca, penjualan novel bikinanku itu memang menanjak dibandingkan novel terakhir yang ditulis sendiri oleh Adam.
Sebabnya antara lain oleh tagline (dan hal itu membuat Si Editor bangga setengah mati hingga mentraktirku nasi sayur di kantin perusahaan), serta ulasan dari seorang influencer ternama soal betapa bagusnya novel ini, terutama sampulnya. Sampulnya…
"Anak-anak muda zaman sekarang secara aneh memiliki obsesi dengan sampul sebuah buku. Mereka bisa membuat sebuah buku terkenal dalam semalam hanya jika buku itu punya sampul yang menarik bagi selera mereka. Lalu setelah rekomendasi dari seorang influencer sudah keluar, maka mereka akan ramai-ramai ikut membeli demi mengikuti tren rekomendasi yang sedang berlangsung–terlepas dari bagaimana isi buku itu. Makanya kami beserta ilustrator berusaha keras menciptakan sampul yang bakal dianggap cantik oleh para pembaca. And it's work! Mereka bahkan mulai minta kami mencetak versi saku dan hard-cover untuk dikoleksi!"
Aku melirik novel itu yang memang memiliki sampul berilustrasi cat air yang sangat indah. Namun, bagiku sampul itu tak mencerminkan isinya sama sekali. Entah apakah ilustratornya sudah membaca novelku secara utuh atau belum. Aku ingin menanyakan pada Si Editor perihal itu, tapi tidak jadi kulakukan karena sudah terlanjur. Dan lagi si ilustrator rupanya sudah langganan dipakai jasanya oleh perusahaan ini.
Aku menghela nafas. "Terima kasih atas kerja kerasnya."
Ia mengibas-kibaskan tangan tanda berbangga diri. Aku kembali menekuni nasi sayur sop makaroni dan sambal tomatku.
"Coba saja saya bertemu dengan Anda puluhan tahun lalu..." gumamku setelah selesai makan.
Si Editor menjawab setelah berkumur dengan es tehnya. "Sudah lewat. Tataplah masa depan. Hari ini kau sudah bertemu denganku, kan? Daripada tidak sama sekali?"
"Benar juga..."
"Slow rock."
"Maaf?"
"Kamu itu frekuensinya cocok jika ditambah musik latar belakang lagu slow rock jadul. Karena selain memang kamu dan cerita-ceritamu itu old soul banget, tapi juga karena kamu mirip sekali dengan bayanganku soal tokoh utama dalam legenda batu berjalan."
"Legenda... Batu berjalan?" tanyaku.
Si Editor melipat kedua tangannya di atas meja. "Legenda di kampung halamanku. Soal anak yang dikutuk jadi batu karena menentang pernikahan yang dipaksakan orang tuanya. Tapi ia tidak menyerah. Setiap malam, ketika orang-orang beranjak tidur, ia menyeret tubuhnya sedikit demi sedikit, satu mili demi satu mili, menuju rumahnya tempat di mana orang tua yang mengutuknya tinggal. Ia berencana untuk balas dendam dengan membunuh mereka. Ia tidak mau orang-orang terutama orang tuanya beranggapan ia akan menyerah jika ia sudah menjadi batu. Hingga akhirnya, pada tahun keseratus, ia berhasil mencapai rumah kedua orangtuanya. Tapi..." ia berhenti sejenak. "Tapi, jelas kedua orangtuanya sudah lama mati. Ia kebingungan mencari kedua orang tuanya. Ia ingin bertanya pada beberapa orang mengenai keberadaan makam kedua orang tuanya, tapi tak satupun orang di kampung itu yang ia kenal. Orang-orang itu pun sudah tak ada yang menyadari betapa ia sebagai batu telah secara ajaib berhasil bergerak sejauh itu. Si batu justru diambil oleh orang-orang asing itu–yang diceritakan datang mengendarai mobil terbang dan mengenakan penutup kepala dari besi yang berpendar–lalu dibelah dan diampelas untuk dibuat dudukan toilet. Haha! Betapa legenda yang absurd dan aneh!"
Si Editor menutup ceritanya dengan tertawa terkekeh. Di tengah tawanya, aku justru memucat karena mendengar cerita itu. Menyadari perubahan mimik wajahku, ia menghentikan tawanya dan berkata serius. "Kamu juga begitu. Bagai batu yang perlahan bergerak. Sedikit demi sedikit bergerak. Hingga akhirnya mencapai garis finis, tapi di finis kamu tidak berniat membunuh orang. "
"Belum finis."
"Ya. Belum finis memang. Tapi kau harusnya tidak berniat membunuh orang."
"Bukannya yang akan kita lakukan nanti berpotensi besar membunuh karir seseorang?"
"Semoga tidak sampai begitu. Semoga semua lancar. Semoga. Amin. Dewa memberkati."
Lalu Si Editor bungkam. Ia meminum es tehnya dari sedotan. Karena airnya sudah habis, maka suara hisapan sedotannya memunculkan bunyi 'sroook' yang cukup keras.
Aku menopangkan tangan pada dagu. "Bagaimana tanggapan Adam soal penjualan novel ini?"
Si Editor berdeham. "Ia senang sekali. Dalam email, tapi. Aku belum bertemu dengannya secara langsung juga sejak beberapa bulan lalu. Di email itu ia bilang kalau ia ingin bertemu denganmu secara langsung untuk mengucapkan selamat, tapi ia tidak tahu kapan bisa meluangkan waktu."
"Sibuk sekali, ya."
"Memang."
"Kenapa tidak kirim email langsung pada saya, ya."
"Entah. Dia memang unik begitu."
"Memang."
Lalu sunyi merayap ke seluruh penjuru kantin perusahaan, sampai ketika Si Editor kembali berkata dengan suara serius.
"Kalau melihat hasil penjualan begini, harusnya sudah cukup. Tapi atasan minta lebih dan lebih lagi. Untung aku sudah merencanakan plan B. Kau tahu maksudku, kan? Yang itu..." kata Si Editor dengan menyilangkan jari telunjuk dan tengahnya.
"Ya. Akan saya mulai kalau sudah ditransfer semua honornya."
"Setelah semua usai, akan kuusahakan untuk kau bisa debut sendiri sebagai novelis. Janji."
Aku menengok pada Si Editor. "Apakah saya pantas?"
Ia menegakkan duduknya. "Jelas. Asal kau mau ikut petunjukku. Soalnya kau itu termasuk golongan penulis handal yang menunggu ditemukan. Hiddem gem!"
Aku diam sejenak. Si Editor tampak tak enak duduknya–mungkin karena kebungkamanku atau karena kalimat terakhirnya.
Jawabku kemudian, "saya bukan seorang penulis yang baik. Hanya seperti seekor kolibri yang nyaris bisu. Hanya bisa bicara dengan karya, tidak bisa menggiring opini apa-apa. Berbeda dengan Adam. Ia bahkan bisa mengubah sudut pandang dunia hanya dengan perkataannya. Itulah yang paling tepat disebut sebagai seorang penulis handal. Tidak setengah bisu, cuma berguna sebagai bayang-bayang. Tidak merangkul secara nyata."