Metamorfosa Dewa

A. Pradipta
Chapter #19

19. Perempuan dan Lelaki

Internet gempar oleh terungkapnya lagi kisah terpendam soal Adam yaitu perihal novel lamanya yang pernah dituduh menjiplak seseorang di masa lalu.

Nama penaku kembali muncul di publik. Meski tidak banyak yang mengingatnya dengan benar (kebanyakan salah menyebutku "D. Samsara" atau "D. Samosa" atau "D. Samasama"), tapi perbincangan itu cukup membuat dunia maya terbagi menjadi dua kubu. Kubu pertama adalah yang percaya bahwa Adam tidak menjiplak, dan kubu kedua yang sebaliknya. Kubu kedua ini yang amat kecil jumlahnya, sehingga nyaris tak terlihat. Namun, kubu inilah yang memuntahkan teori bahwa ghost writer Adam adalah D. Samosa itu. Aku begitu tertarik mengikuti perkembangan perseteruan dua kubu itu, tapi rupanya tontonan itu tak bertahan lama. Beberapa hari kemudian, kabar soal jiplak-menjiplak itu lenyap menguap bagai tak pernah ada.

Dan sesuai dugaan dan rencana Si Editor, novel The Creation of Adam semakin meledak di pasaran. Bahkan semua novel Adam terdahulu juga dicetak ulang saking banyaknya permintaan masuk. Orang-orang seakan tidak peduli dengan tingkah Adam yang memakai jasa ghost writer. Semua orang terperdaya karena wajah tampan rupawannya.

Si Editor berkata bahwa Adam juga mulai diundang ke berbagai macam acara dan wawancara baik di TV, radio, koran maupun internet, tapi tak satupun ia sanggupi. Sejak kemunculannya yang menggemparkan di kanal Youtube beberapa hari lalu, jejak keberadaannya kembali lenyap. Bahkan ia tak lagi menghubungiku soal rencana kader-mengkader yang pernah ia sampaikan lewat email.

Aku semakin percaya bahwa Adam memang bukanlah manusia, melainkan makhluk dari Kota Gaib.

Aku sebenarnya sudah tak ambil pusing soal kejadian magis yang beberapa kali kualami berkaitan dengan "kota gaib" itu. Namun, semakin kulupakan dan kuanggap mimpi di siang bolong, semakin kuat perasaan bahwa keberadaan kota itu amat penting bagiku. Maksudku, peristiwa-peristiwa berkaitan dengan kota itulah yang pada akhirnya memberiku ilham dan membawaku menemukan ide untuk akhirnya bisa menyelesaikan The Creation of Adam. Jadi, kemunculan mereka di hadapanku bukanlah pertanda biasa. Ada yang ingin mereka sampaikan lewat peristiwa itu. Namun apakah pesan itu dan dari siapa serta untuk apa, hanya mereka yang tahu.

Untuk memastikan semuanya, aku berniat mengambil CCTV-ku yang katanya sudah selesai diperbaiki di kamar sebelah.

Ketika aku akan keluar, sebuah telepon dari Si Editor masuk ke ponselku.

"Dia akan pensiun."

"Apa?"

"Si Adam," kata Si Editor dari balik telepon, "dia baru saja mengirim pesan padaku, katanya dia akan pensiun dari dunia tulis menulis lalu menyerahkan warisan kepadamu."

Warisan dia bilang?

"Kenapa tiba-tiba sekali?" tanyaku.

Si Editor menjawab, "ya nggak tahu, lah. Aku juga kaget dengan keputusannya. Kantor ribut. Bingung karena akan sangat susah menemukan penulis baru yang akan menempati posisinya kalau dia pensiun."

"Bahkan 'pewarisnya' ini juga belum tentu bisa, ya."

"Nah, nah, itu alasanku meneleponmu. Karena kata Bu Kepala, kau adalah yang paling potensial menggantikan posisi kosong yang ditinggalkan Adam."

"Ah..."

"Kapan kau ada waktu kosong? Mari ketemu. Kita harus mulai menyiapkan strategi kemunculanmu lagi. Kita bisa bicara bertiga sama Adam. Setelah kau memberikan cerita masa lalumu sebagai D. Samsa yang kebetulan memiliki novel pertama yang kisahnya mirip dengan novel lamanya, Adam pasti akan mengizinkan kau untuk memakai lagi nama penamu."

"Saya tidak butuh izin dia untuk pakai lagi nama pena itu," aku menggeram, kesal karena seakan hidupku hanya Adam yang bisa mengaturnya, bukan diriku sendiri.

"Itu sih, ah, aku yang salah bicara atau kau yang salah menangkap konteksnya. Pokoknya, ceritakan padanya kalau kau adalah D. Samsa. Ia pasti akan ingat peristiwa dulu itu jika kau sebut nama itu. Lalu, aku akan memediasi kalian untuk berbaikan. Kalau sudah begitu, kau bisa mulai menjadi D. Samsa lagi dan menerbitkan ulang novelmu. Namamu akan bersih. Itu adalah pengganti rencana awal kita yang batal karena sudah terlaksana dengan sempurna. Sekarang tinggal mengikuti arus saja."

Tidak. Belum selesai dengan sempurna. Masih ada satu hal yang menjadi pelengkap dari trinitas itu.

"Tidak ada jaminan dia akan menerima saya sebagai D. Samsa mengingat betapa ia dan fans militannya dulu sangat bersikeras mengaku tidak menjiplak cerita saya. Bisa jadi kegigihannya mempertahankan diri itu akan ia ulang lagi kali ini."

"Memangnya dia betul-betul menjiplak karyamu? Atau itu cuma asumsimu saja?"

Seakan waktu berhenti ketika Si Editor mengatakan hal itu. Suaranya memberat, seakan berubah serius secara tiba-tiba. Aku memang selalu percaya bahwa ia menjiplak karyaku sejak dulu. Ditambah lagi akhir-akhir ini aku mengalami berbagai peristiwa yang semakin mengukuhkan pendapatku tersebut. Adam, entah yang manusia atau makhluk dari Kota Gaib, memang memiliki rencana lain berkaitan denganku. Bahkan sejak dulu.

"Saya akan memikirkannya dulu. Jangan Mas bilang apa-apa soal D. Samsa padanya. Beri saya waktu dua hari," jawabku kemudian setelah agak lama terdiam.

"Oke, deal," kata Si Editor dengan cepat, lalu menutup telepon begitu saja. Ada nada kesal pada suaranya yang terakhir tadi.

Aku menatap layar ponsel bobrokku yang sudah mati pendarnya. Wajah nelangsaku terpantul di atas layar hitamnya.

Sebenarnya ini adalah kesempatan yang kutunggu sejak dulu. Menulis cerita sendiri dengan nama sendiri adalah sebuah cita-cita terbesarku.

Apa sekarang saatnya untuk cita-citaku membalas dendam pada Adam melalui karya benar-benar akan terjadi? Bahkan kali ini tanpa mengotori tanganku sendiri?

Aku merinding oleh segala sekuens serba kebetulan itu.

Namun, membayangkan aku menang dengan "hadiah" kemerdekaan dari musuh tersebut membuat hatiku tidak enak. Seakan ini hanyalah kemerdekaan semu. Hanya menjadi negara persemakmuran sebuah negara yang lebih adidaya bukanlah ide yang menyenangkan untukku.

Aku pun teringat apa yang akan kulakukan sebelum Si Editor menelepon tadi, yaitu menemui Adam untuk menunjukkan padanya video yang tertangkap di kamera CCTV beberapa bulan yang lalu. Mungkin hal itu bisa kubarengi dengan mencoba melakukan ide Si Editor yaitu mengungkapkan identitasku sebagai D. Samsa kepadanya. Kalau sudah sampai situ, aku lalu akan memintanya untuk membersihkan namaku dengan meminta maaf pada publik soal tuduhannya padaku dahulu itu. Baru setelah itulah aku berani memutuskan untuk kembali memakai nama D. Samsa.

Kalaupun ia tak mau mengaku sebagai seorang plagiator, dengan video itu setidaknya ia tak bisa mengelak bahwa ia bukanlah manusia…

Aku pun mengetuk pintu kamar Si Gadis Ojek di sebelah. Tak lama sampai pintu dibuka, memunculkan sosoknya yang tampak mengantuk. Rambut keritingnya tampak mencuat di beberapa sisi.

"Sudah selesai?" tanyaku.

"Bentar," ia lalu masuk lagi ke kamarnya. Aku menunggu di luar sambil melipat tangan.

"Kau melihat isi rekamannya?" tanyaku.

"Tidak. Itu prinsipku untuk menghargai klien. Memangnya apa yang kau cari dari rekaman itu?" tanya gadis itu ketika ia menunduk di depan sebuah almari susun plastik dan membuka lacinya.

"Rekaman hantu," kataku setengah menurunkan suara, berharap ia akan bergidik atau tertawa. Namun, rupanya gadis itu diam saja. Semula kukira ia tidak mendengar candaanku, tapi aku menyadari bahwa ia sedang tidak dalam kondisi bisa bercanda. Ia membuka semua laci di kamarnya, lalu ke almarinya, lalu ke dalam tasnya, ke tumpukan pakaian dalamnya…

"Bangsat!" pekiknya tiba-tiba. Aku terlonjak. Ia berkacak pinggang dan menatapku dengan alis menekuk. "Si Bangsat itu mengambil flashdisk-nya tanpa seizinku."

Lihat selengkapnya