Hal pertama yang kulakukan keesokan harinya adalah berusaha mengambil flashdisk dari Si Barista. Gadis Ojek pacarnya berkata bahwa kemungkinan besar pemuda itu akan pulang hari ini. Mengingat sifatnya yang gila kerja dan amat mencintai kafe Insulinde lebih dari apapun, maka aku pun pergi ke kafe pagi-pagi sekali untuk mencegatnya. Betul saja, pukul enam ia datang mengendarai motor Kawasaki-nya masuk ke halaman kafe Insulinde sesuai dugaanku.
Aku menghampirinya yang tengah mencopot helm merahnya.
"Kenapa kau bawa flashdisk berisi rekaman video CCTV-ku yang dipulihkan oleh kekasihmu?" tanyaku langsung tanpa basa-basi.
Ia terpaku melihat kedatanganku yang serba serampangan itu. Lalu, ia berkata dengan nada ringan setelah meletakkan helm di atas jok motornya.
"Aku ingin melenyapkan rekaman itu. Apa yang ada dalam rekaman itu tidak boleh tersebar. Tidak ada satupun manusia yang pernah melihat itu secara langsung kecuali Adam."
"Jadi kau sudah melihat isinya?"
Ia memandang tajam padaku, berkata santai seakan tanpa beban, "ya. Tapi sayangnya rekaman itu sudah kuhapus."
Kemarahan yang sama tingkatannya dengan kemarahanku di hari aku menemukan novel Adam yang mirip dengan buatanku dahulu itu tiba-tiba menyelubung dada, lalu memuncak hingga ke kepala. Dengan bergerak cepat, aku mencengkeram kerah jaket kulit hitam yang dipakai Si Barista.
"Ow, ow, santai, Bro," katanya sembari mengangkat kedua tangan seperti seorang penjahat yang menyerah tertangkap polisi.
"Kenapa kau melakukannya? Aku ada salah apa denganmu?" tanyaku menggeram.
"Tidak ada. Kau tidak ada salah apa-apa denganku–ukh!" Si Barista memekik karena aku semakin keras mencengkeram kerah jaketnya hingga agak mencekik lehernya. Udara sepoi pagi hari disertai suara cicit burung terasa kontras dengan panasnya isi kepalaku. Sebelum bertindak terlalu jauh, aku melepas cengkeramanku lalu menjauh darinya. Rasa kesal bercampur heran memenuhi kepalaku yang panasnya tak juga reda.
Si Barista menggosok-gosok lehernya dan mengambil nafas dalam-dalam. "Heh," panggilnya sembari terengah. Aku meliriknya tanpa menoleh. Ia mengangkat kepalanya lalu tiba-tiba berteriak lantang, "aaaaaah!"
Burung-burung yang semula hinggap di dahan-dahan pagar tanaman berterbangan karena suara itu.
"Apa sih?" tanyaku heran.
Si Barista lalu berkata, "sejak awal sudah kubilang jangan ganggu Pemilik. Sebelum kau datang ia tampak baik-baik saja. Setelah kau datang ia jadi semakin tertutup. Semakin menjauh dari kami. Tidak seperti dia yang biasanya."
"Bukan salahku. Dia yang memilih buat jadi begitu."
"Harusnya kau yang tahu diri. Aku sampai detik ini bahkan tak berani menyebut nama aslinya atau menanyakan pekerjaan lainnya atau bertanya di mana rumahnya. Bahkan aku yang sudah bekerja dengannya bertahun-tahun pun tidak tahu menahu soal dia kecuali cerita soal hutan jati itu... Tapi kau, bisa-bisanya kau... Kau... Aaah!
"Apa kau pikir aku senang bisa berhubungan dekat dengan orang itu?"
"Ya! Ya! Harusnya kau senang! Semua orang akan senang jika bisa mengenalnya lebih dalam! Itu normalnya!"
"Aku tidak mengerti apa yang kau bicarakan. Pokoknya, kembalikan rekamanku."
"Tidak bisa. Sudah kuhapus. Kini kau bukan lagi orang yang pernah melihat langsung Kota Gaib. Aku pun tidak. Sudah kuhapus semua memoriku soal rekaman itu. Kau juga bekerjasama lah. Anggap kau tak pernah melihat apa-apa hari itu. Hanya Pemilik lah satu-satunya di semesta ini yang memiliki pengalaman itu!"
"Ada apa antara kau dengannya? Kenapa kau terus mendeskripsikannya seakan dia adalah manusia yang paling luar biasa di alam semesta? Memangnya dia itu siapa?"
Si Barista mendekat padaku dan dengan cepat mengacungkan telunjuknya di depan mukaku. "Dia itu bukan manusia, goblok! Dia itu dewa! Dewa yang sesungguhnya! Tidak sepertimu, Dewa gadungan!"
Dikendalikan oleh amarah, dengan sekuat tenaga aku lalu memukulnya tepat di wajah, telak mengenai bagian matanya. Ia mengerang. Matanya yang sipit tampak mulai membengkak karenanya.
Aku memasang kuda-kuda, berjaga kalau ia tiba-tiba menyerang balik. Namun, ia justru tertawa. Nyaring sekali hingga kembali menerbangkan burung-burung gereja mungil dan lucu.
"Mau kau pukul aku berapa kali pun, aku tidak akan membalas. Sebab aku sudah tuntas melaksanakan tugasku untuk melindunginya. Sekarang, kau sudah tidak punya alasan lagi untuk tinggal di tempat ini," Si Barista masih terkekeh, menjawab dengan suara yang sudah tidak mirip suaranya lagi.
Aku mendecak. "Aku juga sudah tidak berminat untuk bekerja di sini."
"Bagus. Seorang pengekor sepertimu memang akan kesulitan untuk memahami sang dewa dan dunianya. Lihat, bahkan halo di atas kepalamu pun tidak lagi berwarna kristal. Keruh sekali! Memang kau ada niat buruk datang ke sini, ya. Aku agak menyesal. Seharusnya dari dulu aku bisa menyadari akan pertanda itu kalau ka–"
"Memangnya apa yang kau tahu soal aku?"
Si Barista berhenti mengoceh setelah aku memotong ocehannya itu. Lalu aku melangkah pergi dari halaman kafe, bersumpah dalam hati tidak akan kembali lagi ke tempat itu.
Ya, seperti yang dikatakan Si Barista, aku memang dewa gadungan. Selalu berlagak menjadi Dewa betulan. Padahal akulah tokoh jahat dalam semesta ini. Biasanya, tokoh jahat tidak akan menyadari kalau ia tokoh jahat karena semua sudut pandang mengarah padanya. Media lah yang membuat seseorang dianggap 'baik' setiap kali sudut pandang berpihak padanya. Padahal tak selamanya seperti itu.
Ketika memikirkan soal itu, tiba-tiba aku sudah sampai di depan rumah Eva. Entah mengapa aku ingin sekali bertemu dengannya. Segala masalah yang terjadi di hidupku belakangan sama sekali tak pernah kuceritakan padanya. Dulu ketika ia masih rajin mengantar susu hingga ke kamar, aku sering secara tak langsung mengobrol dengannya. Saling bertukar pengalaman, ide maupun pendapat. Sebuah kegiatan yang terasa melegakan hati. Saat itu aku merasa bahwa itu hanyalah kegiatan yang biasa. Tidak ada yang istimewa. Namun, hari ini kegiatan yang sangat biasa itu tiba-tiba menjadi sangat penting maknanya. Aku ingin kembali ke hari-hari itu.
Namun, betapa terkejutnya aku ketika melihat di depan rumah Eva telah terpasang sebuah spanduk besar dengan tulisan 'DIJUAL' berikut nomor telepon yang kutahu adalah nomor telepon gadis itu.
Rumah itu memang tampak kosong dan sudah ditinggal pemiliknya. Mengingat betapa ia masih menemuiku kemarin dengan raut wajah tidak enak serta perkataan yang tidak wajar, aku jadi menebak yang tidak-tidak mengenai apa yang sebenarnya terjadi dengannya selama aku tidak pernah menemuinya. Mungkin kedatangannya ke kamar kemarin itu sebenarnya adalah tanda perpisahan darinya, tetapi tak kusadari.
Aku segera merogoh saku celana jins dan mengeluarkan ponsel untuk menelepon nomor yang sama dengan yang tertera di spanduk.
Tak diangkat.