Metamorfosa Dewa

A. Pradipta
Chapter #18

18. Lubang

Honorku sudah sepenuhnya ditransfer.

Kemarin Si Editor mengirimkanku bukti transfernya secara daring dan hari ini aku harus ke kantor penerbitan untuk menyelesaikan beberapa dokumen yang harus ditandatangani secara langsung.

Semua itu seperti pertanda kalau operasi trinitas tahap pertama sudah harus mulai dilakukan. Itu artinya aku harus segera pergi lalu menghilang dari peredaran. Itulah rencana yang harus kulaksanakan pertama kali.

Maka, dengan pikiran kosong, aku mulai mengepak beberapa barangku yang bisa dibawa di dalam tas ransel gunung yang selama beberapa tahun belakangan tak pernah kusentuh, lalu setelah menandatangani dokumen di kantor nanti, aku berencana untuk mulai mencari tempat tinggal baru di luar kota. Mengucapkan selamat tinggal pada kehidupan di sini yang penuh sesak oleh cengkeraman tangan-tangan tak tampak.

Selama mengepak, pikiranku tak tenang. Bukannya tidak tenang karena rencana busuk itu, melainkan oleh sesuatu yang lain.

Kealpaanku dalam menjadi donatur yayasan yatim piatu beberapa hari yang lalu itu terus mengusik hidupku. Membuat hidupku tidak tenang. Seakan aku adalah seorang busuk hanya karena sekali kesempatan menolak donasi. Namun, aku memang tidak terlalu suka jika dipaksa melakukan sesuatu–meski itu hal baik sekalipun.

Sebenarnya daripada kesal soal uang yang harus kukeluarkan untuk berdonasi, aku lebih terganggu soal identitasku yang bocor. Aku mengurungkan keburuksangkaanku pada Si Barista soal data identitasku yang bocor ke pihak lain, sebab kali ini mereka–para wanita dari yayasan yatim piatu itu–bahkan tahu soal nama penaku di masa lalu.

Tidak sembarang orang yang tahu soal nama penaku itu. Hari ini pun hanya ada satu orang yang kuyakin tahu mengenai identitasku itu, tiada lain adalah Si Editor, yang sepertinya tak ada sangkut pautnya dengan yayasan donasi semacam itu jika melihat bagaimana ia sangat cuek pada sekitar. Namun, siapa tahu hati orang?

Dan saat selesai mengepak lalu berniat pergi, lagi-lagi pintuku diketuk dengan keras oleh seseorang. Aku termenung sejenak. Ketukan itu memang keras, tapi tak dilakukan berulang-ulang, tidak seperti yang dilakukan para wanita donatur. Namun, siapa tahu itu adalah petugas donatur yang lain? Aku semakin tidak berminat untuk membuka pintu dan membiarkannya hingga si pengetuk menyerah saja. Namun kemudian aku teringat, aku tetap harus keluar untuk bisa pergi ke kantor.

Terpikirkan padaku untuk loncat saja dari jendela belakang lalu kabur dengan cara berlari ke arah jalan besar karena ketukan itu tak juga menyerah untuk berhenti meski sudah kudiamkan beberapa saat. Namun, melihat betapa tingginya bangunan tempatku tinggal, aku mengurungkan niat untuk keluar lewat jendela. Terjun dari ketinggian begitu, pasti akan membuatku langsung mati. Jika aku mati sekarang, semua rencana yang sudah kuusahakan selama ini akan buyar begitu saja.

Maka dengan langkah malas, aku pun membuka pintu, sudah siap dengan segala apa yang muncul di balik pintu, lalu rencananya aku akan memberikan sembarang uang tanpa mendengarkan bagaimana mereka memanggil namaku lalu buru-buru mengunci pintu.

Namun, yang kujumpai bukan wajah-wajah tak kukenal peminta donasi. Kali ini aku mengenal wajah-wajah itu.

"Dewak! Bener kamu, Wak! Astaga, dicari-cari ke mana-mana kok nggak ada kabar, ternyata bener di sini, to?" tanya Budhe yang langsung menepuk-nepuk bahuku dengan tangan mengangkat tinggi karena ia tak lebih tinggi dari seratus empat puluh senti. Tak henti pula ia menyunggingkan senyum.

"Gagah sekarang kamu, Wak! Mirip sama bapakmu! Ckck, ceweknya lima ini musti! Bahumu ini lho, bisa buat ngerangkul cewek lima!" kali ini giliran Pakdhe yang mengulurkan tangan lalu memencet-mencet lenganku.

"Kamu sendirian, Wak? Nggak sama calonmu? Kayak gimana dia? Cantik nggak?" Sepupu Perempuan yang menyerobot bicara, menimpa perkataan yang lainnya.

"Kamu sudah makan siang, Wak? Kita semua belum, nih! Hehehe," kali ini sang Sepupu Lelaki yang berkicau.

"Mas Dewak! Mas Dewak! Minta jajan! Minta jajan!" sepupu-sepupu kecilku bercicitan, entah muncul dari mana.

Kemunculan mereka begitu heboh dan cepat bagai lumut di musim hujan sehingga aku tak mampu menghentikan mereka. Satu per satu menyentuhku dengan setengah meremas beberapa bagian tubuhku sambil tersenyum begitu lebar, lalu mereka melangkah masuk ke kamar kecilku tanpa permisi, seakan itu adalah rumah mereka sendiri.

Aku mengerang. Seperti diserang deja vu tiba-tiba didatangi orang-orang itu dengan cara begitu.

Aku terdiam melihat mereka menginspeksi segala unsur dalam kamarku satu per satu. Semua bercelotehan. Tak ada yang mau mengalah. Kalau keributan ini sampai diketahui Induk Semang, tentu akan jadi masalah.

"Dari mana kalian tahu tempat ini?" tanyaku dengan suara agak keras agar mereka berhenti berceloteh dan bisa mendengar perkataanku.

Namun, tak satupun yang mendengar. Tanganku mengepal menahan perasaan. Aku ingin mendamprat mereka saat itu juga karena telah semena-mena menjajah properti pribadiku lalu menganggapku tak ada. Dahulu, aku tidak akan berani melakukan hal semacam itu pada mereka karena mereka selalu bergerombol dan membela satu sama lain–terlepas salah atau benarnya. Namun, aku yang saat ini sudah bukan yang dulu. Aku bukan lagi Dewak si kecoak.

"Kuminta kalian untuk diam sejenak! Ini kamar pribadiku!" kataku dengan suara meninggi. Hal itu efektif membuat mereka diam. Enam pasang mata itu mengamatiku lekat-lekat dengan pandangan yang sulit dijelaskan. Aku mengatur nafas sebelum mengulang lagi pertanyaan yang tak terjawab tadi dengan nada suara lebih rendah. "Dari mana kalian tahu tempat ini?"

Namun mereka semua tak ada yang menjawab. Mereka justru melirik-lirik satu sama lain.

Tak lama salah satu dari mereka–si Budhe–menjawab dengan kalimat aneh dan tidak nyambung. "Kamu itu sudah kaya kok masih tinggal di tempat kayak gini, Wak? Kenapa nggak beli rumah yang agak besar yang muat enam atau tujuh orang?"

"Maaf?"

"Kami dengar kamu sekarang nulis lagi? Katanya kamu kerja di kafe besar juga, Wak? Jadi apa, bautista–apa sih namanya? Baris berbaris...?" lalu meledaklah tawa mereka.

Aku semakin merasa tersesat dalam keadaan yang serba tiba-tiba itu. "Tahu dari mana semua itu?" tanyaku penuh tanda tanya.

"Rumah disegel, Wak. Karena digadaikan Pakdhe-mu itu buat bayar hutang. Hehehe. Kalau boleh, Wak. Kami sebenarnya butuh tempat tinggal... Kau kan kaya. Jadi–"

Dan mereka terus berceloteh dengan senyum yang begitu lebarnya sampai terlihat sangat artifisial.

Para manusia yang mengaku sebagai "saudaraku" yang dulu merebut rumah tinggalku, kini datang lagi di masaku punya pekerjaan dan utamanya uang–yang entah dari mana mereka mengetahuinya–lalu berusaha merongrong hidupku lagi untuk kedua kalinya.

Sudah kuceritakan sebelumnya, aku yang dulu pasti akan diam saja dan mengikuti arahan sialan mereka. Aku pasti hanya akan menangis dan mengancam bunuh diri. Namun, Dewak yang itu sudah mati.

"Kalian bisa menyelesaikan masalah itu sendiri. Tolong cari solusi yang lebih baik yang tidak perlu menganggu hidupku lagi," ujarku dengan nada tenang.

"Tidak bisa, Wak. Kami kan tidak punya uang--"

"Bekerjalah."

"Sepupumu itu sudah bekerja, tapi memang bukan rezekinya untuk bisa–"

"Pinjamlah uang pada presiden."

"Apa...?"

Aku melangkah lebar-lebar ke depan daun pintu yang tertutup lalu memutar engselnya dan membukanya lebar-lebar.

"Presiden ada di luar sana. Di istana negara. Sekarang, keluar dari sini dan coba mulai jalan kaki ke sana. Kalau mulai sekarang, akan tiba sebelum malam," kataku singkat. Mereka masih saling berpandangan dengan mimik wajah bingung bercampur panik. Aku menambahkan dengan nada suara semakin rendah. "Tolong. Keluarlah. Pergi jauh-jauh dari hidupku. Aku manusia yang tak pantas untuk dimintai."

Aku tidak tahu apakah asalnya dari ekspresi wajahku atau dari nada suaraku, tapi mereka secara bersamaan bergerak meninggalkan kamarku dengan sedikit berlari. Keponakan-keponakanku menangis, dan para orang dewasa tampak pucat. Mereka keluar terburu-buru dan tak mau menatap mataku. Mereka masih setengah berlari dengan sesekali menengok kepadaku, dan ketika sampai di tangga putar, mereka berlarian tak karuan sambil bercelotehan bagai orang gila.

Aku tidak paham apa yang menyebabkan mereka berubah sikapnya dengan cepat seperti itu. Apakah kata-kataku mengenai presiden barusan berhasil meremukkan hati mereka?

Entah. Pikiranku yang berkabut tiba-tiba terasa cerah. Aku menyibakkan rambut depanku ke belakang lalu menengadah ke luar selasar.

Langit berwarna biru cerah dengan gurat-gurat awan putih bagai dtorehkan dengan kuas raksasa yang mulai habis catnya. Aku mendengus. Seperti kata Si Editor, mendengus memang sudah menjadi kebiasaanku di saat sedang kalut.

Akhir-akhir ini, terasa ada banyak orang yang terus mengungkit soal identitasku di masa lalu yang selalu berusaha kukubur rapat-rapat. Mengapa semua orang begitu peduli dengan identitas? Gara-gara identitas sialan ini–yang bisa dengan mudah diperjualbelikan–banyak orang yang bertikai. Garis batas buatan manusia yang semula diciptakan untuk membedakan satu individu dengan lainnya, kini bisa dengan mudah digunakan sebagai alat berperang.

Melihat bagaimana ‘keluargaku’ itu bisa dengan santai menyebut soal pekerjaan-pekerjaanku, aku menduga mereka inilah yang memberikan identitasku pada orang-orang yayasan. Soalnya mereka termasuk sedikit dari yang tahu soal keberadaan D. Samsa. Dan bagaimana mereka tahu soal pekerjaanku segala, pasti itu bermula dari satu orang yang mengerti soal itu semua.

Skenarionya adalah: Si Editor membocorkannya pada salah seorang saudaraku, lalu salah seorang dari mereka tahu kalau aku donatur di yayasan Si Barista, lalu mereka membocorkan identitas itu lagi pada yayasan yatim piatu.

Terdengar janggal.

Namun, aku lebih suka langsung memastikan.

Di kantor penerbitan, aku datang dengan setelan santai–kaus putih lengan pendek yang dimasukkan ke dalam celana jins biru muda dan sepatu kets putih–lalu duduk santai di depan Si Editor yang setelah mendampratku soal penampilan lagi, lalu menyerahkan padaku berkas-berkas yang harus ditanda-tangani.

Aku menandatangani dengan tenang, seakan tidak ada yang mau kukatakan pada pria cepak yang sedang duduk di depanku itu setelahnya.

Dan ketika ia berkata bahwa urusanku dengannya sudah usai, sebelum ia mulai berceramah soal apa yang harus kulakukan selanjutnya, aku berkata padanya dengan kalimat tajam. "Akhir-akhir ini banyak yang datang pada saya dengan memanggil pakai nama pena saya di masa lalu. Anda pernah secara sadar memberitahu seseorang soal itu?"

Lihat selengkapnya